Analisis

APBN Syariah


Presiden Prabowo dalam pidatonya beberapa kali menghimbau seluruh jajaran yang ada di pemerintahannya agar melakukan efisiensi dalam mengelola Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Kemudian Menteri Keuangan Indonesia, Sri Mulyani, dalam Annual Islamic Finance Conference (AIFC) ke-8 di Jakarta pada Oktober 2024 mengatakan bahwa APBN harus memiliki fungsi alokasi, distribusi dan stabilisasi yang selaras dengan tujuan syariah Islam atau maqashid asy-syarii’ah (kemenkeu.go.id). Pernyataan ini bisa dibaca sebagai bentuk kegelisahan. Pasalnya, kondisi pengelolaan APBN Indonesia tidak efisien dengan sejumlah problem, seperti: defisit anggaran yang terus meningkat, serapan anggaran yang buruk akibat korupsi dan pemborosan, penerimaan pajak yang selalu meleset dari target, tingginya belanja pegawai, subsidi yang tidak tepat sasaran, dan sebagainya. Kondisi APBN seperti ini menunjukkan bahwa landasan pembangunan ekonomi di Indonesia menggunakan paradigma kapitalisme-demokrasi.

Sebagai contoh kasus adalah rentetan mega korupsi yang pasti merugikan negara. Pelakunya pejabat tinggi, politikus dan pengusaha yang sampai sekarang tidak ada ujung penyelesaiannya. Dalam kasus korupsi BLBI negara dirugikan Rp 138 triliun, Korupsi BTS 4G Kemenkominfo telah merugikan negara sebesar Rp 8 triliun. Yang terbaru, skandal korupsi di PT Pertamina (Persero), subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) periode 2018-2023 yang diungkap oleh Kejaksaan Agung (Kejagung), merugikan negara sampai Rp 193,7 triliun (tempo.co). Masih banyak kasus-kasus korupsi lainnya yang bisa menjadi contoh problem pengelolaan APBN di Indonesia dan pastinya merugikan ratusan triliun bahkan kuadriliun keuangan negara. Belum lagi adanya pemborosan, kebocoran anggaran, dan sebagainya. Padahal tanggungan utang negara yang wajib dibayar pada tahun ini juga sudah antri sebesar Rp 800,33 triliun. Itu belum termasuk pembayaran bunganya. Anggaran Indonesia terjebak dalam peribahasa besar pasak daripada tiang, pengeluaran lebih besar dari penghasilan. Angka-angka tersebut di atas menunjukkan jauhnya pengelolaan APBN dari kata efisiensi seperti yang diharapkan oleh Presiden Prabowo.

Namun demikian, tulisan ini tidak ditujukan untuk itu, tetapi untuk memaparkan pengelolaan APBN sesuai syariah Islam yang hakiki. Tentunya dengan paradigma Islam dan sistem ekonomi Islam yang diimplementasikan oleh negara, yang mampu menjawab kegelisahan dalam pengelolaan APBN yang selama ini terjadi.

 

APBN Syariah: Kemandirian Ekonomi

Pengelolaan APBN yang mengacu pada syariah disusun secara efisien sesuai dengan ketentuan-ketentuan syariah. APBN sebagai instrumen utama pengelola keuangan negara tugasnya membantu negara mewujudkan pembangunan, yaitu memecahkan masalah kebutuhan hidup yang dihadapi setiap individu di masyarakat, mendorong meningkatkan taraf hidup mereka dan mengupayakan kemakmuran (Syaikh Taqyuddin An-Nabhani, An-Nizhâm al-Iqtishâdi fî al-Islâm, hlm. 60). APBN dalam sistem ekonomi Islam diperankan oleh Baitul Mal sebagai lembaga penyimpanan berbagai pemasukan sekaligus bertugas untuk mengalokasikan pengeluaran-pengeluaran sesuai dengan pos-posnya yang ada menurut syariah (Ajhizah Dawlah al-Khilâfah fî al-Hukmi wa al-Idârah, hlm. 135).

Pos-pos pemasukan APBN Islam (Baitul Mal) telah dijelaskan oleh Syaikh Abdul Qadim Zallum (2003) sebagai berikut: harta rampasan perang (anfâl, ghanîmah, fai’ dan khumûs); beberapa pungutan dari tanah kharaj dan jizyah; harta milik umum; harta milik negara; harta yang ditarik dari perdagangan luar negeri (‘usyr); harta yang disita dari pejabat dan pegawai negara karena diperoleh dengan cara haram; zakat; dsb.

Negara boleh melakukan penyitaan atas harta pejabat karena diperoleh dengan cara haram, seperti: korupsi (ghulûl), hadiah, hibah dan suap (risywah), judi, baik langsung maupun online (judol), harta yang diperoleh dengan cara sewenang-wenang memanfaatkan kekuasaannya, dan sebagainya. Harta-harta tersebut bisa menjadi pemasukan negara. Sumber terbesar APBN Islam adalah harta milik umum (milkiyyah ‘ammah) sebagaimana sabda Rasulullah saw. sebagai berikut:

«النَّاسُ شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ: الْمَاءِ، وَالْكَلَأِ، وَالنَّارِ»

Manusia berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput dan api (HR Abu Dawud).

 

Semua SDA yang depositnya melimpah menjadi milik umum. SDA ini wajib dikelola negara dan digunakan untuk kemakmuran rakyat, haram diserahkan ke swasta apalagi swasta asing. Bisa dibayangkan jika Indonesia serius menerapkan sistem ekonomi Islam, betapa APBN dalam pos-pos penghasilannya sangat melimpah. Triono (2014) menghitung pendapatan APBN Indonesia, jika menggunakan sistem Islam, adalah sebesar Rp 5.216,275 triliun pertahun dengan rincian dari potensi zakat Rp 217 triliun dan dari pos kepemilikan umum sebesar Rp 4.999,275 triliun. Itu belum dari harta-harta sitaan akibat penyelewengan pejabat, seperti: korupsi, suap, dan sebagainya.

Adapun untuk pos-pos pengeluaran APBN Syariah ditetapkan berdasarkan enam kaidah, yaitu:

  1. Harta zakat menjadi hak delapan ashnaf sebagaimana QS at-Taubah ayat 60 (fakir, miskin, amil, mualaf, riqâb, gharîm, ibnu sabil, fî sabilillah). Jika harta zakat kurang atau bahkan kosong, maka negara tidak wajib mencarikan pinjaman melainkan wajib menarik zakat dari para muzakky (orang-orang yang wajib zakat).
  2. Pembelanjaan wajib untuk fakir miskin, ibnu sabil atau untuk jihad. Untuk ini negara dapat berutang. Untuk melunasi utang ini negara boleh menarik pajak asalkan sesuai dengan ketentuan syariah.
  3. Kompensasi jasa untuk negara, misalnya gaji tentara, ASN, hakim, guru, dan sebagainya hukumnya wajib.
  4. Pembelanjaan karena darurat, seperti bencana longsor, banjir bandang, tsunami, dan sebagainya hukumnya wajib.
  5. Untuk proyek-proyek kemaslahatan vital, jika tidak ada, umat akan merasakan kesulitan—seperti: jalan raya, sekolahan, rumah sakit dan sebagainya—hukumnya wajib.
  6. Untuk pembangunan kemaslahatan umat, namun sifatnya non-vital (sekunder).

 

Adapun program makan bergizi perlu ditinjau lagi terutama teknis distribusi dana untuk program ini. Dalam hal ini bisa dilaksanakan pemangkasan untuk efisiensi anggaran. Negara boleh mengambil pajak (yang sifatnya sementara dan terbatas) jika sektor-sektor penting pada pos pengeluaran di atas kurang atau bahkan kosong. Pada sektor-sektor tersebut, negara tidak boleh melakukan pemangkasan anggaran dengan alasan apapun, termasuk alasan efisiensi. Dengan skema APBN Syariah seperti di atas, Indonesia bisa menjadi negara yang kuat, mandiri dan tidak bergantung pada pajak, utang, maupun investasi apalagi investasi asing.

 

Efisiensi dan Politik Anggaran dalam Islam

APBN dalam Islam adalah hukum-hukum syariah tentang pendapatan dan pengeluaran harta negara yang ada di Baitul Mal. Sifat hukum syariah dalam hal ini adalah qath’i sehingga secara mutlak tidak membutuhkan pendapat untuk masing-masing pos yang ada (baik dalam pos pendapatan maupun dalam pos pengeluaran). APBN Islam telah menetapkan pos-pos pendapatan dan pos-pos pengeluarannya. APBN Islam tidak dibuat secara periodik tahunan sebagaimana APBN di negara demokrasi Kapitalisme sehingga tidak mengenal istilah devisit anggaran. APBN Islam tidak membutuhkan persetujuan DPR meskipun DPR dapat memberi masukan. Kepala negara (Khalifah) bisa menyusun APBN melalui hak tabanni (adopsi hukum syariah) dengan dibantu oleh jajaran-jajaran pejabat yang ada di sekitarnya. Alokasi dana masing-masing pos pendapatan dan pengeluaran APBN Islam diserahkan kepada pendapat dan ijtihad kepala negara.

Dalam proses penyusunan APBN Islam yang dihitung terlebih dulu adalah pos pengeluaran kemudian pos pendapatan. Pengeluaran APBN Islam dihitung berdasarkan asumsi-asumsi kebutuhan yang menurut syariah paling vital dan urgen, yaitu al-hajaat adh-dharuri, baru pengeluaran pelengkapnya. Negara menggunakan rasio-rasio ideal berdasarkan data wilayah dan kependudukan, proyeksi siklus jangka panjang dan menengah, serta harga pasar rata-rata saat ini. APBN Islam tidak mengacu pada asumsi dolar dan tingkat inflasi sebagai patokan sehingga tidak mengenal perubahan inflasi sehingga APBN direvisi, muncul istilah APBN-Perubahan. Pengeluaran dalam APBN Islam tidak bersifat fixed seperti APBN konvensional yang berkonsekuensi alokasi anggaran harus habis dan terserap. Meskipun faktanya tidak semua anggaran belanja habis dan terserap. Pada titik inilah, sering dilakukan berbagai cara agar anggaran bisa habis sehingga membuka peluang korupsi.

Alokasi APBN Islam dari masing-masing pos pendapatan dan pengeluarannya bersifat fleksibel. Jika di tengah jalan ternyata penerimaannya kurang, dengan mudah Kepala Negara akan menggenjot penerimaan tersebut. Begitu juga dengan pemasukannya. Jika alokasi yang dianggarkan lebih, kelebihan tersebut tidak harus dihabiskan, tetapi bisa dikembalikan kepada Pemerintah pusat, atau ditahan di masing-masing daerah sebagai saldo anggaran untuk dimasukkan dalam alokasi anggaran berikutnya.

APBN Islam menganut prinsip sentralisasi. Artinya, dana dari seluruh wilayah ditarik ke Pusat, kemudian didistribusikan ke masing-masing daerah sesuai dengan kebutuhannya, bukan berdasarkan jumlah pemasukannya. Jika ada daerah yang sedang membangun dan membutuhkan dana besar, sementara pemasukannya tidak sebesar yang dibutuhkan, maka negara dapat mensubsidi daerah tersebut. Dengan cara ini, tidak ada satu alokasi anggaran pun yang menguap atau tidak tepat sasaran. Pemerataan pembangunan pun bisa dilakukan dengan baik sehingga tidak ada ketimpangan antardaerah.

Secara teknis jumlah kebutuhan negara bisa diperhitungkan dengan matang oleh Kepala Negara dengan dibantu oleh para aparaturnya. Program-program negara yang sifatnya tidak mendesak bisa ditangguhkan untuk melakukan efisiensi. Bahkan produksi atas SDA bisa dilakukan berdasarkan kebutuhan hajat hidup masyarakat, bukan semata-mata untuk kerakusan sektor ekonomi, sehingga menjadi bisnis layaknya kapitalisme. Negara wajib memangkas pengeluaran-pengeluaran yang tidak penting, seperti kunjungan-kunjungan yang hanya untuk kesenangan pejabat semata, apalagi harus menginap di hotel berkelas, dan sebagainya. Prinsipi efisiensi harus dilihat dari kacamata efektivitas teknis dan manejemen sehingga berdampak pada kemaslahatan masyarakat. Tidak mempengaruhi pelayanan dan hak-hak rakyat. Kebutuhan APBN berdasarkan syariah Islam mutlak membutuhkan individu yang amanah dan sistem Islam.

 

Kesimpulan

Mengelola APBN sesuai dengan syariah memerlukan keberadaan negara yang menerapkan Islam secara menyeluruh. APBN dalam Islam diperankan oleh Baitul Mal. Baitul Mal memprioritaskan pemenuhan kebutuhan dharûri sebagai pelaksana ri’âyah syu-ûn al-‘ummah (mengelola urusan-urusan masyarakat) dengan Islam berupa sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan dan keamanan. Jangan sampai ada satu individu warga negara yang terlewat. Semua wajib terpenuhi dengan standar kecukupan masing-masing. Negara, dalam mengelola anggaran, menjalankan prinsip efisiensi ketika kondisi kas atau harta negara di Baitul Mal sedang menipis. Namun, negara tetap wajib memperhatikan dan memprioritaskan enam sektor wajib di atas bisa terpenuhi tanpa ada pemangkasan yang bisa membahayakan kesejahteraan rakyat. Jika dana yang ada di Baitul Mal tidak mencukupi, negara boleh menarik pajak (dharîbah) akibat kondisi darurat yang diambil secara sementara dan hanya dari Muslim yang kaya saja. Sumber pemasukan negara yang berasal dari kekayaan alam, zakat, dari pungutan beberapa sektor (jizyah, kharaj), dan sebagainya sangat memungkinkan melimpah sehingga bisa menjamin kas di Baitul Mal selalu ada stok kekayaan. Negara harus menyita harta hasil korupsi sebagai harta ghulûl. Pengeluaran yang tidak penting harus dipangkas, sementara kebocoran keuangan akibat korupsi dan suap harus ditutup dengan sistem pengawasan yang ketat dan diterapkannya sanksi yang membuat jera. Prinsip efisiensi diterapkan tanpa mengorbankan hak-hak rakyat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.

Pada akhirnya, keberhasilan pengelolaan APBN syariah selain bertumpu pada individu yang bertakwa, amanah dan berintegritas tinggi; juga bergantung pada sistem pemerintahan Islam yang menerapkan syariah secara kâffah. Penerapan prinsip-prinsip APBN tersebut dapat menjadi instrumen yang tidak hanya efektif dalam pembangunan ekonomi, tetapi juga membawa keberkahan bagi seluruh rakyat dan warga negara Islam, baik Muslim maupun kafir dzimmy, bahkan menjadi rahmat seluruh alam.

WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. [Dr. Yuana Tri Utomo]

 

Daftar Rujukan

Abdul Qaddim Zallum. (2004). Al-Amwal fî Daulatil Khilafah. Dârul Ummah, Beirut, Libanon.

Abdurrahman Al-Maliki. (2001). As-Siyaasatu al-Iqtishodiyatu al-Mutsla. Bangil, Pasuruan, Jawa Timur.

Anonim. (2015). Ajihizah Daulati al-Khilafah fî al-Hukmi wa al-Idaroti. Pustaka Fikrul Mustanir, Bogor.

Syeikh Taqyuddin An-Nabhany. (2004). Sistem Ekonomi Islam. Dârul Ummah, Beirut, Libanon.

Triono, Dwi Condro. (2014). Perbandingan Konsep Pertumbuhan dan Pemerataan dalam Sistem Ekonomi Islam dan Kapitalisme. Penerbit Hidayah, Yogyakarta.

https://www.kemenkeu.go.id/informasi-publik/publikasi/berita-utama/Relevansi-Nilai-Islam-dalam-Keuangan-Negara

https://www.tempo.co/ekonomi/8-kasus-dugaan-korupsi-yang-pernah-terjadi-di-pertamina—1212613

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

8 + 9 =

Back to top button