Analisis

Mewujudkan Hakikat Takwa


Cecara bahasa takwa berasal dari kata ( وقى – يقي – وقاية – وقيا )1 waqâ – yaqî – wiqâyat[an] – waqy[an] yang maknanya adalah menjaga atau melindungi.2 Hal ini sebagaimana firman Allah SWT di dalam al-Quran:

وَوَقَىٰهُمۡ عَذَابَ ٱلۡجَحِيمِ  ٥٦

Allah melindungi mereka dari azab Neraka Jahim (QS ad-Dukhan [44]: 56).

 

Ibnu Manzhur menjelaskan bahwa makna dari ( وقاه الله وقياً ووقاية ) waqâhu-lLâhu waqiy[an] wa wiqâyah adalah Allah melindungi dirinya. Dalam bahasa Arab, dikatakan waqaytu asy-syay’a aqîhi jika seseorang menjaga dan menutupi sesuatu dari bahaya. Kata tawaqqâ dan ittaqâ memiliki makna yang sama, yakni menjaga diri.3

Ibnu Manzhur lebih lanjut menjelaskan perubahan dari asal kata ( وقيا ) waqaya menjadi ( تقوى ) taqwa, yaitu huruf ta’ (pada kata taqwa) adalah pengganti dari huruf wawu dan huruf wawu adalah pengganti dari huruf ya.4

Adapun secara istilah, para ulama telah mendefinisikan takwa dengan lebih dari sepuluh definisi. Definsi takwa yang paling populer adalah imtitsâlu awâmirillâhi wajtinâbu nawâhih, yakni melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Sahabat Ali bin Abi Thalib ra. mendefinisikan takwa dengan takut kepada Yang Mahaagung, mengamalkan wahyu yang diturunkan, qanâ’ah dengan yang sedikit dan mempersiapkan diri untuk Hari Perjalanan (menghadap Allah).

Imam Hasan al-Bashri menjelaskan bahwa orang yang bertakwa adalah orang yang menjaga diri dari yang diharamkan dan menunaikan apa yang diwajibkan atas mereka. Ibnu Abbas ra. menyatakan bahwa orang yang bertakwa adalah orang-orang yang senantiasa menghindari siksaan Allah ‘Azza wa Jalla dengan tidak meninggalkan petunjuk yang dia ketahui dan mengharapkan rahmat-Nya dalam mempercayai apa yang terkandung dalam petunjuk tersebut. Dalam riwayat yang lain Ibnu ‘Abbas ra. menyatakan bahwa orang yang bertakwa adalah orang Mukmin yang sangat takut berbuat syirik kepada Allah dan senantiasa taat kepada-Nya.5

Allah SWT memerintahkan kita agar bersungguh-sungguh dalam bertakwa, sebagaimana firman-Nya:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِۦ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسۡلِمُونَ  ١٠٢

Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa dan janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan Muslim (QS Ali Imran [3]: 102).

 

Imam an-Nasafi menjelaskan bahwa yang dimaksud “bertakwalah kalian kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa,” yaitu melaksanakan kewajiban takwa kepada Allah dan yang seharusnya dilakukan, yaitu menunaikan kewajiban serta menjauhi hal-hal yang diharamkan.6

Mayoritas ulama menjelaskan ayat ini dengan mengutip penjelasan langsung dari Rasulullah saw. yang diriwayatkan secara marfû’, dari Ibnu Mas’ud ra., terkait ayat ini:

حَقَّ تُقَاتِهِ هُوَ أَنْ يُطَاعَ فَلَا يُعْصَى, وَيُذْكَرَ فَلَا يُنْسَى, وَيَشْكُرَ فَلَا يُكْفَرَ

“Sebenar-benarnya takwa kepada Allah bermakna hendaknya Allah ditaati, tidak boleh durhaka kepada-Nya, selalu ingat kepada-Nya dan tidak melupakan-Nya serta bersyukur kepada-Nya dan jangan mengingkari (nikmat)-Nya.”7

 

Kita bisa melihat saat ini berapa banyak pemimpin atau pejabat yang seperti main-main dalam mengucapkan “takwa”. Mereka tidak berusaha sebenar-benarnya mewujudkan takwa dalam kehidupan mereka. Mereka tidak mentaati aturan Allah yang seharusnya ditegakkan. Saat disumpah jabatan, mereka menggunakan al-Quran. Namun demikian, saat menjabat, mereka melupakan al-Quran dan tidak berupaya bersungguh-sungguh untuk menerapkan al-Quran.

Di dalam al-Quran ada perintah untuk berpuasa Ramadhan. Allah SWT berfirman:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيۡكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ  ١٨٣

Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa, sebagaimana puasa itu diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa (QS al-Baqarah [2]: 183).

 

Dari ayat ini dapat dipahami bahwa puasa dapat membuat pelakunya memiliki sikap takwa, yakni kesediaan untuk taat dan tunduk pada segala perintah dan larangan Allah.8

Allah SWT menggunakan kata [ كُتِبَ ] (kutiba) yang secara harfiah maknanya “telah ditulis”. Namun, para ulama menjelaskan makna kutiba pada ayat tersebut adalah “furidha wa utsbita” yaitu telah diwajibkan dan ditetapkan.9 Dengan demikian makna kutiba ‘alaykum as-shiyâm adalah faradha AlLâhu ‘alaykum as-shiyâm, yaitu Allah telah mewajibkan atas kalian berpuasa.10

Kewajiban berpuasa juga didasarkan pada indikasi (qarînah) yang terdapat pada ayat selanjutnya. Disebutkan bahwa orang-orang yang sakit atau bepergian diizinkan untuk tidak berpuasa. Namun demikian, mereka wajib mengganti atau meng-qadhâ’ puasanya pada hari lainnya. Kewajiban meng-qadhâ’ puasa ini menunjukkan bahwa hukum berpuasa adalah wajib. Syaikh ‘Atha bin Khalil menyatakan bahwa setiap seruan yang di dalamnya terdapat ucapan atau perbuatan yang mengharuskan terus dikerjakan kecuali ada udzur, lalu diberikan rukhshah, qadhâ’, atau pemaafan merupakan salah satu qarînah yang menunjukkan pada jazm (ketegasan dan kepastian) sebuah seruan.11

Yang menarik, menurut Al-Farra, semua frasa kutiba ‘alaykum dalam al-Quran bermakna furidha ‘alaykum (diwajibkan atas kalian).12 Kita mengetahui bahwa perintah dalam al-Quran yang menggunakan kata kutiba tidak hanya ada pada ayat tentang perintah puasa. Ada juga perintah-perintah lain yang menggunakan kata kutiba, yaitu pada perintah menjalankan qishâsh dan berperang. Allah SWT berfirman:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيۡكُمُ ٱلۡقِصَاصُ فِي ٱلۡقَتۡلَىۖ ١٧٨

Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian (melaksanakan) qishâsh berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh (QS al-Baqarah [2]: 178).

كُتِبَ عَلَيۡكُمُ ٱلۡقِتَالُ وَهُوَ كُرۡهٞ لَّكُمۡۖ ٢١٦

Diwajibkan atas kalian berperang, sementara perang itu kalian benci… (QS al-Baqarah [2]: 216).

 

Lalu mengapa kewajiban puasa dapat dijalankan, sedangkan kewajiban menegakkan hukum qishâsh dan kewajiban berperang tidak dilaksanakan? Bukankah semuanya sama-sama bermakna diwajibkan? Padahal untuk mewujudkan ketakwaan yang paripurna sudah seharusnya semua perintah Allah kita laksanakan. Sebabnya, semuanya sama-sama perintah dari Allah yang tidak boleh kita beda-bedakan. Tidak boleh sebagian ayat dalam al-Quran yang kita terima dengan senang hati, sedangkan sebagian ayat lainnya kita tolak, bahkan diberi label radikal dan ekstrem.

Dalam mewujudkan ketakwaan ini perlu diperhatikan beberapa hal. Pertama: Takwa seharusnya memunculkan keterikatan seorang Muslim pada semua ketentuan Allah. Takwa berarti melaksanakan semua perintah Allah dalam hidup kita. Allah sudah menyiapkan seperangkat aturan yang sempurna, yang menjelaskan bagaimana seharusnya kita sebagai seorang Muslim melangsungkan kehidupan di dunia ini. Kesempurnaan Islam ini didasarkan pada firman Allah yang turun saat Haji Wada‘:

ٱلۡيَوۡمَ أَكۡمَلۡتُ لَكُمۡ دِينَكُمۡ وَأَتۡمَمۡتُ عَلَيۡكُمۡ نِعۡمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلۡإِسۡلَٰمَ دِينٗاۚ فَمَنِ ٱضۡطُرَّ فِي مَخۡمَصَةٍ غَيۡرَ مُتَجَانِفٖ لِّإِثۡمٖ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٞ رَّحِيمٞ  ٣

Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian, telah Aku cukupkan untuk kalian nikmat-Ku dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama kalian (QS al-Maidah [5]: 3).

 

Allah SWT juga telah menurunkan al-Quran untuk menjelaskan segala masalah, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya:

وَنَزَّلۡنَا عَلَيۡكَ ٱلۡكِتَٰبَ تِبۡيَٰنٗا لِّكُلِّ شَيۡءٖ وَهُدٗى وَرَحۡمَةٗ وَبُشۡرَىٰ لِلۡمُسۡلِمِينَ  ٨٩

Kami telah menurunkan Kitab al-Quran ini kepada kalian untuk menjelaskan segala sesuatu sebagai petunjuk, rahmat dan kabar gembira bagi kaum Muslim (QS an-Nahl [16]: 89).

 

Ibnu Mas’ud ra. menafsirkan ayat ini, “Sungguh telah menjelaskan kepada kami di dalam al-Quran ini semua ilmu dan segala sesuatu.”13

Penjelasan Ibnu Mas’ud ini membuat kita meyakini bahwa Islam pasti mampu menjawab segala problem yang kita hadapi dalam seluruh aspek kehidupan saat ini; baik ekonomi, politik, sosial, budaya, pendidikan ataupun yang lainnya. Ini yang seharusnya membuat kita berupaya dengan sungguh-sungguh menjalankan semua perintah Allah secara total. Allah SWT memerintahkan kita dalam al-Quran:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱدۡخُلُواْ فِي ٱلسِّلۡمِ كَآفَّةٗ وَلَا تَتَّبِعُواْ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيۡطَٰنِۚ إِنَّهُۥ لَكُمۡ عَدُوّٞ مُّبِينٞ  ٢٠٨

Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara menyeluruh dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan! Sungguh setan itu musuh yang nyata bagi kalian (QS al-Baqarah [2]: 208).

 

Kedua: Takwa seharusnya melahirkan sikap kehati-hatian saat melaksanakan suatu perbuatan. Takwa adalah menjalankan perintah Allah dan menjauhi semua larangan-Nya. Karena itu seorang Muslim harus memastikan dulu setiap perbuatan yang akan dia kerjakan, apakah itu dilarang atau tidak oleh Allah? Jika terbukti suatu perbuatan itu dilarang atau diharamkan, maka wajib bagi kita untuk meninggalkan perbuatan tersebut. Diriwayatkan bahwa Umar bin Khathab ra. pernah bertanya kepada Ubay bin Kaab tentang takwa. Ubay balik bertanya kepada Umar, “Apakah engkau pernah menempuh jalan berduri?” Umar menjawab, “Pernah.” Ubay kembali bertanya, “Apa yang engkau lakukan?” Umar menjawab, “Aku berusaha keras dan bersungguh-sungguh (untuk berhati-hati).” Ubay bin Kaab berkata, “Itulah takwa.” (HR. al-Baihaqi).

Para pemimpin atau pejabat, misalnya, adalah orang-orang yang paling lama dihisab nanti di akhirat kelak. Karena itu sudah sepatutnya mereka bertakwa kepada Allah. Mereka harus takut akan azab Allah yang akan menimpa diri mereka jika kebijakan yang mereka keluarkan tidak sejalan dengan Islam atau menzalimi rakyat. Dengan demikian takwa membuat seorang pemimpin akan selalu berhati-hati dalam mengeluarkan kebijakan. Apalagi Rasulullah saw. telah berdoa:

«اللهُمَّ, مَن وَلِيَ مِن أَمْرِ أُمَّتي شيئًا فَشَقَّ عليهم, فَاشْقُقْ عليه»

Ya Allah, siapa saja yang mengurusi urusan umatku, lalu ia membuat susah umatku, maka susahkanlah dia (HR Muslim).

 

Ketiga: Allah memerintahkan kita agar mentaati semua aturan-Nya. Sudah pasti Allah sudah mengukur kemampuan kita sebagai makhluk-Nya dalam melaksanakan perintah-perintah-Nya. Allah SWT berfirman:

فَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ مَا ٱسۡتَطَعۡتُمۡ ١٦

Bertakwalah kalian kepada Allah semampu kalian! (QS at-Taghabun [64]:16).

 

Sebagian ulama berpendapat bahwa ayat ini menghapus firman Allah SWT (yang artinya) “Bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa.” (QS Ali Imran [3]: 102). Dengan demikian seorang Muslim cukup bertakwa sesuai kemampuannya saja. Yang benar, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Abbas ra., ayat tersebut tidak dihapus.14 Allah tetap memerintahkan kita bertakwa dengan sebenar-benarnya, yaitu semaksimal kemampuan kita untuk bertakwa.

Itulah makna firman Allah SWT (yang artinya), “Bertakwalah kalian kepada Allah semampu kalian!” (QS at-Taghabun [64]:16). Ini karena kemampuan adalah kekuatan, sementara takwa itu dalam batas kemampuan manusia. Dengan demikian tidak ada pertentangan antara kedua ayat tersebut.15

Syaikh al-Mutawali asy-Sya’rawi menguatkan pendapat ini dengan mengatakan: Sungguh Allah Yang Mahabenar tidak membebankan sesuatu di luar batas kemampuan manusia. Namun, manusia kadang salah memahami firman-Nya (yang artinya): Bertakwalah kalian kepada Allah semampu kalian!” Lalu ada orang yang berkata, “Saya tidak mampu melaksanakan perintah ini.” Kemudian dia mengira bahwa kewajiban tersebut gugur dari dirinya. Ini adalah pemahaman yang keliru. Sungguh makna firman Allah (yang artinya) “Bertakwalah kalian kepada Allah semampu kalian!” adalah bahwa setiap orang harus bertakwa kepada Allah sesuai dengan batas kemampuan dan kekuatannya. Karena itu segala sesuatu yang ada dalam kemampuan Anda, wajib untuk Anda lakukan. Jangan sampai ada yang menyelewengkan maknanya dengan beralasan, “Saya tidak mampu.” Pasalnya, Allah mengetahui batas kemampuan setiap manusia.16

Dari penjelasan para ulama di atas, jelas tidak boleh seorang Muslim beropini bahwa pada kondisi saat ini masyarakat tidak mampu menerapkan aturan Allah atau syariah Islam dengan beribu alasan yang dikemukakan. Sebaliknya, yang seharusnya disadari justru syariah itu pasti mampu diterapkan dan pasti membawa keberkahan.

Menjadi pelajaran juga bagi kita untuk semangat memperjuangkan penegakan syariah secara kâffah dengan semaksimal kemampuan kita. Dengan itu turunlah keberkahan dari langit dan bumi yang dijanjikan dalam firman Allah SWT:

وَلَوۡ أَنَّ أَهۡلَ ٱلۡقُرَىٰٓ ءَامَنُواْ وَٱتَّقَوۡاْ لَفَتَحۡنَا عَلَيۡهِم بَرَكَٰتٖ مِّنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلۡأَرۡضِ وَلَٰكِن كَذَّبُواْ فَأَخَذۡنَٰهُم بِمَا كَانُواْ يَكۡسِبُونَ  ٩٦

Andai penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, niscaya Kami akan membukakan untuk mereka berbagai keberkahan dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka mendustakan (ayat-ayat Kami). Karena itu Kami menyiksa mereka disebabkan karena perbuatan mereka (QS al-A’raf [7]: 96).

 

WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. [Tisna Asy-Syirbuni]

 

Catatan kaki:

  • Jubran Mas’ud, Mu’jam Ar-Ra’id, (Beirut: Dar al-‘Ilmi lil Malayin, 2002 M), h. 961
  • Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir, Kamus Arab-­Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Penerbit Pustaka Progresif, 1997 M), h. 1577
  • Ibnu Man“ur, Lisan al-`Arab, (Beirut: Dar Ac-bâdir, 1414 H), Cet. Ke-3, Juz 15, h 401
  • Ibid., h. 402
  • Muhammad bin Jarir At-Thabari, Jâmi’ al-Bayan fî Ta’wîl al-Qur’an, (Muassasah ar-Risalah, 1420 H/ 2000 M), Juz 1, h. 234
  • Abdullah bin Ahmad bin Mahmud An-Nasafi, Tafsir An-Nasafi, (Kairo: Dar al-Hadits, 2019 M), Juz 1, h. 190
  • Abu Hayan al-Andalusi, Al-Bahru al-Muhith fî Tafsir, (Beirut: Dar al-Fikr, 1420 H), Juz 3, h. 285
  • Rokhmat S Labib, Tafsir Al-Wa‘ie, (Jakarta: Wadi Press, 2010 M), h. 44
  • Muhammad bin ‘Ali Asy-Syaukani, Fath al-Qadir, (Damaskus: Dar Ibnu Katsir, 1414 H), h. 201
  • Nukhbah min al-Ulama, Tafsir al-Muyassar, (Madinah al-Munawarah: Mujamma’ Malik Fahd li Thaba’ati al-Mushafi asy-Syarif, 2009 M), Cet. Ke-2, h. 28
  • ‘Atha bin Khalil, Taisir al-Wushul ila al-Ushul, (Beirut: Dar al-Ummah), h. 20
  • ‘Ali As-Sabuni, Rawai‘u al-Bayan, (Beirut: Dar al-Fikr), Juz 1, h. 168
  • Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, (Dar Thoyibah, 1420 H), Juz 4, h. 594
  • Jalaluddin As-Suyuthi, Ad-Dur al-Mantsur, (Beirut: Dar al-Fikr), Juz 2, h. 283
  • Muhammad Thahir Ibnu ‘Asyur, At-Tahrir wa Tanwir, (Tunisia: Dar Tunisia li an-Nasyr, 1984 M), Juz 4, h. 30
  • Muhammad Mutawali Asy-Sya’rawi, Tafsir Asy-Sya’rawi, (Mathabi’ Akhbar al-Yaum, 1997 M), Juz 3, h. 1657.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

seventeen − 7 =

Back to top button