Fokus

Puasa dan Takwa Paripurna


Kehadiran Ramadhan merupakan salah satu bulan yang paling dirindukan oleh kaum Muslim. Betapa tidak. Ramadhan datang hanya sekali dalam satu tahun, tetapi memberikan sajian berbagai amal shalih bertabur pahala yang berlipat. Karena itu berbagai cara dilakukan oleh kaum Muslim di seluruh dunia untuk menyambut bulan mulia ini dengan penuh antusias dan hati gembira.

Meski merupakan kewajiban individual, puasa sejatinya mampu mewujudkan ketakwaan kolektif yang akan memberikan pengaruh signifikan pada perbaikan kehidupan masyarakat dan negara. Secara individual, pelaksanaan puasa Ramadhan telah berdampak pada peningkatan kualitas ketakwaan. Namun, secara kolektif kehidupan masyarakat dan negara, puasa belum membawa dampak signifikan untuk meredam bahkan mereduksi berbagai kemaksiatan sistemik yang terjadi karena penerapan sistem kapitalis-sekuler.

Siapapun akan merasakan adanya perbedaan saat Ramadhan tiba dengan sebelum Rama­dhan. Perbedaan paling tampak adalah ketika suasana keislaman (khususnya dalam pelaksanaan ubudiyah mahdoh) meningkat dibandingkan dengan bulan-bulan sebelumnya. Akan tetapi, pada saat yang sama kita pun mendapati persamaan yang juga signifikan, yakni dari Ramadhan ke Ramadhan kita masih mengabaikan syariah dalam berbagai aspek kehidupan. Kita, misalnya, masih menyaksikan praktik riba merajalela di masyarakat. Riba bahkan menjadi penyangga ekonomi di negeri ini, Ramadhan datang dan pergi seolah tidak menyurutkan kelaziman riba yang dilakukan mayoritas masyarakat, bahkan juga negara. Tak ada rasa takut bahwa riba adalah kemaksiatan yang dosanya sangat besar.

Demikian juga dengan judi online (judol). Dari tahun ke tahun begitu marak terjadi. Berdasarkan laporan PPATK, dari tahun 2017 – 2022 saja, dana yang berputar di slot judi online tembus Rp 200 Triliun atau sekitar Rp 40 Triliun pertahun. Ironisnya aktivitas ini terjadi di negeri Muslim terbesar di dunia yang dikenal paling antusias setiap kali berjumpa dengan bulan Ramadhan yang mulia.

Karut-marut dunia pendidikan kita juga semakin jauh dari syariah. Banyak kasus terjadi. Dari mulai aksi kekerasan, bullying, pelecehan seksual guru ke murid, hingga adab rusak murid ke guru. Belum lagi kurikulum yang sering berganti, tetapi tetap dalam kerangka sekularisme yang semakin menjauhkan diri dari akidah Islam. Ramadhan seolah tidak bisa dimanfaatkan oleh sistem pendidikan kita untuk meng-upgrade kepribadian Islam peserta didik pada setiap jenjang pendidikan dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi.

Penegakan hukum di negeri kita juga selalu menampilkan wajah yang kelam. Laporan masyarakat akan diproses ketika kasus viral di media social. Banyak kasus serius ditangani ketika masuk suap. Hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Kehadiran Ramadhan seolah tidak membawa impact untuk menghentikan praktik ketidakadilan ini.

Korupsi juga kian menggurita. Data dari Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) menunjukkan bahwa kerugian negara akibat korupsi mencapai puncak tertinggi dalam dekade terakhir, dengan total kerugian mencapai Rp 29,9 triliun rupiah pada tahun 2023. Kondisi ini kian menegaskan bahwa murâqabah (sikap merasa diawasi Allah SWT) yang senantiasa dipupuk di bulan Ramadhan seolah tidak mempan untuk menghentikan para koruptor yang notabene kebanyakan adalah Muslim. Selain itu, tak terhitung kebijakan penguasa yang zalim dan merugikan rakyat terus dilakukan. Spirit Ramadhan untuk senantiasa menumbuhkan sikap berkasih sayang dan menyantuni dhu’afâ yang kesulitan tidak dijadikan tuntunan bagi para penguasa zalim itu yang justru terus merugikan rakyatnya sendiri.

Pertanyaannya: Apakah semua penyimpangan syariah tersebut, ketika Ramadhan tiba, akan mendapat perhatian untuk dijadikan objek perubahan seperti ketika seorang Muslim meninggalkan shalat atau melakukan banyak dosa-dosa individu?

Memang kita tidak bisa berharap lebih pada para penguasa tersebut untuk langsung melakukan perubahan atas kondisi yang ada saat ini. Sebabnya, perubahan setidaknya harus memiliki tiga syarat: (1) Munculnya kesadaran akan fakta yang rusak; (2) memahami solusi pengganti atas fakta yang rusak tersebut; (3) memahami metode untuk mewujudkan solusi tersebut.

Jika ketiganya tidak ada maka perubahan yang diharapkan tidak akan pernah terwujud. Ketiganya mutlak harus ada agar momentum yang lewat di hadapan kita, seperti bulan Ramadhan, bisa benar-benar dijadikan momentum untuk melakukan perubahan ke arah Islam.

Jika penguasa tidak menyadari bahwa fakta-fakta tersebut adalah kerusakan maka sejengkal pun mereka tidak akan bergerak melakukan perubahan. Demikian pula ketika muncul kesadaran bahwa kondisi saat ini rusak, tetapi tidak memiliki solusi atas fakta-fakta yang rusak tersebut. Kalaupun ada solusi, solusinya tidak shahih. Alih-alih mengarah pada penyelesaian kerusakan tersebut, yang ada justru akan menambah kerusakan yang lebih besar lagi. Yang lebih parah adalah ketidakpahaman akan metode penerapan solusi yang benar akan menjadikan penyelenggaraan negara hanya menjadi ajang try and error. Pada akhirnya rakyat kembali yang akan menjadi objek yang menderita dan dizalimi.

 

Dimulai dari Ketakwaan

Tujuan puasa Ramadhan agar menjadi insan yang bertakwa adalah sebuah keniscayaan. Sebabnya, ketakwaan akan membentuk seorang Muslim untuk senantiasa menjadikan hukum-hukum Allah sebagai timbangan sikap dan perilakunya. Kehati-hatian dalam berperilaku agar selalu dalam ketundukan pada hukum Allah serta terhindar dari jerat kemaksiatan dan pelanggaran hukum syariah. Itulah yang disebut ‘takwa’.

Menurut Abu Hurairah ra., yang dijelaskan oleh Ibnu Abi ad-Dunya dalam kitab At-Taqwâ, takwa dianalogikan dengan seseorang yang berhati-hati saat mendapati jalan yang ia lewati banyak duri. Tentu agar ia terhindar dari tajamnya tusukan duri di kaki. Maknanya, senantiasa berhati-hati dalam menjalani kehidupan agar tetap dalam koridor hukum Allah dan tidak terjerembap ke dalam kubangan dosa.

Pernyataan Abu Hurairah ra. tersebut sejalan dengan sabda Rasulullah saw., bahwa tidaklah seorang mukmin mencapai derajat takwa hingga ia meninggalkan hal-hal yang tidak berguna karena khawatir terjerumus pada hal-hal yang haram (Lihat: HR al-Bukhari, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, al-Hakim dan al-Baihaqi).

Menurut Ibnu Abbas ra., mereka adalah orang-orang yang khawatir terhadap hukuman Allah karena meninggalkan petunjuk (al-Quran) yang mereka ketahui seraya mengharap rahmat-Nya dengan membenarkan apa saja yang datang dari Allah. Menurut Muadz bin Jabal ra., mereka adalah orang-orang yang takut berbuat syirik dan penyembahan kepada berhala serta mengikhlaskan diri beribadah hanya kepada Allah.

Khalifah Umar bin Abdul Aziz pernah mengatakan bahwa takwa kepada Allah bukan ditandai oleh seringnya puasa siang hari dan seringnya shalat malam atau kedua-duanya. Akan tetapi, takwa kepada Allah adalah meninggalkan apa saja yang Allah haramkan dan melaksanakan apa saja yang Allah wajibkan.

 

Tidak Cukup Mewujudkan Takwa Hanya Pada Individu

Banyak umat Muslim saat ini sudah merasa puas ketika pada bulan Ramadhan ia sudah melaksanakan kewajiban puasa sebulan penuh. Apalagi telah mengisi hari-hari dan malam-malamnya dengan banyak melakukan amalan sunnah selain yang wajib. Tilawah al-Quran khatam berkali-kali. Qiyâmullayl (tarawih dan tahajud) pun tak pernah absen. Sedekah rutin dilakukan. Kajian-kajian Islam semarak diikuti. Bahkan bagi yang mampu dan diberi kelapangan rezeki akan menyempurnakan Ramadhan dengan melaksanakan umrah ke tanah suci. kemudian keluarganya tampak shalih-shalihah. Lalu dengan itu semua ia sudah merasa cukup.

Padahal Islam ini tidak hanya berhenti pada pencapaian ketakwaan individu. Ketakwaan dan kebaikan Islam sejatinya harus diwujudkan pada dimensi yang lebih luas, yakni pada level masyarakat dan negara. Saat itulah wujud Islam sebagai rahmat[an] lil ‘âlamîn akan ditampakkan.

Sebabnya, jika kita bicara tentang kebaikan Islam, hal itu baru akan dirasakan secara nyata ketika Islam diterapkan secara kâffah; bukan hanya dalam kehidupan pribadi dan keluarga, tetapi justru yang menjadi pokok adalah dalam kehidupan masyarakat dan negara. Sebabnya, negara yang dibawa oleh Islam adalah negara yang memang didirikan untuk mengatur ketaatan kepada Allah, bukan justru menghalangi ketaatan kepada Allah.

Sejatinya Muslim yang bertakwa itu merasa butuh untuk mewujudkan ketaatan itu pada kehidupan masyarakat dan negara. Ketakwaan ini dibangun dan dipupuk oleh dirinya melalui ibadah mahdhah yang ia kerjakan akan dengan mudah pudar dan bahkan berpotensi lenyap ketika tampak di kiri, kanan, depan dan belakangnya kehidupan kian jauh dari penerapan syariah Islam. Atas dasar realitas itulah ia terdorong untuk berjuang melakukan perubahan juga kepada masyarakatnya.

Karena itu penting bagi setiap Muslim untuk segera menarik hikmah puasa itu dari kehidupan personal menjadi kehidupan komunal. Pasalnya, dampak dari kehidupan sekularisme saat ini sangat berpengaruh pada cara berpikir umat, termasuk para ulama dan para da’i. Seolah-olah agama itu hanya ditempatkan dalam kehidupan pribadi. Ceramah, tawsiyyah dan dakwah pun hanya menyasar pada perbaikan di ruang individu. Mereka seolah lupa atau pura-pura tidak tahu bahwa ada ruang lain yang dengan kasat mata tampak kerusakannya yang juga harus menjadi objek yang harus diubah. Ruang perbaikan ini justru sangat strategis untuk melakukan perbaikan secara sistemik dan menyeluruh dengan diterapkan Islam dalam kehidupan masyarakat dan negara.

Islam tidak akan tampak kebaikannya, sebagaimana dijanjikan Allah SWT sebagai rahmat[an] lil ‘âlamîn, kecuali semua perangkatnya utuh dilaksanakan. Ibarat mobil, jika dilepas rodanya satu saja, sudah tidak bisa berjalan normal. Begitu juga dengan Islam, ketika ia diterapkan pada aspek individu saja, aspek ibadah mahdhah saja, tetapi tidak diterapkan pada ekonomi, pendidikan, pergaulan, sosial-budaya, hukum, politik, dan sebagainya, maka itulah Islam yang invalid; Islam yang tidak lengkap; Islam yang cacat. Jika tidak lengkap, tentu tidak akan bisa memberikan rahmat.

Dalam implementasinya, syariah Islam ada yang pelaksanaannya dibebankan pada individu (seperti ibadah mahdhah), ada syariah Islam yang pelaksanaannya dibebankan pada kelompok (dakwah berjamaah dan amar makruf nahi mungkar), juga ada syariah Islam yang pelaksanaannya dibebankan pada negara (muamalah dan ‘uqûbât).

Pelaksanaan syariah Islam yang pelaksanaannya dibebankan pada individu dan kelompok inilah yang seharusnya terus kita persiapkan. Ini karena pelaksanaannya tidak harus menunggu adanya eksistensi Negara Islam. Apalagi bulan Ramadhan adalah momen terbaik agar semakin meningkat agar muncul ketakwaan individu yang kian massif.

Pada individu-individu yang bertakwa akan dengan mudah muncul aktivitas saling mengoreksi atau melakukan amar makruf nahi mungkar jika terjadi pelanggaran syariah, baik dilakukan oleh sesama individu atau jamaah, maupun amar maruf nahi munkar pada negara (yang disebutkan di hadis sebagai amar makruf nahi mungkar yang paling utama). Tegaknya tiga pilar penerapan syariah Islam ini adalah garansi akan terwujudnya masyarakat Islami yang akan mewujudkan ketakwaan paripurna.

 

Takwa Paripurna Hanya dalam Sistem Khilafah

Kemuliaan Ramadhan akan tereduksi jika tidak didukung oleh ketakwaan sistemis. Yang muncul justru sekularisasi dan kapitalisasi Ramadhan. Di sinilah pentingnya Khilafah.

Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi kaum Muslim di dunia untuk melaksanakan hukum-hukum Islam dan mengemban dakwah ke seluruh alam. Sejatinya, syariah Islam secara kâffah tidak bisa dilepaskan dengan Khilafah. Ini juga yang disampaikan oleh Hujjatul Islam Imam al-Ghazali, “Agama adalah fondasi, kekuasaan politik adalah penjaganya. Sesuatu yang tidak ada fondasinya akan roboh. Sesuatu yang tidak ada penjaganya akan telantar.”

Di bawah hegemoni sistem sekularisme dan kapitalisme, Ramadhan tampaknya belum membawa perubahan apa pun bagi nasib kaum Muslim di seluruh dunia. Umat Islam seluruhnya masih dalam keadaan terpuruk dan terhina. Musuh-musuh Allah, kaum kuffâr, masih saja membunuhi dan menjajah kaum Muslim. Para penguasa di negeri-negeri Islam juga masih saja menelantarkan rakyatnya, tidak peduli kebutuhan bahan pokok mereka terjamin atau tidak.

Korupsi dan berbagai penyimpangan juga makin merajalela. Perjudian, pornografi dan pelacuran masih saja berjalan; bahkan saat Ramadhan sekalipun. Kriminalitas seperti pemerkosaan, pembunuhan, pencurian dan sebagainya, masih merupakan bagian dari keseharian hidup masyarakat kita.

Islam telah dicampakkan dalam kehidupan. Islam telah digantikan dengan sistem kehidupan sekuler kapitalistik yang berprinsip memisahkan agama dari kehidupan dan menjadikan manfaat dan kebebasan sebagai asas kehidupannya.

Benar. Saat ini kaum Muslim—laki-laki dan perempuan—masih shalat dengan menggunakan aturan Islam, mengerjakan puasa dan beribadah haji dengan aturan Islam, menikah dengan aturan Islam, memilih makanan dan minuman sesuai dengan Islam, juga mengurus jenazah berdasarkan aturan Islam. Mereka pun terlihat bergembira dan bersegera menyambut seruan Allah, “… kutiba ’alaykum ash-shiyâm.”

Akan tetapi, dalam urusan pemerintahan, politik, ekonomi, sosial dan pidana, mereka tidak menjadikan aturan Islam sebagai pegangan. Mereka mencampakkan hukum-hukum-Nya. Mereka tampak enggan menyambut seruan Allah “kutiba ’alaykum al-qitâl” dan “kutiba ’alaykum al-­qishâsh”. Padahal ketika umat Islam mencampakkan aturan-aturan Allah, seketika itulah umat Islam menjatuhkan dirinya ke dalam lubang kenestapaan, kemunduran, dan keterpurukan.

Sesungguhnya telah nyata kegagalan sistem kapitalis sekuler memberikan kesejahteraan dan ketenangan bagi umat manusia. Oleh karena itu, masihkah kita berharap pada sistem yang rusak ini? Tentu saja tidak! Sudah saatnya kita membuang jauh-jauh sistem yang telah menyengsarakan kita ini. Kita harus mengganti sistem yang telah cacat sejak lahir ini dengan sistem yang mampu menyejahterakan umat manusia. Itulah sistem Khilafah yang terbukti mampu mengantarkan manusia menuju puncak peradaban, kesejahteraan dan kemakmuran.

WalLâhu a’lam. [Agus Suryana, S.S., M.Pd.; Direktur Lingkar Studi Islam Strategis (LSIS)]

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

12 + twenty =

Back to top button