
Pemimpin Bertakwa
Takwa. Mudah diucapkan namun acap kali sulit diimplementasikan. Dulu Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. pernah bertanya kepada Sahabat Ubay bin Kaab ra. “Wahai Ubay, apa makna takwa?” Alih-alih menjawab, Ubay bin Kaab malah bertanya balik. “Pernahkah engkau berjalan melewati jalan yang penuh duri?” Umar menjawab, “Tentu saja pernah.” Lalu Ubay merespon, “Saat engkau melewati jalan berduri, apa yang engkau lakukan saat itu, wahai Umar?” Sang Khalifah segera menjawab, “Aku akan berjalan hati-hati dan waspada.” Ubay pun langsung berkomentar, “Itulah hakikat takwa.”
Ada kehati-hatian, sikap waspada dan rasa takut akan pengawasan Allah SWT apabila melanggar hukum/aturan-Nya. Dari sinilah muncul rasa tanggung jawab terhadap apa yang menjadi tugasnya.
Dalam konteks kepemimpinan, salah satu wujud pemimpin yang bertakwa adalah mengayomi urusan dan kebutuhan rakyatnya. Khalid Muhammad Khalid dalam bukunya, Ar-Rijâl Hawla Rasûl (Para Ksatria di Sekitar Rasul), menuturkan bahwa suatu ketika terjadi kelaparan hingga mencapai puncaknya di Madinah. Khalifah Umar bin Khathab, pemimpin kaum Mukmin kala itu, pernah disuguhi roti yang dicampur dengan minyak samin. Lalu beliau memanggil seorang badui dan mengajak dia makan bersama. Khalifah Umar tidak memakan makanan itu sebelum orang badui itu makan. Orang badui itu terlihat sangat menikmati makanan itu. “Kayaknya engkau tidak pernah merasakan enaknya makanan itu?” tanya Khalifah Umar. Orang itu menjawab, “Benar.” Saya tidak pernah makan dengan samin atau minyak zaitun. Saya juga sudah lama tidak menyaksikan orang-orang memakannya sampai sekarang.” Kontan saja, mendengar kata-kata itu Khalifah Umar berkata, “Kalau rakyatku kelaparan, aku ingin orang pertama yang merasakannya. Kalau rakyatku kekenyangan, aku ingin orang terakhir yang menikmatinya.”
Luar biasa! Clear, orang yang beliau ajak makan adalah orang yang papa, tak punya apa-apa. Tak ada cerita, orang kaya yang beliau dahulukan. Karena itu tidak terbayang bagaimana bisa pemimpin saat ini memberikan sumber daya alam termasuk laut kepada oligarki. “Jauh dengan sikap Khalifah Umar bin Khathab,” kata Erwin kepada saya. “Dulu, ada Presiden yang disebutnya mirip Umar bin Khathab hanya karena suka blusukan. Padahal Khalifah Umar blusukan untuk mengayomi rakyat, sementara pemimpin yang dimaksud tadi sekadar untuk pencitraan,” tambahnya sambil senyum yang dipaksakan.
Menurut Sindonews.com (21 Januari 2025), KPK menyebut rata-rata harta kekayaan pejabat reguler (pernah menjabat periode sebelumnya) senilai Rp 187 miliar, sementara 58 pejabat baru memiliki nilai rata-rata kekayaan Rp 227 miliar. Sebaliknya, Plt. Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti (Winny) mengatakan jumlah penduduk miskin pada September 2024 sebesar 24,06 juta orang dengan batas garis kemiskinan sebesar Rp595.242/kapita/bulan (Menpan.go.id, 17 Januari 2025).
Terdapat jurang yang menganga antara rakyat biasa dan pejabat. Apalagi jika dibandingkan dengan para oligarki. “Sayangnya, berbeda dengan kebijakan Khalifah Umar bin al-Khaththab, kebijakan yang ditelurkan mereka umumnya lebih berpihak kepada orang kaya dan oligarki,” tambah Erwin lagi.
Tanggung jawab yang mencerminkan wujud takwa Khalifah Umar bukan hanya ditunjukkan pada manusia, bahkan ditunjukkan pada hewan sekalipun. Dalam suatu riwayat dikisahkan Khalifah Umar bin al-Khaththab suatu waktu berjalan di Kota Madinah. Tiba-tiba dia melihat seekor burung pipit yang dijadikan mainan seorang anak. Rasa kasihan dan iba pun segera muncul dari Khalifah yang dikenal tegas tersebut. Beliau pun segera membeli burung tersebut dari anak itu. Lalu, melepaskan burung itu agar bisa terbang bebas. Mâ syâ AlLâh…TabarakalLâh…Luar biasa. Burung pipit yang lemah dan kecil pun sangat diperhatikan oleh Khalifah Umar bin al-Khaththab.
Bukan sebatas itu, Abu Nu’aim dalam kitab Hilyah Awliyâ’ meriwayatkan bahwa Khalifah Umar bin al-Khaththab mendapatkan kabar tentang kerusakan jalan di Irak. Beliau merasa khawatir dan gelisah. Amirul Mukminin itu berkata, “Andai saja seekor kambing mati di tepi Eufrat karena terpeleset, sungguh aku yakin bahwa Allah SWT pasti akan bertanya tentang hal itu kepadaku pada Hari Kiamat.”
Dalam kitab Syu’ab al-Îmân, Imam al-Baihaqi meriwayatkan bahwa Umar bin al-Khaththab berkata, “Andai ada kambing mati di tepi sungai Eufrat karena tidak terurus, sungguh aku takut kelak aku dimintai pertanggung jawaban atasnya.”
Dalam riwayat lain disebutkan, “Seandainya seekor bighal di Irak jatuh tergelincir, niscaya Allah akan meminta pertanggungjawabanku pada Hari Kiamat, mengapa engkau tidak memperbaiki jalan itu, wahai Umar.”
Bayangkan, jarak dari Madinah ke Sungai Eufrat di Irak sekitar 1671 km. Bisa ditempuh dengan jalan kaki selama 373 jam atau 31 hari tanpa berhenti. Sekalipun jaraknya sangat jauh, ada di ujung wilayah kekuasaan Islam kala itu, Khalifah Umar sangat peduli. Bukan hanya manusia, melainkan juga hewan. Apa penyebabnya? Rasa takut dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT. Itulah takwa. “…Aku yakin bahwa Allah SWT pasti akan bertanya tentang hal itu kepadaku pada Hari Kiamat,” begitu keyakinan beliau.
Tak aneh perilaku yang beliau wujudkan pun sangat indah. Muncul pertanyaan, adakah di zaman now pemimpin yang memiliki rasa takut kepada Allah SWT sebagaimana Khalifah Umar bin al-Khathab? Tak aneh, di bawah kepemimpinan beliau wilayah Islam bertambah hingga meliputi Semenanjung Arabia, Semenanjung Irak, Persia, Mediterania Timur dan Afrika Utara. Di akhirat, beliau pun termasuk salah seorang yang dijamin masuk surga.
Itulah kekuatan energi takwa. Syekh Abdullah bin Baz pernah menulis dalam Majalah Universitas Islam Madinah (No. 2, pada 9 Dzulhijjah 1396H/1 Desember 1976), “Engkau, wahai hamba Allah, apabila membaca Kitab Tuhanmu (al-Quran) dari awalnya hingga akhirnya engkau akan menemukan bahwa takwa itu merupakan pangkal segala kebaikan, kunci semua kebaikan, dan sebab semua kebaikan di dunia dan di akhirat. Musibah, ujian dan ‘uqûbât datang karena mengabaikan takwa atau menghilangkan takwa. Takwa itu sebab kehadiran kebahagiaan dan kesuksesan, penghilang malapetaka serta mendatangkan kemuliaan dan kemenangan di dunia dan di akhirat”.
WalLâhu a’lam. [Muhammad Rahmat Kurnia].