Iqtishadiyah

Pengelolaan Tambang Sesuai Syariah

Industri pertambangan modern telah menjadi salah satu sektor ekonomi terpenting di Indonesia, tetapi juga menjadi penyebab utama kerusakan lingkungan yang masif. Eksploitasi sumber daya mineral tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang telah mengakibatkan pencemaran air, udara dan tanah, serta mengganggu kehidupan masyarakat sekitar. Kemiskinan, bukan kemajuan ekonomi, yang dirasakan oleh masyarakat lokal. Fenomena ini bukan hanya masalah teknis, melainkan refleksi dari sistem ekonomi yang mendasari kerusakan tersebut: sistem Kapitalisme.

 

Islam Melindungi Sumber daya Alam

Islam memiliki paradigma yang berbeda dengan sistem Kapitalisme dalam memandang hubungan manusia dengan alam. Segala ciptaan Allah SWT di muka bumi ini ditujukan untuk dikelola oleh manusia sesuai dengan aturan-Nya. Manusia diberi amanah untuk mengelola sumber daya alam secara bijaksana, memastikan keberlanjutan untuk generasi mendatang serta menjaga keseimbangan ekosistem. Allah SWT telah menegaskan bahwa manusia adalah pengelola di bumi yang bertanggung jawab untuk memakmurkan bumi tersebut, bukan menghancurkannya (Lihat: QS Hud [11]: 61). Islam secara tegas melarang segala bentuk kerusakan di bumi (Lihat: QS al-A’raf [7]: 85). Ayat ini menjadi dasar fundamental bagi semua aktivitas ekonomi, termasuk pertambangan, yang harus dilakukan tanpa merusak lingkungan.

Islam juga secara tegas melarang segala aktivitas yang mendatangkan kemadaratan dan memerintahkan agar kemadaratan dihilangkan. Rasulullah saw. Bersabda, “Tidak boleh ada kemadaratan dan tidak boleh menimbulkan kemadaratkan.” (HR Ibnu Majah).

Para ulama ushul kemudian membuat kaidah fiqih: Adh-Dharar yuzal (Kemadaratan harus dihilangkan). Oleh karena itu, menghilangkan bahaya tersebut adalah kewajiban. Selanjutnya, pelaku pelanggaran bisa dikenai sanksi atau hukuman jika hakim memandang perlu. Keadaan ini berbeda dengan sistem Kapitalisme yang mengganti kewajiban penghilangan bahaya dengan denda finansial. Pada akhirnya hal ini justru menyebabkan bahaya itu tetap ada dan tidak dihilangkan dalam banyak kasus.

Secara spesifik, Islam telah mengajarkan berbagai hukum-hukum syariah yang bertujuan untuk menjaga kelestarian dan keberlanjutan lingkungan yang penting diperhatikan dalam pengelolaan sumber daya alam, termasuk pada sektor pertambangan. Berbagai hukum tersebut dapat dilihat pada perintah untuk menjaga air, udara, tanah dari pencemaran serta melindungi eksistensi tumbuhan dan binatang.

 

  1. Perlindungan Air.

Islam memberikan perhatian istimewa terhadap air sebagai sumber kehidupan (Lihat: QS al-Anbiya’ [29]: 30). Karena itu Rasulullah saw. melarang pencemaran air, “Janganlah salah seorang dari kalian kencing di air yang tergenang, kemudian ia mandi di dalamnya.” (HR al-Bukhari).

Bahkan dalam penggunaan air untuk ibadah, Islam mengajarkan prinsip tidak berlebihan. Ketika Rasulullah saw. melihat Sa’d berwudhu secara berlebihan, beliau bersabda, “Apa pemborosan ini, wahai Saad?” Ketika Saad bertanya apakah ada pemborosan dalam wudhu, Rasulullah menjawab, “Ya. Meskipun kamu berada di sungai yang mengalir.” (HR Ahmad).

 

  1. Perlindungan Udara dan Vegetasi.

Islam mendorong penghijauan sebagai bentuk perlindungan udara. Rasulullah saw. Bersabda, “Tidaklah seorang Muslim menanam tanaman atau bercocok tanam, lalu dimakan oleh burung, manusia, atau hewan, melainkan hal itu menjadi sedekah bagi dirinya.” (HR al-Bukhari).

Bahkan menjelang Hari Kiamat sekalipun, penanaman pohon tetap dianjurkan, “Jika Hari Kiamat telah tegak dan di tangan salah seorang dari kalian ada bibit kurma, jika dia mampu untuk tidak berdiri hingga dia menanamnya, maka hendaklah dia lakukan.” (HR Ahmad).

Rasulullah saw. juga melarang penebangan pohon tanpa keperluan. Beliau bersabda, “Janganlah kalian menebang pohon karena sesungguhnya pohon adalah pelindung ternak di masa kekeringan.” (HR Abdur Razzaq).

 

  1. Perlindungan Tanah.

Tanah sebagai komponen lingkungan mendapat perlindungan khusus dalam Islam. Islam mendorong rehabilitasi tanah. Rasulullah saw. bersabda, “Siapa saja yang memakmurkan tanah yang bukan milik siapa pun, maka dialah yang lebih berhak.” (HR al-Bukhari).

Rasulullah saw. melarang membuang kotoran di tempat umum. Beliau bersabda, “Hindarilah tiga perbuatan yang mendatangkan laknat: (buang hajat) di tempat sumber air, di tengah jalan dan di tempat teduh.” (HR Abu Dawud).

Aktivitas membersihkan lingkungan dari polusi juga mendapat pahala. Saba beliau, “Menyingkirkan gangguan dari jalan adalah sedekah.” (HR al-Bukhari).

 

  1. Perlindungan Fauna.

Hewan sebagai bagian integral ekosistem mendapat perlindungan komprehensif dalam Islam. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah mewajibkan berbuat baik pada segala sesuatu. Jika kalian menyembelih, berbuat baiklah dalam menyembelih.” (HR Muslim).

Prinsip ihsaan (berbuat baik) ini berlaku dalam semua interaksi dengan makhluk hidup. Rasulullah saw. bersabda, “Siapa saja yang membunuh burung pipit atau yang lebih kecil dari itu tanpa haq (alasan yang benar), maka Allah akan menuntut dia nanti (di Akhirat).” Para Sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apa alasan haq-nya?” Beliau menjawab, “Yaitu disembelih (dengan cara yang benar), lalu dimakan. Jangan hanya memotong kepalanya, lalu dibuang begitu saja.” (HR al-Baihaqi).

Beliau juga menegaskan “Bertakwalah kepada Allah pada hewan-hewan bisu ini. Tunggangilah dalam keadaan sehat dan makanlah dalam keadaan sehat.” (HR Abu Dawud).1

 

Kepemilikan Umum Sumber daya Strategis

Islam memiliki sistem kepemilikan yang unik. Dalam Islam sumber daya ekonomi dibagi berdasarkan ketentuan dari Pemilik syariah, yakni Allah SWT dan Rasul-Nya. Barang tambang yang depositnya melimpah dikategorikan sebagai milik umum. Rasulullah saw. bersabda, “Kaum Muslimin berserikat dalam tiga hal: air, rumput dan api.” (HR Abu Dawud).

Hadis ini menunjukkan bahwa air, padang rumput dan api adalah fasilitas umum yang dibutuhkan banyak orang. Karena itu kepemilikannya bersifat milik bersama. ‘Illat-nya adalah karena barang-barang tersebut menjadi kebutuhan pokok semua orang yang tidak bisa dihindari. Maka dari itu, setiap fasilitas umum dengan ‘illat serupa juga dihukumi sebagai milik bersama meskipun tidak disebutkan dalam hadis.2

Imam Ibnu Qudamah menyatakan, “Sesungguhnya barang tambang yang tampak jelas, yaitu barang tambang yang dapat diakses tanpa memerlukan biaya besar, biasa didatangi oleh orang-orang dan mereka mengambil manfaat darinya—seperti garam, air, belerang, ter, mumia (zat pengawet), minyak, celak, aspal, batu permata, tanah liat, dan semisalnya—tidak boleh dimiliki dengan cara dikuasai (ihyaa’), tidak boleh pula diberikan hak khusus (monopoli) kepada seseorang, dan tidak boleh dikuasai secara pribadi dari kaum Muslim. Sebabnya, hal itu dapat menimbulkan bahaya bagi kaum Muslim dan menyulitkan mereka.” Hal ini didasarkan pada hadis Abyadh bin Hammal: Ia pernah meminta kepada Rasulullah saw. untuk diberi (hak pengelolaan) atas tambang garam yang ada di Ma’rib. Lalu Rasulullah saw. memberikan tambang garam itu kepada dia. Namun, setelah ia pergi, ada yang berkata, “Wahai Rasulullah, tahukah Anda, apa yang telah Anda berikan kepada dia? Sesungguhnya yang Anda berikan kepada dia adalah seperti sumber air yang terus mengalir (tidak pernah habis).” Mendengar itu, Rasulullah saw. pun menarik kembali pemberian itu dari Abyahd (HR Abu Dawud).3

Hadis tersebut mengisyaratkan bahwa ketika Nabi saw. mencabut hak tersebut, hal itu menjadi dasar atau alasan hukum (‘illat) bahwa larangan memiliki tambang tersebut berlaku karena jumlah garam yang sangat besar. Dengan demikian hukumnya mengikuti aturan kepemilikan umum, bukan kepemilikan perorangan. Oleh karena itu, hukum ini mencakup semua jenis tambang, baik yang tampak jelas dan mudah diakses oleh masyarakat tanpa biaya besar, seperti garam, celak, batu bara dan sejenisnya; maupun yang tersembunyi dan memerlukan penggalian serta usaha besar, seperti emas, perak, besi, tembaga, timah, timbal, dan lainnya (baik dalam wujud padat seperti batubara maupun cair seperti minyak). Semuanya masuk dalam kategori tambang sesuai maksud hadis tersebut.4

Pengelolaan tambang milik umum tersebut dikelola oleh Negara dengan cara terbaik untuk memaksimalkan manfaat bagi umat. Keuntungan dari tambang harus digunakan untuk kesejahteraan seluruh umat, seperti pendidikan, kesehatan dan infrastruktur publik; bukan untuk memperkaya segelintir pihak.

Dalam rangka menjamin agar proses pemanfaatan sumber daya alam berlangsung dengan benar dan tidak menimbulkan madarat, Negara wajib menerapkan pertambangan yang berkelanjutan dan memanfaatkan berbagai teknologi hijau (green mining), termasuk sistem pengolahan limbah yang aman, efisiensi energi, rehabilitasi lahan pascatambang, serta jaminan perlindungan bagi masyarakat khususnya di sekitar tambang.

Dalam sistem Islam, Negara, masyarakat dan individu memiliki peran bersama untuk menjaga agar hukum-hukum Islam diterapkan dengan benar, kebaikan dapat diterapkan dan kemungkaran dapat dicegah atau dihilangkan, termasuk pada kegiatan di sektor pertambangan. Di dalam Negara Khilafah, peran itu dilaksanakan oleh institusi seperti qâdhi hisbah dan qâdhi mazhâlim yang memiliki peran vital. Qâdhi hisbah bertugas mencegah kerusakan lingkungan yang ditimbulkan perusahaan atau individu. Qâdhi mazhâlim mengawasi agar Negara sendiri tidak melakukan kezaliman seperti mengambil hak-hak rakyat atau membiarkan atau terlibat dalam pengrusakan lingkungan. Adapun masyarakat harus dilibatkan sebagai pengawas dan memastikan bahwa kepentingan mereka terakomodasi dengan baik.

Alhasil, pengelolaan tambang berbasis syariah menawarkan solusi holistik untuk krisis lingkungan akibat industri ekstraktif. Berbeda dengan pendekatan kapitalistik yang mengutamakan keuntungan jangka pendek, prinsip syariah mengintegrasikan nilai spiritual, sosial, ekonomi dan lingkungan. Namun, implementasi pendekatan ini memerlukan institusi negara berbasis syariah, yakni Khilafah Islam, yang menjadikan Islam sebagai dasar dan sumber hukumnya. Hanya dengan metode itu pertambangan dapat menjadi sarana pembangunan berkelanjutan yang memberi manfaat bagi seluruh ciptaan Allah. Ini sesuai dengan firman Allah SWT (yang artinya): Tidaklah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam (TQS al-Anbiya’ [29]: 107).

WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. [Muis].

 

Catatan kaki:

  • Hanaa Fahmi Ahmad Isa, “Himayat al-Shariah al-Islamiyah li al-Bi’ah al-Tabi’iyah: Dirasah Fiqhiyah Muqaranah,” Majallat Kulliyat al-Shariah wa al-Qanun bi Tanta, vol. 33, no. 1 (January 31, 2018), 144–397.; Lihat juga: Dr. Abdullah bin Umar bin Muhammad al-Sahibani, Ahkam al-Bi’ah fî al-Fiqh al-Islami (Saudi Arabia: Dar Ibn al-Jauzi, 2018).
  • Taqiyuddin al-Nabhani, An-Nidham al-Iqtishadi fî al-Islam (Beirut: Dar al-Ummah, 6th ed., 2004), 231.
  • Abu Muhammad Ibn Qudamah, Al-Mughni (Cairo: Maktabat al-Qahirah, 1st ed., 1968), 5:438.
  • Taqiyuddin al-Nabhani, An-Nidham al-Iqtishadi, 214.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

4 × 1 =

Back to top button