Fikih

Al-Ma’âhid di Negeri Kaum Muslim

Soal:

Pada halaman 80 Kitab Mafâhîm Hizbi at-­Tahrîr baris kesepuluh dari atas, dinyatakan, “…tetapi berjuang untuk mencabut kondisi-­kondisi yang dibuat oleh penjajah kafir sejak dari akarnya, dengan membebaskan negara, al-­ma’âhid, dan pemikiran dari pendudukan.”

Apa maksud dari kata al-­ma’âhid tersebut?

 

Jawab:

Topik yang ditanyakan ada pada akhir Kitab Mafâhîm Hizbi at-­Tahrîr halaman 83 file word. Ini teksnya:

Karena itu Hizbut Tahrir berjuang untuk membebaskan wilayah-­wilayah islami seluruhnya dari penjajahan. Hizbut Tahrir memerangi penjajah dengan sangat keras. Namun, Hizbut Tahrir tidak hanya menuntut pengusiran saja, juga tidak menuntut kemerdekaan palsu, melainkan berupaya mencabut kondisi-­kondisi yang ditegakkan oleh penjajah kafir, sejak dari akarnya, dengan membebaskan negeri, al-­ma’âhid, dan pemikiran; dari penjajahan baik penjajahan militer, intelektual, tsaqâfiy (budaya), ekonomi, maupun lainnya. Hizbut Tahrir memerangi siapa pun yang membela segala aspek penjajahan hingga kehidupan Islam dapat dilanjutkan kembali dengan tegaknya Ad-­Dawlah al-­Islâmiyyah (Negara Islam) yang mengusung risalah Islam ke seluruh dunia. Kepada Allahlah kami meminta, dan kepada Dia kami memohon, agar Dia memberikan pertolongan kepada kami, untuk melaksanakan tanggung jawab berat ini. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan.

Yang dimaksud dengan kata al-­ma’âhid dalam konteks ini adalah lembaga-­lembaga pendidikan baik sekolah, institut, universitas, dan yang lainnya. Lembaga-­lembaga pendidikan itu semuanya dicakup oleh kata al-­ma’âhid dalam konteks ini. Hal itu karena kafir penjajah menetapkan kebijakan-­kebijakan (politik) pendidikan di negeri kaum Muslim di atas asas pemikiran-­pemikiran dan pandangan hidup mereka. Dengan itu kafir penjajah meracuni para pelajar dan menjauhkan mereka dari pemikiran-­pemikiran Islam dan pandangan hidup Islam. Maka dari itu, harus dilakukan aksi pembebasan dari seluruhnya itu atas al-­ma’âhid yang ada di negeri kaum Muslim. Dengan itu politik (kebijakan) pendidikan di negeri kaum Muslim menjadi sesuai dengan Islam.

Kami telah menyebutkan di Kitab Ad-­Dawlah al-­Islâmiyyah kalimat yang menjelaskan makna ini pada halaman 224-­226 file word. Kami nyatakan di situ:

Tidaklah penjajah kafir menduduki suatu negeri kecuali mereka menerapkan semua hukum Barat, yang dalam penilaiannya diklaim sebagai hukum sipil, yang sebetulnya tidak ada hubungannya dengan Islam, sehingga hukum-­hukum syariah pun ditinggalkan. Hal itulah yang mengokohkan hukum kufur dan menjauhkan hukum Islam. Kafir penjajah, dibantu dalam hal itu oleh kenyataan bahwa pilar-­pilarnya telah kokoh, menegakkan semua urusannya di atas asas politik (kebijakan) pendidikan yang mereka susun dan kurikulum pendidikan yang mereka buat, yang terus diterapkan hingga saat ini di semua negeri Islam. Hal itu antara lain menghasilkan para pengajar yang mayoritasnya menjaga dan melindungi kurikulum ini. Kebanyakan dari mereka memegang dan menjalankan urusan sesuai apa yang diinginkan oleh kaum kafir penjajah.

Politik (kebijakan) pendidikan dan kurikulumnya dibangun di atas dua asas: Pertama, pemisahan agama dari kehidupan (sekularisme), yang kemudian secara alami dihasilkan pemisahan agama dari negara. Hal itu mengharuskan anak-­anak kaum Muslim memerangi penegakan Dualah Islam karena bertentangan dengan asas-­asas yang mereka pelajari di dalam kebijakan politiknya. Kedua, menjadikan kepribadian kafir penjajah sebagai sumber utama pola pikir yang tumbuh dari pengetahuan dan informasi. Hal itu mewajibkan penghormatan dan pemuliaan kepada kafir penjajah itu serta upaya untuk meniru dan mengikuti mereka. Padahal mereka adalah kafir penjajah. Sebaliknya, hal ini juga mengharuskan pelecehan terhadap kaum Muslim, menjauh dari mereka, merasa jijik terhadap mereka, dan memandang rendah sikap mengambil apapun dari mereka. Hal ini mengharuskan untuk menentang penegakan Daulah Islam dan menganggap ia sebagai kemunduran (reaksioner). Penjajah tidak cukup dengan kurikulum yang mereka supervisi atau yang disupervisi oleh pemerintah-­pemerintah yang mereka dirikan untuk menggantikan penjajah itu. Namun, di samping itu, penjajah menjadikan sekolah-­sekolah misionaris yang tegak di atas asas imperialistik murni, dan lembaga-­lembaga budaya (tsaqâfiyah) yang memikul tugas menjalankan arahan politik yang salah dan budaya yang keliru. Dengan begitu, atmosfer intelektual di berbagai sekolah dan lembaga-­lembaga budaya yang beragam itu membina umat dengan tsaqâfah yang menjauhkan mereka dari berpikir tentang Ad-­Dawlah al-Islâmiyyah dan mencegah mereka untuk berjuang demi mewujudkan Negara Islam tersebut.

Di samping itu, di seluruh negeri islami tegak manhaj politik di atas asas pemisahan agama dari kehidupan. Lalu jadilah tradisi umum pada para pendidik adalah pemisahan agama dari negara. Tradisi umum pada bangsa adalah tradisi pemisahan agama dari politik. Akibatnya, ada kelompok-­kelompok terdidik yang menganggap bahwa sebab kemunduran kaum Muslim adalah karena mereka berpegang teguh pada agama (Islam) dan bahwa satu-­satunya metode kebangkitan adalah nasionalisme dan berjuang untuk nasionalisme.

Atas dasar itu, negeri-­negeri kaum Muslim, lembaga-­lembaga pendidikan (al-­ma’âhid) di negeri kaum Muslim dan pemikiran-­pemikiran kaum Muslim harus dibebaskan dari noda-­noda kaum penjajah yang harus dipotong sejak akar-akarnya dan umat menjadi bersih murni dalam pemikirannya.

[Dikutip dari Soal-­Jawab Syaikh Atha‘ bin Khalil Abu ar-­Rasytah tanggal 21 Muharram 1447 H -­ 16 Juli 2025 M]

Sumber:


https://hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer-hizb/ameer-cmo-site/103822.html

https://www.facebook.com/ataabualrashtah1942/posts/122143845674716841

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

six + twenty =

Back to top button