Analisis

Memutus Intervensi Amerika di Timur Tengah

Intervensi Amerika Serikat di Timur Tengah bukanlah hal baru. Sejak pertengahan abad ke-20, AS telah memainkan peran strategis dalam politik, ekonomi dan militer di kawasan ini. Dengan dalih menjaga stabilitas, melindungi demokrasi dan memerangi terorisme, AS sebenarnya menjalankan agenda tersembunyi yang berakar pada kepentingan hegemonik.

Ada motif-motif tersembunyi di balik intervensi Amerika di Timur Tengah. Di antaranya: (1) Mengokohkan dominasi Amerika di Timur Tengah; (2) Merampas kekayaan alam di Timur Tengah; (3) Mencegah kebangkitan Islam dan pembebasan Palestina.

 

Strategi Membendung Permainan Amerika di Timur Tengah

  1. Memutus Intervensi Amerika di Timur Tengah.

Langkah pertama adalah menghentikan ketergantungan terhadap Amerika, baik secara militer, ekonomi, maupun politik. Ini mencakup penutupan pangkalan militer asing, penghentian kontrak senjata dan penghentian kerja sama intelijen yang hanya menguntungkan kepentingan Washington. Bagaimana langkah-langkah ini diwujudkan?

Pertama, mengakhiri ketergantungan militer terhadap AS. Strategi yang harus dilakukan: (1) penutupan pangkalan militer AS dan NATO di wilayah Timur Tengah; (2) penghentian perjanjian pertahanan bilateral yang timpang; (3) peningkatan kerja sama militer intra-regional antara negara-negara Islam. Data menunjukkan, menurut Congressional Research Service (CRS), AS memiliki sekitar 40.000 tentara yang ditempatkan secara aktif di Timur Tengah (khususnya di Qatar, Bahrain, Kuwait dan Yordania). Keberadaan pangkalan ini memungkinkan AS melakukan serangan drone, intelijen dan dominasi udara di Kawasan.

Kedua, mengembangkan aliansi regional mandiri dan strategis. Strategi: (1) membangun koalisi regional di luar struktur dominasi Barat seperti CENTCOM atau NATO; (2) memperkuat OIC, D-8, atau menciptakan organisasi militer-politik baru berbasis Dunia Islam.

Ketiga, membangun kemandirian ekonomi dan melepas sistem petrodollar. Strateginya: (1) transisi dari ekonomi berbasis ekspor energi mentah menuju industrialisasi dan teknologi mandiri; (2) penghapusan ketergantungan pada dolar AS dalam transaksi minyak (dedolarisasi); (3) mengganti IMF/World Bank dengan sistem pembiayaan Islam atau alternatif Timur seperti AIIB (Asian Infrastructure Investment Bank) dan BRICS Bank.

Keempat, menumbuhkan kesadaran politik Islam dan urgensi persatuan umat. Strategi yang harus ditempuh: (1) melalui dakwah kolektif akan tumbuh kesadaran umat Islam bahwa intervensi Barat adalah bagian dari proyek penjajahan modern; (2) melalui dakwah berjamaah ini menghidupkan kembali identitas politik Islam transnasional sebagai alternatif nation-state yang rapuh; (3) mendorong kesatuan ideologis dan strategis umat Islam terhadap proyek-proyek neo-imperialisme

 

  1. Menghapus Eksistensi Penguasa Peng­khianat.

Banyak rezim di Timur Tengah mempertahankan kekuasaannya dengan bergantung pada dukungan Barat. Rezim semacam ini tidak akan pernah mampu menghadirkan kemerdekaan sejati bagi rakyatnya. Oleh karena itu, perubahan rezim yang berakar dari kesadaran politik umat menjadi keharusan, bukan melalui kudeta atau kekerasan atau pemilu demokrasi, tetapi dengan membangun kesadaran kolektif tentang pengkhianatan elit politik saat ini.

Lawrence G. Potter (2009), dalam “Protecting the Gulf: U.S. Policies and the Persian Gulf”, menganalisis bagaimana para penguasa negara-negara kecil di Teluk Persia (Kuwait, Bahrain, Qatar, UEA, Oman, dan Arab Saudi) menjadikan AS sebagai pelindung utama pasca-Perang Teluk. Fokus mereka adalah bagaimana menukar akses militer dan kerja sama ekonomi dengan jaminan perlindungan keamanan dari AS. Fakta menunjukkan Bahrain menjadi markas Armada Kelima Angkatan Laut AS sejak 1995. Qatar menjadi tuan rumah Al Udeid Air Base, pangkalan udara terbesar AS di Timur Tengah.

Di dalam jurnal “The Patron-Client Relationship in International Politics”, Philip Roeder (2005) menjelaskan hubungan patron-klien saat negara kuat (Amerika) menyediakan perlindungan dan bantuan, sedangkan negara lemah memberikan loyalitas politik atau akses strategis. Dalam konteks Timur Tengah: Arab Saudi, sejak 1945 (pertemuan Roosevelt–Ibn Saud), membentuk hubungan simbiotik di mana AS menjamin keamanan sebagai imbalan atas stabilitas pasokan minyak. Buku “Thicker Than Oil: America’s Uneasy Partnership with Saudi Arabia”, Rachel Bronson (2006) menggambarkan bagaimana Arab Saudi mengandalkan AS dalam bidang militer dan intelijen, terutama sejak Krisis Iran 1979 dan Perang Teluk 1991. Hubungan ini terus berlanjut meskipun terdapat ketegangan ideologis, karena kepentingan geopolitik. Data menunjukkan AS adalah pemasok senjata utama bagi Arab Saudi. Menurut SIPRI (Stockholm International Peace Research Institute), 68% impor senjata Arab Saudi (2017–2021) berasal dari AS.

Tidak jauh berbeda, dalam “Qatar and the Arab Spring” – Kristian Coates Ulrichsen (2014), penguasa Qatar menggunakan AS sebagai pelindung setelah tahun 1995 saat Sheikh Hamad bin Khalifa al-Thani merebut kekuasaan. Qatar memperbolehkan pangkalan militer AS yang besar, tetapi tetap menjalankan kebijakan luar negeri independen. Fakta berbicara bahwa di Pangkalan Al Udeid, Qatar menampung lebih dari 10.000 personel militer AS.

Mengapa para penguasa ini harus dihapus? Karena dengan mengandalkan AS sebagai pelindung dengan berbagai dalih, sesungguhnya membuat eksistensi AS makin kuat. Apa saja yang menjadi dalih? Karena ancaman eksternal: Iran, kelompok militan dan instabilitas regional. Juga ketergantungan ekonomi: perdagangan minyak dan sistem keuangan global berbasis dolar. Selain itu kapabilitas militer terbatas: kekuatan domestik tidak cukup untuk mempertahankan wilayah sendiri dari ancaman besar. Selain itu, pengaruh lobi dan elit: Banyak elit penguasa mendapatkan pelatihan dan dukungan dari lembaga Barat.

Menarik apa yang disampaikan Syekh Taqyuddin an-Nabhani (1953), dalam konteks isu Palestina, “Entitas Yahudi (Israel) adalah bayangan dari para penguasa Muslim. Jika ingin menghilangkan bayangan itu, maka hilangkan sumber bayangan tersebut.”

 

  1. Menghapus Nation-State yang Memecah-Belah.

Model negara-bangsa yang diwariskan penjajah (Sykes-Picot 1916) telah memecah-belah umat Islam. Negara-negara kecil dan lemah ini tidak akan mampu menghadapi kekuatan besar seperti AS secara individual. Solusinya adalah dengan melampaui batas-batas nation-state dan membentuk tatanan politik baru yang bersifat integratif. Telah banyak kritik terhadap nasionalisme Arab dan negara-bangsa (nation state) di Timur Tengah. Di antaranya: Pertama, warisan kolonial dan batas buatan. Rashid Khalidi (2004) dalam “Resurrecting Empire: Western Footprints and America’s Perilous Path in the Middle East” (2004) mengkritik bahwa negara-bangsa Arab dibentuk bukan oleh kehendak rakyat lokal, tetapi oleh kekuatan kolonial (Inggris dan Prancis), melalui perjanjian seperti Sykes–Picot Agreement (1916). Ini menciptakan fragmentasi buatan yang menggagalkan cita-cita persatuan umat Islam.

Kedua, pertarungan nasionalisme sekuler versus solidaritas Islam. Bassam Tibi (1988) dalam “The Crisis of Modern Islam: A Preindustrial Culture in the Scientific-Technological Age”, menilai nasionalisme Arab bersifat eksklusif dan sekuler, tidak menyatukan umat Islam lintas batas, serta gagal membangun kekuatan bersama menghadapi kekuatan eksternal seperti AS dan Israel. Dampaknya: (1) fokus pada kepentingan nasional masing-masing negara membuat mereka gagal bersatu membela Palestina secara efektif; (2) konflik internal seperti antara Suriah vs Irak (dulu) dan Qatar vs Arab Saudi (baru-baru ini) mencerminkan lemahnya solidaritas Islam.

Ketiga, nasionalisme sebagai alat rezim otoriter. Azmi Bishara (2007) dalam “On the Arab Question: The Foundations of Arab Politics”, mengungkap bahwa banyak pemimpin Arab menggunakan nasionalisme untuk melegitimasi otoritarianisme, bukan untuk membangun persatuan umat. Nasionalisme dijadikan alat represi internal dan justifikasi untuk tidak bersatu menghadapi intervensi asing. Akibat fragmentasi negara-bangsa ini, ada 22 negara Arab dengan sistem politik dan kebijakan luar negeri berbeda-beda. Menurut studi Pew Research (2013), mayoritas Muslim di negara-negara Arab lebih mengidentifikasi diri sebagai “warga negara” daripada bagian dari “umat Islam global”. Hasilnya: (1) ketidakmampuan negara Arab untuk merespons agresi Israel secara kolektif (contoh: Perang Gaza, 2008, 2014, 2021); (2) normalisasi hubungan diplomatik (Abraham Accords) antara UEA, Bahrain, Maroko, Sudan dengan Israel mempertegas keretakan solidaritas Islam.

Kegagalan negara bangsa dan nasionalisme ini makin memunculkan kebutuhan mendesak untuk konsep baru solidaritas Islam trans­nasional yang adil, non-kekerasan, dan berorientasi keadilan, untuk menghadapi tantangan geopolitik bersama.

 

  1. Menyatukan Umat Islam.

Persatuan umat Islam bukan hanya aspirasi ideal, melainkan keharusan strategis. Tanpa kesatuan, kekuatan umat Islam akan terus tercerai-berai dan mudah didikte oleh kekuatan asing. Upaya ini harus dimulai dengan membangun solidaritas politik, ekonomi dan militer di antara negeri-negeri Muslim, serta mendidik umat dengan pemahaman politik Islam yang visioner.

Sejauh ini memang sudah ada upaya pendekatan strategis legal dan diplomatik dalam upaya menyatukan umat Islam global, khususnya isu Palestina. Namun, semua upaya itu – terkait isu Palestina, masih dipandang belum efektif dan praktis dalam melawan dominasi dan hegemoni Amerika di Timur Tengah. Pasalnya, wujud persatuan umat hakiki adalah ketika penguasa Muslim (Khalifah) menyatukan umat dan mengirim tentara multi bangsa untuk jihad mengusir penjajah. Demikian sebagaimana yang diteladankan Khalifah Umar bin al-Khaththab ra., Shalahuddin al-Ayyubi dan Sultan Abdul Hamid II dalam membebaskan dan mempertahankan Palestina. Bukan solusi dua negara (two-state solution) yang batil.

 

  1. Memperjuangkan Khilafah sebagai Institusi Pemersatu.

Sebagai puncak solusi, Khilafah adalah satu-satunya institusi yang dapat menyatukan umat Islam dalam satu kepemimpinan politik yang independen dari Barat. Khilafah bukan sekadar romantisme sejarah, tetapi sebuah proyek politik yang memiliki landasan ideologis, historis dan empiris yang kuat dalam Islam. Beberapa ulama kontemporer menekankan pentingnya institusi ini untuk mewujudkan kembali kedaulatan umat Islam (Taqiyuddin an-Nabhani, 2001).

Selain aspek ideologis, dalam upaya mewujudkan tuntutan akidah Islam, adalah dengan terikat pada seluruh syariah Islam secara kâffah. Fakta sejarah juga menunjukkan pemerintahan Islam sejak Nabi Muhammad saw. wafat (632 M) hingga 1924 (dibubarkan oleh Mustafa Kemal dengan bantuan penjajah Inggris); mulai dari Khulafaur Rasyidin (632–661 M), Khilafah Umayah (661–750 M), Khilafah Abbasiyah (750–1258, dan simbolik di Kairo hingga 1517), Khilafah Utsmaniyah (Ottoman Caliphate, 1517–1924).

Secara historis dan empiris, Khilafah Islam menyatukan wilayah dari Spanyol hingga Asia Tengah dalam satu sistem hukum (syariah) yang adil untuk Muslim dan orang-orang kafir, satu bahasa administratif (Arab), kemajuan dan inovasi sains dan teknologi, satu sistem ekonomi berbasis baitul mal, kepemilikan umum, kesejahteraan dan keberkahan dunia dan akhirat.

Maka dari itu peluang, potensi dan tantangan persatuan hakiki melalui Khilafah adalah hal yang niscaya. Dari sisi peluang dan potensi: Pertama, umat Islam di seluruh dunia memiliki landasan teologis yang sama (al-Quran dan as-Sunnah) sehingga secara ideologis ada potensi besar untuk penyatuan. Aziz Al-Azmeh dalam Islam and Modernities (1993) menjelaskan bagaimana Islam memiliki daya integrasi sosial-politik di lintas bangsa.

Kedua, rasa krisis identitas dan perpecahan internal. Banyak umat Islam yang menganggap sistem negara-bangsa warisan kolonial (post-Ottoman) telah gagal mengangkat martabat umat. Menurut Survei Pew Research (2013) di negara seperti Pakistan, Mesir dan Palestina, mayoritas responden mendukung penerapan syariah dalam hukum negara.

Ketiga, krisis perwakilan dan keadilan global. Dunia Muslim merasa tidak punya “representasi global” dalam geopolitik; tidak ada kekuatan kolektif setara dengan G7, NATO, atau Uni Eropa (Esposito, John L (1992). The Islamic Threat: Myth or Reality?). Berdasarkan data politik dan ekonomi Dunia Islam (Sumber: OIC, IMF, Pew), populasi Muslim dunia mencapai lebih dari 1,9 miliar (2024), anggota OKI terdiri dari 57 negara, gabungan PDB OKI lebih dari 7 triliun USD (2023), anggaran militer gabungan ±250 miliar USD, dan cadangan minyak menguasai lebih dari 70% cadangan dunia.

Lalu berdasarkan aspek tantangan: Pertama, fragmentasi politik dan nasionalisme. Sebanyak 57 negara anggota OKI memiliki kepentingan nasional yang sering kali bertentangan. Beberapa negara Arab bahkan telah menormalisasi hubungan dengan Israel (Abraham Accords). Bassam Tibi (2012) dalam Islamism and Islam menjelaskan konflik antara nasionalisme sekuler dan aspirasi pan-Islamisme.

Kedua, perbedaan mazhab, etnis dan bahasa. Isu terkait Sunni vs Syiah, Arab vs non-Arab, serta bahasa nasional masing-masing negara dapat menjadi kendala integrasi politik.

Ketiga, stigma khilafah akibat kekerasan. Kelompok seperti ISIS (bentukan AS) mengklaim mendirikan Khilafah dengan cara kekerasan sehingga menciptakan stigma negatif global terhadap istilah “khilafah”. Peter Mandaville(2007) dalam Global Political Islam menelaah berbagai “versi” khilafah dari yang moderat hingga ekstrem.

 

Meneladani Rasulullah saw.

Bagaimana tahapan dakwah untuk menegakkan Khilafah? Syaikh Taqyuddin an-Nabhani menyampaikan ada tiga tahap penegakan Khilafah dengan meneladani dakwah Rasul saw. Pertama, tahap pembinaan dan pembentukan Gerakan (marhalah tatsqîf wa takwin).

Kedua, tahap interaksi dan perjuangan di tengah umat dan masyarakat (marhalah tafâ’ul wa al-kifâh), dalam rangka membangun opini umum (ra’yul ‘âm) Islam yang dibasiskan kesadaran umum (wa’yul ‘âm); juga melakukan kritik dan amar maruf nahi munkar terutama ke penguasa negara. Fokus pada upaya mencari dukungan (thalabun an-nusrah) dari pihak berpengaruh (ahl al-quwwah), terutama para pimpinan militer di negeri-negeri Muslim, untuk menyerahkan kekuasaan kepada jamaah dakwah berbentuk partai politik Islam ideologis internasional yang berjuang secara intelektual, politis dan tanpa kekerasan.

Ketiga, tahap penerimaan amanah kekuasaan secara damai (marhalah istilâm al-hukmi) untuk menerapkan Islam secara kâffah, dakwah dan jihad. Bukan melalui kekerasan atau kudeta bersenjata atau pemilu demokrasi.

 

WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. [Dr. Riyan, M.Ag. (Peneliti di Masyarakat Sosial Politik Indonesia)]

 

Referensi:

Esposito, J. L. (2002). Unholy War: Terror in the Name of Islam. Oxford University Press.

Fouskas, V. K., & Gökay, B. (2005). The New American Imperialism: Bush’s War on Terror and Blood for Oil. Praeger.

Klare, M. T. (2004). Blood and Oil: The Dangers and Consequences of America’s Growing Dependency on Imported Petroleum. Metropolitan Books.

An-Nabhani, T. (2001). The System of Islam (Nizham al-Islam). Al-Khilafah Publications.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

two × 3 =

Back to top button