Analisis

Membangun Negara Tanpa Pajak

Semua negara di dunia modern sekarang ini pasti melakukan pembangunan untuk mewujudkan cita-cita kesejahteraan dan keadilan bagi masyarakatnya. Sejahtera ketika manusia terpenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Keadilan ketika pembagian sarana pemuas kebutuhan (sumberdaya) bisa merata kepada seluruh umat manusia. Pembangunan yang dilakukan negara diarahkan untuk mencapai pertumbuhan dan pemerataan di tengah-tengah masyarakat, termasuk rumah tangga dan perusahaan. Negara melalui pemerintah yang ada bertugas menjaga kondisi perekonomian warga negara dengan regulasi kebijakan untuk menjamin aktifitas ekonomi berjalan stabil sehingga tujuan perekonomian tercapai (Schumpeter, 2013).

Program-program membuat regulasi oleh negara biasanya dibiayai dari pendapatan negara. Di antaranya pajak yang dipungut oleh pemerintah dari rumah tangga sebagai pajak individu dan dari perusahaan sebagai pajak usaha. Biaya atau modal (capital) pembangunan yang dilakukan oleh negara ini tidak sedikit. Kasus di Indonesia, sekitar Rp 3.000 triliun dari nilai APBN tahun 2024.

Saat ini pajak merupakan sumber utama pendapatan negara selain utang. Pada umumnya pajak dan utang ini untuk mendanai pembangunan, penyediaan layanan publik dan administrasi pemerintahan. Padahal sangat jelas bahwa pembangunan yang bertumpu pada pajak sebagai pendapatan favorit adalah implementasi dari paradigma sistem ekonomi kapitalisme. Buku Adam Smith berjudul The Wealth of Nations tahun 1776 menyebutkan bahwa negara melakukan pembangunan dari kontribusi setiap warga masyarakat berupa pungutan pajak, sifatnya pasti pada waktunya, sehingga negara harus merancang dengan sebaik-baiknya agar tidak terjadi kekacauan (Smith, 2019).

Konsep pajak sebagai sumber utama pembangunan ini juga diterapkan oleh pemerintah Indonesia. Sri Mulyani (Menteri Keuangan Indonesia) mengatakan bahwa pajak menjadi tiang utama pembangunan semua sarana dan prasarana (www.tempo.co/ekonomi). Hampir setiap tahun kenaikan pajak menjadi isu yang memenuhi ruang jagat media massa Indonesia. Yang terakhir tentang kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)12% dari tahun sebelumnya 11% (tahun 2022) dan 10% (tahun 2021).

Keputusan Pemerintah menaikkan PPN 12% mulai Januari 2025 ini mencederai cita-cita mewujudkan kesejahteraan umum masyarakat Indonesia. Ini karena kondisi perekonomian masyarakat menjadi semakin berat akibat beban tambahan kenaikan pajak. Biaya hidup mereka semakin tinggi. Daya beli turun drastis. Ditambah dengan gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal oleh beberapa perusahan industri besar, seperti: tekstil, manufaktur, otomotif, dan sebagainya. Menurut laporan Kementerian Ketenagakerjaan di sepanjang Januari-Agustus 2024 terdapat 46.240 pekerja di-PHK, (Satudata.kemnaker.go.id, 20/9/2024). Pajak sebagai penopang utama pembangunan tidak menjadikan masyarakat sejahtera. Yang terjadi adalah sebaliknya.

 

Kritik Terhadap Kapitalisme

Paradigma pembangunan di sistem ekonomi Kapitalisme sering ditandai dengan kebijakan yang mengedepankan kebebasan dalam seluruh aspek. Hal ini terjadi karena kapitalisme merupakan wajah lain sekularisme (fashlud diini ‘anil hayah-memisahkan agama dari kehidupan) dalam bidang ekonomi. Perekonomian menjadi sangat liberal dalam aspek kepemilikan individu, solusi problem dengan mekanisme pasar bebas, juga minimnya peran negara dalam pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA). SDA bahkan diserahkan kepada swasta. Ajaran kapitalisme laissez faire laissez passer (biarkan perekonomian berjalan sendiri tanpa harus ada campur tangan negara) tidak hanya berlaku di era klasik Abad ke-17 M saja, melainkan juga berulang pada era modern sekarang. Konteks “negara lepas tangan” merupakan bukti nyata pengaruh sisi pengusaha yang lebih kuat dibandingkan dengan pemegang otoritas kekuasaan. “Kekayaan alam diberikan kepada swasta” ini mencerminkan ciri khas kapitalisme neoliberal. Akibat kebebasan kepemilikan (freedom ownership), kekayaan alam dieksplorasi bahkan dieksploitasi oleh perusahaan swasta pemilik modal besar. Adapun “mekanisme pasar bebas” adalah ketika aset perusahaan raksasa sudah melampaui negara butuh pasar baru sebagai target produk-produknya di luar negeri. Pasar bebas hanyalah kedok perusahaan raksasa dalam membuka kepentingan ekonomi mereka. Ini adalah penjajahan baru dalam bentuk ekonomi. Perilaku perusahaan-perusahaan raksasa ini kemudian menjadi perdebatan yang sangat sengit di berbagai forum politik, ekonomi dan social. Mereka bahkan telah menjelma menjadi oligarki.

Negara menjadi tidak memiliki wibawa di hadapan para pengusaha raksasa ini. Negara yang harusnya juga menarik pajak usaha kepada mereka—karena pajak merupakan instrumen yang sangat efektif untuk mendanai kegiatan negara—tidak berani menariknya. Inilah yang melanggengkan kesenjangan sosial dan menjauhkan keadilan. Rakyat kecil dibebani pajak setiap hari (tax every day), sementara pengusaha malah diliburkan dari pajak (tax holiday) dengan berbagai istilah, seperti tax amnesty, dan sebagainya. Selain itu, sistem pajak juga rentan terhadap penyalahgunaan dan korupsi. Ini yang sering membuat hasilnya tidak maksimal untuk kesejahteraan rakyat.

Kapitalisme mengajarkan peran negara hanya sebatas sebagai fasilitator atau regulator pasar, bukan sebagai pelaku utama dalam perekonomian. Ini berarti privatisasi aset atau layanan publik (misalnya: listrik, air, kesehatan, transportasi, dsb), yang harusnya dikelola negara menjadi lahan bisnis swasta. Pengurangan intervensi negara dalam sektor ekonomi strategis, seperti energi dan pertambangan, seraya mengandalkan investasi dan inovasi dari sektor swasta untuk menggerakkan ekonomi telah mengakibatkan perampokan SDA yang menafikan kesejahteraan pada masyarakat luas. Akibat negara menjalankan sistem ekonomi kapitalisme, maka yang terjadi adalah ketimpangan ekonomi, kerusakan lingkungan dan ketergantungan pada swasta bahkan swasta asing. Privatisasi kekayaan alam sering memperkaya segelintir elit swasta, sementara masyarakat umum tidak mendapatkan manfaat, kecuali sangat sedikit. Modal pembangunan yang harusnya melimpah, sumberdaya yang harusnya berkah, justru gara-gara kapitalisme menjadi musibah bahkan fasad yang terus berlarut-larut. Negara akhirnya mengambil jalan sesat untuk modal pembangunan dengan memungut pajak kepada rakyat atau utang kepada asing dengan kedok sebagai investasi pembangunan. Bahkan pajak digunakan untuk menutupi defisit anggaran. Akhirnya, rakyat dipalak dengan berbagai macam pajak, seperti: PPh, PBB, PPN, dan sebagainya.

 

Membangun Negara Tanpa Pajak

Sistem ekonomi Islam menawarkan alternatif solusi melalui mekanisme Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) yang tidak berbasis pada pajak. Pajak seperti model kapitalisme hukumnya haram.

Selain itu, dalam ajaran Islam, penguasa adalah pelayan/pengurus rakyat. Pengurus rakyat tentu tidak pantas memalak rakyatnya dengan aneka pajak. Rasulullah saw. bersabda:

«الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ»

Imam (kepala negara) adalah pengurus rakyat dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus (HR al-Bukhari dan Muslim).

 

Politik dalam Islam adalah ri’âyah syu’ûn al-ummah (mengelola urusan umat). Pemerintah memiliki tugas dan tanggung jawab melayani semua kebutuhan dasar umat (sandang, pangan dan papan) maupun kebutuhan umat yang sifatnya kolektif (pendidikan, kesehatan dan keamanan (An-Nabhany, 2004).

Pemerintah Islam memberikan sarana pemuas kebutuhan hidup warga, termasuk kafir dzimmy (warga negara non-Muslim) tanpa membebani mereka dengan berbagai macam pungutan seperti pajak dalam kapitalisme. Islam membolehkan setiap individu atas kepemilikan dan mengijinkan mereka bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup. Politik ekonomi Islam yang dijalankan negara menjamin pemenuhan kebutuhan primer masyarakat bahkan membantu mereka memenuhi kebutuhan yang sifatnya sekunder (Al-Maliki, 2001).

Negara berperan sebagai pengayom yang melayani masyarakat dengan ri’âyah yang sebaik-baiknya, bukan sebagai pemalak (jibâyah) harta rakyatnya dengan berbagai alasan. Islam membolehkan negara mengambil dharîbah (pajak dalam Islam) hanya ketika kondisi APBN (Baitul Mal) sedang kosong. Itu pun hanya dipungut insidental saja kepada sebagian warga yang Muslim saja yang memiliki kelebihan harta, bukan kepada semua warga.

Khilafah Islam menerapkan syariah Islam secara kâffah, termasuk dalam sistem ekonomi. APBN negara dikelola sesuai dengan syariah Islam, baik yang terkait dengan pendapatan maupun pengeluaran. Macam-macam pendapatan negara dijelaskan oleh Syaikh Abdul Zallum (2003) sebagai berikut: harta rampasan perang (anfâl, ghanîmah, fai dan khumûs); pungutan dari tanah kharaj; pungutan dari non-Muslim (jizyah); harta milik umum; harta milik negara; harta yang ditarik dari perdagangan luar negeri (‘usyr); harta yang disita dari pejabat dan pegawai negara karena diperoleh dengan cara haram; zakat; dsb. Sumber terbesar APBN Khilafah adalah harta milik umum (milkiyyah ‘ammah) sebagaimana sabda Rasulullah saw. sebagai berikut:

«النَّاسُ شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ: الْمَاءِ, وَالْكَلَأِ, وَالنَّارِ»

Manusia berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput dan api (HR Abu Dawud).

 

Hadis ini dikuatkan oleh hadis dari Sahabat Abyadh bin Hammal ra., yang menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah menarik kembali tambang garam yang semula sempat diberikan kepada dirinya. Tindakan ini dilakukan setelah beliau diberi tahu oleh para Sahabat tentang melimpahnya tambang garam tersebut (HR Ibnu Majah).

Para ulama menyimpulkan bahwa semua SDA yang depositnya melimpah menjadi kepemilikan umum, wajib dikelola oleh negara dan digunakan untuk kemakmuran rakyat. Harta milik umum haram diserahkan ke swasta apalagi asing (Zallum, 2004).

Dalam konteks Indonesia, potensi pendapatan negara dari harta milik umum sangatlah besar. Berikut ini tabel yang menjelaskan beberapa potensi pendapatan negara dari SDA dengan nilai tukar Rp 15.600/USD (Ishak, 2024).

 

Amhar (2010) menghitung kekayaan negara dari hasil hutan bisa diperoleh Rp 2.000 triliun. Dahuri (2018) menjelaskan potensi ekonomi kelautan (blue economy) seperti: perikanan tangkap, budidaya, bioteknologi kelautan, dan sebagainya bisa meraup pendapatan sebesar USD 1,33 triliun pertahun. Nilai itu setara dengan Rp 20.795 triliun dengan kurs 15.600/USD. Jika 10% dari potensi itu dapat dikelola oleh perusahaan Negara maka potensi penerimaannya mencapai Rp 2.079 triliun. Jika diasumsikan harga pokok produksi mencapai 50%, maka laba dari sektor kelautan yang masuk ke APBN mencapai sekitar Rp. 1.040 triliun.

Berdasarkan perhitungan atas beberapa sumber penerimaan APBN di atas, maka potensi pendapatan dari harta milik umum saja dapat diperoleh laba sebesar Rp 5.510 triliun (melebihi kebutuhan APBN yang sekitar Rp 3.000 triliun). Padahal masih ada sumber pendapatan lain yang juga memiliki potensi penerimaan yang cukup besar. Dengan itu tentu Negara tak perlu memungut pajak dari rakyat ataupun berutang ke luar negeri. Syaratnya satu: semua itu harus dikelola berdasarkan ketentuan syariah Islam (Lihat: Muis, Al-Waie, Edisi Maret 2024).

 

Khatimah

Pembangunan bisa dilakukan oleh negara meskipun tanpa pajak sebagaimana kapitalisme. Pembangunan dalam Islam menggunakan kebijakan APBN (Baitul Mâl) sesuai syariah Islam, baik dalam aspek pendapatannya maupun dalam aspek pengeluarannya. APBN Islam tidak pernah mengalami defisit anggaran karena ditopang oleh kekayaan negara yang sangat melimpah, terutama SDA dan sektor-sektor lainnya. Pengelola perekonomian dalam Islam termasuk pengelolaan APBN-nya wajib mengacu pada aturan-aturan dari Allah SWT dan Rasul-Nya. Sejarah mencatat bagaimana Khilafah Islam selama lebih dari 13 abad berhasil menciptakan kesejahteraan dan keadilan bagi rakyatnya tanpa memalak mereka dengan aneka pajak yang menyengsarakan.

WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. [Dr. Yuana Tri Utomo]

 

Daftar Rujukan

Abdul Qaddim Zallum. (2004). Al-Amwal fî Daulatil Khilafah. Daarul Ummah, Beirut, Libanon; Hal. 48-66.

Abdurrahman Al-Maliki. (2001). As-Siyaasatu al-Iqtishodiyatu al-Mutsla. Bangil, Pasuruan, Jawa Timur.

Adam Smith. (2019). The Wealt of Nations: Sebuah Penyelidikan tentang Sifat dan Sebab Kekayaan Bangsa-Bangsa. Global Indo Kreatif, Manado; Hal. 774.

Joseph A. Schumpeter. (2013), Capitalism, Socialism, & Democracy. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Syaikh Taqyuddin An-Nabhany. (2004). Sistem Ekonomi Islam. Daarul Ummah, Beirut, Libanon; Hal. 70, 273, 292, 299

www.fahmiamhar.com/2010/04/mencoba-meramu-apbn-syariah.html

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

3 × 5 =

Back to top button