Fokus

Pajak PPN 12% Naik, Negara Pemalak?!

Kebijakan Pemerintah telah menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10% menjadi 11% pada April 2022. Sekarang PPN akan kembali dinaikkan menjadi 12% pada 2025. Hal ini menimbulkan gejolak di tengah masyarakat. Dalam situasi ekonomi yang belum pulih pasca-pandemi COVID-19, keputusan ini dinilai sebagai langkah yang memberatkan rakyat.

Dengan besaran 11% saja, tarif PPN Indonesia sudah lebih tinggi dibandingkan dengan negara tetangga melampaui Malaysia (8%) dan Singapura (9%). Di ASEAN Indonesia berada di bawah Filipina (12%). Jika nanti benar-benar dinaikkan menjadi 12% maka Indonesia akan menjadi negara dengan tarif PPN tertinggi di ASEAN bersama Filipina.

Pajak memang telah menjadi elemen utama dalam membiayai APBN. Teorinya, uang yang dikumpulkan dari rakyat melalui pajak akan kembali kepada masyarakat dalam bentuk layanan seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan keamanan. Faktanya, pajak yang dibayarkan tidak membawa manfaat nyata. Sebagian besar dana yang terkumpul digunakan untuk membayar bunga utang Pemerintah, gaji selangit para pejabat negara dengan fasilitas fantastis, atau proyek infrastruktur yang tidak langsung bersentuhan dengan hajat hidup orang banyak. Berbagai Proyek Strategis Nasional seperti membangun bandara, Pelabuhan, jalan tol, IKN yang sebagian mangkrak sebagian yang lain menghabiskan anggaran dengan manfaat ekonomi yang kecil. Bahkan segelintir elit terus memperkaya diri yang ditunjukkan oleh LHKPN yang rutin dilaporkan.

Belum lagi jika menelusuri Laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), akan terlihat berbagai kebocoran dan inefisiensi anggaran terjadi setiap tahun dengan kerugian mencapai triliunan rupiah. Bukannya membenahi tatakelola keuangan negara, yang dilakukan justru mengambil jalan pintas menaikkan tarif PPN. Wajar jika muncul tudingan bahwa Negara telah bertindak layaknya pemalak.

 

Alasan Pemerintah

Dalam keterangan resmi Pemerintah, terdapat beberapa alasan menaikkan PPN antara lain:

  1. Meningkatkan pendapatan negara.

Sebagai salah satu sumber utama penerimaan negara, PPN punya peran vital dalam mendanai berbagai program Pemerintah. Selama beberapa tahun terakhir, kebutuhan pendanaan semakin meningkat, terutama setelah pandemi Covid-19 yang memperburuk kondisi fiskal. Kenaikan PPN ini sebagai upaya memperbaiki anggaran Pemerintah.

Postur APBN 2025, pendapatan negara Rp2.996,9 triliun, sedangkan belanja negara Rp 3.613,1 triliun. Dengan demikian ada defisit APBN sebesar Rp 616,2 triliun. Pemerintah membutuhkan berbagai sumber untuk menutupi defisit anggaran yang cukup besar.

 

  1. Mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri.

Indonesia masih bergantung pada utang untuk menutupi defisit anggaran. Data Nota Keuangan APBN 2025 dan keterangan Kementerian Keuangan, utang jatuh tempo tahun 2025 diproyeksi mencapai Rp 800,33 triliun, dengan pembayaran bunga utang sebesar Rp 552 triliun. Ini berarti, meskipun penerimaan pajak meningkat, sebagian besar uang tersebut justru akan dialihkan untuk memenuhi kewajiban utang, bukan untuk pembiayaan langsung program-program untuk kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, meskipun ada kenaikan PPN, manfaat langsung bagi masyarakat sangat terbatas, karena dana lebih banyak digunakan untuk pembayaran utang

 

  1. Penyesuaian dengan standar internasional.

Pemerintah beralasan bahwa saat ini tarif PPN Indonesia yang berada di angka 11 persen yang kemudian akan naik mencapai 12 persen, masih tergolong rendah dibandingkan dengan negara maju lainnya. Kementerian Keuangan menyampaikan bahwa rata-rata PPN seluruh dunia, termasuk negara Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), memiliki tarif PPN sebesar 15 persen. Tentu bukan alasan yang bijak menaikkan pajak hanya untuk suatu alasan agar dipandang sama dengan dunia internasional, sementara masyarakat kita tertatih-tatih. Negara OECD sendiri juga tidak semuanya memiliki tarif PPN yang tinggi. Kanada yang merupakan negara yang tergabung dalam OECD tarif PPN hanya 5%! Padahal pendapatan perkapita Kanada adalah sebesar USD 55.323 sedangkan Indonesia hanya sebesar USD 5.271.

 

Dampak Kenaikan PPN

PPN merupakan jenis pajak yang dampaknya langsung dirasakan masyarakat luas. Setiap kali seseorang membeli barang atau menggunakan jasa tertentu, ia otomatis kena PPN. Masalahnya, PPN memiliki karakteristik yang regresif. Artinya, dampaknya lebih berat bagi masyarakat berpenghasilan rendah dibandingkan masyarakat berpenghasilan tinggi. Hal ini terjadi karena kelompok berpenghasilan rendah menghabiskan sebagian besar dari proporsi pendapatan mereka untuk konsumsi kebutuhan pokok. Sebaliknya, kelompok berpenghasilan tinggi memiliki kemampuan untuk mengalokasikan sebagian besar proporsi uang mereka ke sektor-sektor lain.

Dalam struktur ekonomi Indonesia, konsumsi rumah tangga menyumbang lebih dari separuh Produk Domestik Bruto (PDB). Dengan kenaikan tarif PPN, hal ini akan sangat memukul konsumsi masyarakat. Harga barang dan jasa akan meningkat. Daya beli masyarakat akan menurun. Data Badan Pusat Statistik (BPS) merilis bahwa inflasi di awal 2024 mencapai 2,75%. Kenaikan PPN diperkirakan menambah tekanan inflasi sekitar 1%. Bagi masyarakat yang sudah kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari, kebijakan ini menjadi pukulan, terutama masyarakat menengah bawah.

Kenaikan PPN dan inflasi dapat menurunkan konsumsi domestik, yang merupakan kontributor utama bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Rumah tangga yang terbebani biaya hidup yang semakin tinggi akan mengurangi pengeluaran mereka, terutama untuk barang non-esensial. Penurunan konsumsi ini dapat menghambat sektor-sektor yang bergantung pada konsumsi domestik, seperti ritel, pariwisata dan perumahan. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi yang bergantung pada konsumsi masyarakat akan terhambat dan memperlambat pemulihan ekonomi pasca-pandemi. Selain itu, sektor industri dan perusahaan yang bergantung pada pasar domestik juga akan terdampak negatif, yang bisa berujung pada penurunan investasi dan lapangan kerja.

Berdasarkan rilis BPS, pertumbuhan konsumsi rumah tangga hanya 4,91% (y-o-y) pada Q3 2024 dan turun -0,48% (q-to-q). Deflasi terjadi selama lima bulan berturut-turut (Mei-September 2024). Menurut rilis BRI, Omzet UMKM anjlok hingga 60%. Kondisi ini merupakan signal bahwa kondisi perekonomian sedang lemah. Menaikkan pajak dalam situasi ekonomi lesu akan menyebabkan tekanan ekonomi masyarakat bertambah berat.

Menurut publikasi Celios, akibat kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%, kelompok miskin diperkirakan akan mengalami kenaikan pengeluaran sebesar Rp 101.880 perbulan atau Rp 1.222.566 per tahun. Kelompok rentan miskin, yang memiliki penghasilan sedikit lebih tinggi, namun masih jauh dari kesejahteraan, juga tidak lepas dari dampak negatif kenaikan PPN. Mereka diperkirakan akan mengalami kenaikan pengeluaran sebesar Rp 153.871 perbulan atau Rp 1.846.455 pertahun. Adapun kelompok menengah diperkirakan akan mengalami kenaikan pengeluaran sebesar Rp 354.293 perbulan atau Rp 4.251.522 pertahun.

Kenaikan PPN dan inflasi juga memperburuk ketimpangan ekonomi. Kelompok kaya, dengan daya beli yang lebih besar, mungkin tidak akan merasakan dampak dari kenaikan PPN. Sebaliknya, kelompok miskin dan rentan miskin merasakan dampak yang jauh lebih besar. Ketimpangan ini berpotensi semakin memperlebar jurang sosial; kelompok kaya tetap mampu mempertahankan kualitas hidup mereka, sementara kelompok miskin semakin terdesak. Hal ini berpotensi menyebabkan ketidakpuasan yang lebih besar di kalangan masyarakat, karena mereka merasa beban ekonomi tidak terbagi secara adil. Ketidaksetaraan yang semakin dalam ini dapat menimbulkan ketegangan sosial dan memperburuk kohesi sosial di Indonesia. Peningkatan ketimpangan ini juga dapat menurunkan mobilitas social. Kelompok miskin dan rentan miskin semakin sulit untuk keluar dari kemiskinan dan memperbaiki kondisi hidup mereka. Akibat dari situasi ini akan semakin banyak masyarakat yang terjebak dengan pinjaman online atau judi online, yang akan berdampak terhadap kesehatan mental masyarakat.

Berdasarkan rilis Populix, persoalan finansial menjadi pemicu utama gangguan kesehatan mental Masyarakat Indonesia, yakni mencapai 59 responden. Berdasarkan publikasi tersebut ditemukan bahwa 52 persen responden menyadari mereka memiliki gejala gangguan kesehatan mental, terutama di kalangan perempuan yang berusia 18-24 tahun, dengan masalah finansial sebagai faktor pemicu.

 

Sumber: Goodstat, 2023

Secara agregat PPN berkorelasi negatif dengan PDB. Kenaikan PPN akan menurunkan PDB. Sebabnya, konsumsi rumah tangga turun akibat turunnya penyerapan jumlah tenaga kerja. Gaji karyawan/buruh juga akan turun karena overhead industry mengalami kenaikan. Justru upaya yang harus dilakukan untuk menaikkan PDB adalah menurunkan pajak. Semakin kecil pajak maka akan semakin ringan beban ekonomi masyarakat. Jika pajak dihapuskan maka hapus pula beban ekonomi masyarakat

 

Kontradiknomic

Kontradiknomic merupakan suatu istilah untuk menggambarkan berbagai kontradiksi dalam perekonomian Indonesia, khususnya berkenaan dengan kebijakan penerapan pajak yang tidak adil. Ekonomi yang sejatinya merupakan upaya untuk memenuhi kebutuhan pokok setiap individu dan berupaya memenuhi kebutuhan sekunder justru malah berkebalikan. Setiap kebijakan yang diluncurkan menghasilkan kontradiksi, jauh dari harapan. Berbagai kontradiksi tersebut antara lain:

 

  1. PPN naik vs pengusaha besar dapat tax holiday.

Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% menimbulkan beban tambahan bagi masyarakat kelas menengah dan bawah. Sebaliknya, pengusaha besar kerap menikmati fasilitas tax holiday atau libur membayar pajak dengan alasan mendorong investasi. Kontradiksi ini menimbulkan pertanyaan serius tentang keberpihakan kebijakan Pemerintah.

Bagi masyarakat kecil, kenaikan PPN berdampak langsung pada daya beli. Sektor usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) juga ikut terdampak karena harga jual mereka harus menyesuaikan dengan beban pajak baru. Sebaliknya, tax holiday yang diberikan kepada korporasi besar justru membuat mereka menikmati insentif pajak. Padahal keuntungan korporasi tersebut untuk pemiliknya, tidak dirasakan oleh masyarakat. Pemilik usaha kaya raya, masyarakat tetap sengsara.

 

  1. Rakyat dipajak vs kekayaan alam diobral untuk asing.

Kebijakan fiskal yang membebani rakyat dengan pajak bertolak belakang dengan cara Pemerintah mengelola kekayaan alam. Sumberdaya alam yang sejatinya menjadi hak rakyat justru diserahkan kepada investor asing dan atau aseng melalui kontrak atau konsesi jangka panjang. Misalnya, tambang batubara, nikel, timah minyak dan gas bumi diberikan kepada perusahaan swasta atau asing dengan royalti yang rendah sehingga lebih banyak menguntungkan individu swasta atau asing. Padahal kekayaan alam ini adalah aset strategis yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat. Rakyat justru dirugikan oleh kerusakan lingkungan yang ditinggalkan oleh eksploitasi sumberdaya alam tersebut. Perambahan lahan, kerusakan sungai, danau, hutan disusul dengan berbagai bencana seperti banjir, tanah longsor marak terjadi.

 

  1. Kenaikan pajak vs pemborosan keuangan Negara.

Kebijakan kenaikan pajak menjadi ironi ketika dibandingkan dengan laporan pemborosan keuangan negara. Belanja negara yang boros sering menjadi sorotan dalam audit keuangan. Contoh kasus meliputi pengadaan barang yang tidak relevan, perjalanan dinas mewah, hingga proyek infrastruktur yang mangkrak. Selain itu, banyak laporan tentang korupsi yang merugikan anggaran negara dalam jumlah besar.

Pengeluaran negara untuk proyek-proyek tertentu juga kerap dinilai tidak efisien. Contohnya, pemborosan anggaran pada sektor pembangunan infrastruktur yang tidak mendesak atau proyek strategis nasional yang manfaatnya kurang terasa langsung bagi masyarakat.

 

  1. Pengampunan pajak orang kaya vs penindakan terhadap rakyat kecil.

Pengampunan pajak atau tax amnesty sering diberikan kepada orang kaya atau korporasi besar yang memiliki kewajiban pajak tertunda. Program ini memungkinkan mereka membayar tunggakan pajak dengan denda ringan atau bahkan tanpa denda sama sekali. Meskipun bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan pajak, pengampunan ini menimbulkan ketidakadilan, karena memberikan kemudahan kepada yang kaya, sementara rakyat kecil sering dikenai sanksi atas kesalahan pajak yang relatif kecil. Dampaknya, izin usaha tidak diperpanjang atau dikenakan pidana penjara dan denda, seperti beberapa kasus yang terjadi di beberapa daerah.

Sebaliknya, orang kaya atau konglomerat yang melakukan penghindaran pajak dalam jumlah besar sering mendapat pengampunan pajak, seperti pada tax amnesty. Hal ini menunjukkan ketidakadilan dalam penegakan hukum pajak. Yang kaya mendapatkan keringanan, sedangkan rakyat kecil semakin terbebani. Sri Mulyani sudah meluncurkan tax amnesty sebanyak dua jilid, yang gagal menaikkan rasio pajak. Dia malah akan meluncurkan pengampunan pajak jilid tiga pada tahun 2025!

WalLâhu a’lam. [Dr. Erwin Permana]

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

8 + 8 =

Back to top button