
Sumber-Sumber Pendapatan Negara Khilafah
Dalam sistem Kapitalisme, pos-pos APBN dirancang berdasarkan undang-undang yang disahkan oleh Parlemen. Proses ini semata-mata menggunakan akal dan hawa nafsu para anggotanya. Pemerintah kemudian merumuskan aturan turunan dari undang-undang tersebut dan mengimplementasikannya berdasarkan pertimbangan yang serupa. Pajak dipungut dari orang kaya maupun miskin. Utang berbasis riba dianggap sah, bahkan menjadi sumber utama untuk menutupi defisit anggaran. Kekayaan sumberdaya alam yang seharusnya menjadi milik rakyat justru diserahkan kepada pihak swasta. Negara hanya memperoleh pendapatan berupa pajak dan non pajak, yang jumlahnya jauh lebih kecil dibandingkan dengan keuntungan besar yang dinikmati perusahaan swasta.
APBN sistem Kapitalisme ini jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam karena mengabaikan hukum Allah SWT dan Rasul-Nya yang mengatur segala aspek kehidupan dan mewajibkan manusia untuk mentaatinya. Karena itu kemajuan dan kemakmuran ekonomi yang dihasilkan dari sistem ini sama sekali tidak diridhai oleh Allah SWT karena tidak berlandaskan syariat-Nya.
Sebaliknya, dalam Islam, pos-pos APBN sepenuhnya bersumber dari dalil-dalil syariah, yaitu al-Quran, as-Sunnah, Ijmak Sahabat dan Qiyas Syar’i. Hukum-hukum terkait APBN tersebut wajib diadopsi oleh Khalifah sebagai kepala negara. Berbagai persoalan yang muncul dalam pengelolaan APBN seluruhnya harus diselesaikan sesuai dengan syariah Islam. Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah, karya Syaikh Abdul Qadim Zallum, sumber-sumber pemasukan Negara Khilafah telah ditentukan secara rinci oleh syariah.
Pertama: Anfâl, Ghanîmah, Fai dan Khumûs: Anfâl dan ghanîmah merujuk pada harta yang diperoleh kaum Muslim dari orang kafir melalui peperangan, yang meliputi uang, senjata, barang dagangan dan bahan pangan. Fai adalah harta yang diperoleh tanpa peperangan, seperti yang terjadi pada Bani Nadhir ketika kaum Muslim menguasai harta mereka setelah mereka meninggalkan kampung halaman. Tanah yang dibebaskan, baik secara paksa maupun sukarela, juga termasuk dalam kategori fai. Adapun khumûs adalah seperlima dari ghanîmah yang dibagi sesuai dengan perintah Allah dalam QS al-Anfal [8] ayat 41. Pembagian pendapatan tersebut dilakukan oleh Khalifah dengan mempertimbangkan kemaslahatan umat dan sesuai dengan hukum syariah, seperti yang tercermin dalam pembagian ghanîmah Bani Nadhir oleh Rasulullah saw kepada Muhajirin dan Anshar yang fakir. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT (yang artinya): Agar harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kalian (TQS al-Hasyr [59]: 7).
Kedua: Kharâj. Kharâj adalah hak kaum Muslim atas tanah yang diperoleh dari orang kafir melalui peperangan atau perjanjian damai, yang terdiri dari kharaj ‘unwah (paksaan) dan kharaj sulhi (damai). Kharaj ‘unwah diterapkan pada tanah yang diperoleh secara paksa melalui peperangan, seperti tanah Irak, Syam dan Mesir. Kharaj sulhi, di sisi lain, dikenakan berdasarkan perjanjian damai. Tanah yang tetap dikuasai oleh penduduk asli, namun menjadi milik kaum Muslim, tetap membayar pajak kharâj, yang berlaku selama mereka membayar pajak tersebut atau hingga mereka masuk Islam. Tanah yang dikuasai dengan cara damai tetap dikenakan kharâj jika dimiliki oleh orang kafir, sedangkan tanah yang termasuk tanah ‘usyur hanya dikenakan zakat hasil bumi. Wilayah yang dibebaskan secara paksa seperti Irak, Iran, India, dan Afrika Utara, wajib membayar kharâj, sementara wilayah seperti Jazirah Arab dan Indonesia termasuk tanah ‘usyur yang hanya dikenakan zakat hasil bumi.
Ketiga: Jizyah. Jizyah adalah hak yang Allah berikan kepada kaum Muslim dari orang-orang kafir sebagai tanda bahwa mereka tunduk kepada Islam (ahludz-dzimmah). Jika orang-orang kafir itu telah memberikan jizyah maka wajib bagi kaum Muslim melindungi jiwa dan harta mereka (Lihat: QS at-Taubah [9]: 29). Jizyah diambil dari Ahlul Kitab, yaitu Yahudi dan Nasrani; juga selain Ahlul Kitab seperti Majusi, Shabiah, Hindu dan orang-orang komunis, dll karena Rasulullah saw telah mengambil jizyah dari orang Majusi Hijir. Jizyah tidak dipungut lagi karena mereka masuk Islam. Besaran jizyah ditentukan berdasarkan ijtihad Khalifah, dengan nilai yang tidak memberatkan ahludz-dzimmah, namun tidak merugikan Baitul Mal.
Keempat: Harta Milik Umum. Harta milik umum adalah harta yang telah ditetapkan oleh Asy-Syâri’ (Allah dan Rasul-Nya) sebagai milik bersama kaum Muslim. Individu dibolehkan untuk memanfaatkan harta tersebut, namun mereka dilarang untuk memilikinya secara pribadi. Harta milik umum terdiri dari tiga bagian:
- Sarana yang penting bagi kehidupan sehari-hari umat Muslim, seperti air bersih dan energi (seperti listrik dan gas). Kehilangan sarana-sarana ini dapat menyebabkan perpecahan dalam masyarakat, mirip dengan kehilangan sumberdaya alam penting bagi suku atau kabilah. Alat-alat yang digunakan untuk menyediakan sarana tersebut, seperti saluran air, pembangkit listrik, dan jaringan distribusi, juga termasuk dalam harta milik umum, karena digunakan untuk kepentingan bersama.
- Sarana yang pembentukannya menghalangi individu untuk memilikinya seperti laut, sungai, danau, selat, kanal, lapangan umum, dan masjid. Harta-harta ini dimiliki bersama oleh masyarakat dan tidak bisa dikuasai oleh individu, karena berkaitan dengan kepentingan umum. Misalnya, fasilitas seperti kereta api, saluran air, dan tiang listrik yang terletak di jalan umum juga termasuk dalam kategori ini.
- Barang tambang yang depositnya besar seperti emas, perak, minyak bumi, dan gas alam, yang menjadi milik seluruh kaum Muslim. Negara bertanggung jawab atas eksploitasi sumber daya alam ini untuk kepentingan umat, baik dengan menggunakan peralatan dan industri milik negara atau melimpahkannya kepada pihak swasta dengan imbalan upah atas usaha atau penggunaan peralatan mereka. Namun, barang tambang yang jumlahnya terbatas, seperti emas dan perak, dapat dimiliki secara pribadi.
Kelima: Harta Milik Negara. Jenis-jenis milik Negara dalam Islam yaitu: (1) Tanah tak bertuan, seperti padang pasir, gunung, bukit, lembah dan tanah mati yang tidak dimiliki individu; (2) Tanah endapan sungai, yaitu tanah yang tertutup air atau tak lagi layak untuk pertanian sehingga dianggap tanah mati, yang menjadi milik negara hingga dimiliki individu; (3) Ash-Shawâfi, yaitu tanah yang dikuasai Negara setelah pembebasan wilayah, tanah bekas milik penguasa atau yang ditinggalkan karena perang, dikelola untuk kepentingan umat melalui Baitul Mal; (4) Bangunan dan balairung, seperti istana, sekolah, dan fasilitas publik, termasuk yang dihibahkan atau diwariskan.
Pengelolaan harta milik Negara dilakukan dengan cara seperti penjualan atau penyewaan tanah dan bangunan untuk kemaslahatan masyarakat, seperti untuk pasar, perumahan, atau industri. Tanah pertanian dikelola dengan menyewa atau mempekerjakan petani, tidak menyewakan lahannya, sementara tanah ladang berpohon dikelola berdasarkan bagi hasil. Tanah yang tidak produktif, seperti tanah endapan sungai atau rawa, diperbaiki dan dijadikan lahan pertanian. Selain itu, tanah Negara dibagikan untuk kemaslahatan umat, seperti kepada orang berjasa, muallaf, atau petani yang membutuhkan, sehingga lahan terlantar dapat dikurangi sekaligus meningkatkan produktivitas pertanian.
Keenam: Maraafiq (Sarana Umum). Sarana umum, merupakan bagian dari harta milik Negara, adalah fasilitas yang disediakan negara untuk kepentingan umum, baik di pedesaan maupun perkotaan. Ini mencakup layanan komunikasi (pos, telepon, televisi, satelit), alat pembayaran bebas riba, serta sarana transportasi umum yang harus disediakan oleh negara, meskipun bisa dimiliki individu. Selain itu, negara mengelola industri terkait eksplorasi sumberdaya alam dan industri berat serta militer, yang memerlukan investasi besar dan pengelolaan Negara, meskipun individu dapat mendirikan industri ini jika memiliki kemampuan. Negara wajib menyediakan fasilitas utama ini dan menghasilkan pendapatan yang dimasukkan ke Baitul Mal melalui pos fai dan kharaj. Fasilitas lainnya adalah sarana yang penting untuk kemaslahatan umat, seperti sekolah, rumah sakit, dan jalan umum. Fasilitas ini memerlukan subsidi berkelanjutan dari negara karena tidak menghasilkan pendapatan.
Ketujuh: Harta ‘Usyur. Harta ‘Usyur adalah pungutan yang dikenakan pada perdagangan yang melewati perbatasan Negara Khilafah, dengan besaran yang bergantung pada status pedagang. Pedagang Muslim dikenakan ¼ ‘usyur sebagai zakat yang disalurkan ke Baitul Mal untuk delapan golongan penerima zakat. Pedagang kafir dzimmi dikenakan ½ ‘usyur sesuai kesepakatan damai, yang dapat disesuaikan melalui perjanjian baru. Pedagang kafir harbi dikenakan 1 ‘usyur penuh, sebagai bentuk perlakuan seimbang dengan pajak yang mereka pungut dari pedagang Muslim. Khalifah memiliki wewenang untuk menyesuaikan pungutan demi kemaslahatan umat dan mendukung ekonomi serta dakwah, seperti yang dilakukan Khalifah Umar bin al-Khaththab ra.
Kedelapan: Harta Penguasa atau Pegawai Negara yang Diperoleh Secara Tidak Sah atau Haram. Harta ghulûl adalah harta yang diperoleh oleh penguasa, pejabat atau pegawai negara secara tidak sah atau haram, baik dari Negara maupun masyarakat. Pendapatan mereka hanya berasal dari gaji atau santunan yang diperbolehkan. Beberapa bentuknya meliputi: (a) suap yang diberikan untuk keuntungan tertentu yang semestinya diperoleh tanpa imbalan, haram dan wajib disita; (b) hadiah/hibah kepada pejabat yang dapat mempengaruhi keputusan atau menimbulkan konflik kepentingan; (c) penyalahgunaan kekuasaan, yaitu harta yang diperoleh dengan paksa atau penyalahgunaan jabatan; (d) komisi/makelaran yang diterima sebagai balas jasa transaksi dengan negara; (e) korupsi, yaitu harta yang diselewengkan dari anggaran negara atau diperoleh dengan penipuan dan pemalsuan. Harta ghulul wajib dikembalikan ke Baitul Mal. Selain itu, denda yang dijatuhkan kepada pelanggar hukum juga merupakan pemasukan Baitul Mal.
Kesembilan: Khumus Barang Temuan dan Barang Tambang. Rikâz adalah harta terpendam di dalam bumi, seperti emas, perak, permata, dan perhiasan, termasuk barang dari peninggalan zaman jahiliyah atau Islam, yang ditemukan di kuburan, terowongan, atau kota yang hancur. Harta ini juga mencakup barang tambang dengan deposit kecil, seperti emas dan perak dalam bentuk batangan atau bijih, yang ditemukan di tanah mati (bukan milik seseorang). Semua harta terpendam tersebut menjadi milik penemunya, yang seperlimanya diserahkan ke Baitul Mal. Jika jumlah depositnya besar maka tidak boleh dimiliki, karena termasuk kepemilikan umum yang merupakan milik seluruh kaum Muslim.
Kesepuluh: Harta Waris yang Tidak Ada Ahli Warisnya. Harta, baik bergerak maupun tidak bergerak, yang pemiliknya telah meninggal dunia dan tidak memiliki ahli waris berdasarkan hukum farâ’idh, termasuk keluarga dekat seperti istri, anak, orangtua, saudara laki-laki atau perempuan, maupun ‘ashabah, akan dimasukkan ke dalam Baitul Mal. Hal ini berlaku jika seluruh ahli waris yang seharusnya mewarisi telah meninggal atau tidak ada sama sekali.
Kesebelas: Harta Orang-orang Murtad. Orang yang murtad kehilangan hak atas harta dan darahnya, yang menjadi halal bagi kaum Muslim. Jika orang murtad tidak bertaubat dalam waktu tiga hari, maka dia harus dieksekusi dan hartanya disita untuk disimpan di Baitul Mal. Jika orang murtad kembali ke Islam, harta yang dimilikinya sebelumnya dikembalikan, kecuali jika ia kembali setelah pembagian warisan yang telah dilakukan.
Kedua belas: Pajak (Dharîbah): Salah satu sumber pemasukan untuk Baitul Mal adalah dharîbah (pajak), yang diwajibkan oleh Allah SWT kepada kaum Muslim untuk membiayai berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran yang harus dipenuhi, ketika baitul mal kekurangan dana. Pada prinsipnya, Baitul Mal memiliki pendapatan rutin melalui sumber-sumber seperti fai, kharâj, ‘usyur dan milik umum yang dialihkan menjadi milik negara, yang cukup untuk menutupi kewajiban pembiayaan, baik ketika ada atau tidak ada uang di dalam Baitul Mal. Namun, dalam kondisi yang lebih berat, saat pendapatan rutin Baitul Mal tidak mencukupi untuk menutupi kewajiban pembiayaan, maka kewajiban tersebut dialihkan kepada kaum Muslim. Mereka diwajibkan membayar pajak hanya untuk menutupi kekurangan tersebut, dengan batasan yang wajar, yaitu hanya atas mereka yang memiliki surplus kekayaan setelah kebutuhan mendasar mereka terpenuhi.
Beberapa pos pengeluaran wajib yang harus dibiayai, baik dengan dana Baitul Mal atau tidak, meliputi: (a) pembiayaan jihad, termasuk pasukan, pelatihan dan peralatan militer; (b) pembiayaan industri militer untuk mendukung jihad dan kedaulatan negara; (c) bantuan untuk fakir, miskin, dan Ibnu Sabil; (d) gaji tentara, hakim, guru, pegawai negeri dan pihak yang bekerja untuk kemaslahatan umat; (e) sarana publik penting seperti jalan, rumah sakit, dan sekolah; dan (f) pembiayaan untuk bencana alam atau musibah. Jika dana Baitul Mal terbatas, kewajiban ini dapat dibebankan kepada kaum Muslim atau melalui pinjaman jika diperlukan. Infrastruktur non-darurat seperti memperindah jalan atau fasilitas tambahan tidak wajib dibiayai Baitul Mal atau dibebankan kepada kaum muslim jika dana Baitul Mal kurang.
Ketiga belas: Zakat. Zakat adalah kewajiban fardhu ‘ain bagi setiap Muslim yang harus dikeluarkan dari harta yang telah mencapai nishab dan haul (setahun). Ketika zakat diwajibkan pada harta seseorang, kewajiban ini tidak akan gugur, berbeda dengan pajak yang dipungut oleh Negara berdasarkan kebutuhan dan kemaslahatan umat. Zakat bukan untuk Negara, melainkan hak delapan golongan yang telah ditentukan dalam al-Quran. Harta yang wajib dizakati mencakup ternak seperti unta, sapi, dan kambing; tanaman dan buah-buahan yang zakatnya dikeluarkan saat panen; nuqud atau mata uang, seperti emas dan perak; serta harta atau barang perdagangan. Zakat diwajibkan pada harta-harta tersebut jika telah memenuhi syarat nishab, hutangnya sudah dilunasi, dan telah mencapai satu tahun (haul), kecuali untuk tanaman dan buah-buahan yang zakatnya diwajibkan pada saat panen.
WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. [Muis].