
Isra‘ Mi’raj Dirayakan, Palestina Jangan Dilupakan
Ternyata Rajab tidak melulu seputar Isra‘ Mi’raj sebagai perjalanan spiritual Nabi saw. Bahkan yang seolah menonjol dan diulang-ulang ialah perintah tentang kewajiban shalat. Padahal terdapat peristiwa amat penting berkaitan dengan kondisi kekinian. Jika dikaitkan dengan geografis, muncul Masjidil Haram di Makkah dan Masjid Al-Aqsha di al-Quds, Palestina. Makkah sering diingat dan dikunjungi jutaan umat manusia. Adapun Al-Quds, Palestina, yang saat ini masih terjajah oleh entitas Zionis Yahudi, hampir terlupakan.
Esensi penting Perayaan Isra‘ Mi’raj adalah membangun kesadaran kolektif terhadap kondisi umat Islam kekinian. Perayaan Isra‘ Mi’raj pun seharusnya memunculkan karakter kepedulian, ketaatan, keimanan dan kekuatan sebagai umat yang terbaik. Perayaan Isra‘ Mi’raj juga seharusnya tidak meniadakan peristiwa lainnya, seperti pembebasan Baitul Maqdis dan keruntuhan Khilafah. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT (yang artinya): Ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berpikir (TQS al-A’raf [7]: 176).
Jangan sampai setiap peristiwa penting terputus dan terkubur, bahkan tak pernah diungkap keutamaannya. Sudah saatnya umat Islam memiliki cara berpikir cemerlang dan menyeluruh untuk membangun optimisme.
Mengapa Terputus?
Beberapa hal yang menyebabkan keterputusan satu peristiwa dengan peristiwa penting yang diperingati oleh umat Islam, khususnya pada Bulan Rajab, ialah:
Pertama, cara berpikir umat Islam telah dirusak oleh pemikiran asing (kafir penjajah). Alhasil, seolah peristiwa penting itu berdiri sendiri tanpa ada kaitan dengan peristiwa lainnya. Perayaan Isra‘ Mi’raj jadinya sekadar seremonial tanpa memberikan dampak sosial dan komunal.
Kedua, secara historis, peristiwa yang ditonjolkan sebatas spiritual, bukan substansial. Hal-hal yang berkaitan dengan pengaturan kehidupan kerap ditiadakan. Akibatnya, seolah Islam hanya milik individu tanpa dikaitkan dengan upaya mengatur kehidupan secara menyeluruh (kaaffah).
Ketiga, kontekstualisasi yang lemah. Ada kekurangan upaya mengaitkan peristiwa Rajab dengan kondisi umat Islam saat ini. Alhasil, peristiwa itu dipandang sebagai kisah masa lalu yang terpisah dari realitas kontemporer. Misalnya, kekuatan iman dalam menghadapi ujian besar, pembebasan Palestina dulu bisa menjadi daya ungkit pembebasan Palestina sekarang, dan ketidaksadaran keruntuhan Khilafah yang menjadi bencana besar umat Islam.
Keempat, terdapat upaya penyembunyian fakta penting dari peristiwa Rajab, seperti keberadaan Khilafah yang menentukan hidup-matinya umat Islam dalam menjaga syariah dan pengurusan mereka. Khilafah bahkan dikubur sejarahnya. Kalaupun Khilafah dipelajari bukan untuk diperjuangkan kembali. Selain itu, tak ada upaya persatuan umat Islam di seluruh dunia berkaitan dengan pembebasan Palestina.
Kelima, ketiadaan institusi penjaga umat Islam, yakni Khilafah, yang menyebabkan umat Islam tercerai-berai dan tidak bersatu. Dengan mudahnya, musuh-musuh Islam merekayasa agar peristiwa Rajab asal meriah tanpa bekas. Akhirnya, umat Islam yang seharusnya dalam satu pemikiran, perasaan dan peraturan yang sama tak berwujud.
Kondisi di atas diperparah dengan umat Islam yang belum bangkit. Untuk itulah perlu me-refresh keutamaan peristiwa Isra‘ Mi’raj, pembebasan Baitul Maqdis dan Keruntuhan Khilafah.
Keutamaan Isra‘ Mi’raj
Peristiwa Isra‘ Mi’raj (27 Rajab tahun kesepuluh kenabian) berkaitan dengan keimanan dan ketakwaan. Pada saat itu kaum Quraisy ingkar terhadap apa yang Rasulullah saw. sampaikan. Sebagian kaum Muslim kembali murtad karena tidak percaya. Sebabnya, perjalanan Isra‘ Mi’raj dalam semalam dipandang mustahil ditempuh manusia.
Ali Muhammad Shalabi dalam Sirah Nabawiyah (‘Irdlu Waqâi’ wa Tahlîl Ihdats, 1/209) menjelaskan empat pelajaran penting.
Pertama: Isra‘ Mi’raj adalah kemuliaan dan keistimewaan dari Allah SWT kepada hamba tercinta, Nabi Muhammad saw. Beliau dalam kesedihan setelah Siti Khadijah dan Abu Thalib wafat. Melalui Isra‘ Mi’raj Allah ingin menguatkan hati Nabi saw. dengan melihat langsung kebesaran Allah. Dengan itu beliau semakin teguh dalam menyebarkan agama Allah.
Kedua: Kewajiban menegakkan shalat lima waktu bagi setiap Muslim.
Ketiga: Isra‘ Mi’raj adalah salah satu mukjizat Nabi Muhammad saw. Dalam sejarah, ini adalah perjalanan pertama manusia di dunia menuju luar angkasa dan kembali ke bumi dengan selamat.
Keempat: Terdapat penyebutan dua masjid umat Islam, yaitu Masjid al-Haram dan Masjid al-Aqsha. Hal tersebut memberikan pelajaran penting bahwa keduanya adalah bagian dari tempat suci umat Islam. Membela Masjid al-Aqsha dan sekelilingnya sama saja dengan membela agama Islam.
Oleh karena itu, Perayaan Isra‘ Mi’raj, selain mengambil hikmahnya, seharusnya menguatkan iman dan takwa kita, juga menguatkan perjuangan demi ‘Izzul Islaam wal Muslimiin. Dampaknya bisa menjadi kebangkitan dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.
Pembebasan Baitul Maqdis
Dua tokoh penting pembebas Baitul Maqdis adalah: (1) Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. pada tahun 16 Hijrah atau 637 Masehi dari tangan Romawi; (2) Sultan Shalahuddin al-Ayyubi di bawah Perjanjian “Shulh Al-Ramlah” pada 27 Rajab 583 H/1187 M. Pembebasan ini menjadi bukti penting keberadaan tanah suci asal para nabi.
Sayang, saat ini Baitul Maqdis (Palestina) masih dalam kondisi yang merana. Penjajahan entitas Zionis Yahudi yang didukung sekutunya (Barat dan Amerika Serikat) berlangsung tanpa ada yang membendung. Penguasa Muslim pun tak bisa bersatu dan menyerukan penyelamatan Palestina. Padahal mereka memiliki kekuatan dan militer yang bisa membebaskan jika memiliki kemauan.
Palestina dalam keterjajahan. Perlu pembebasan sebagai solusi tuntas. Bukan basa-basi dalam diplomasi dan konferensi dunia yang penuh tipudaya. Pembebasan oleh pasukan terbaik dengan kekuatan terbaik adalah langkah konkret. Tanpa itu, upaya apapun hanya akan memperpanjang derita Palestina dan umat Islam di sana. Sudah selayaknya, pemimpin negeri-negeri kaum Muslim yang memiliki iman dan kesadaran politik untuk membebaskan Baitul Maqdis. Apalagi yang kalian tunggu dengan berdiam diri?
Sesungguhnya pembebasan Baitul Maqdis dan Palestina saat ini memiliki makna penting bagi umat Islam. Di antaranya:
Pertama, Baitul Maqdis dan Palestina merupakan bagian dari amanah umat Islam secara global. Hal ini karena umat Islam satu dan lainnya saling menjaga dan tidak boleh menzalimi atau terzalimi.
Kedua, Baitul Maqdis (al-Aqsha) adalah kiblat pertama umat Islam. Sufyan berkata: Abu Ishaq pernah bercerita kepadaku: Aku pernah mendengar Al-Barra’ ra. berkata, “Kami pernah shalat bersama Rasulullah saw. menghadap Baitul Maqdis, selama 16 atau 17 bulan.” (HR al-Bukhari).
Ketiga, Baitul Maqdis merupakan tempat para nabi diutus dan singgah.
Keempat, Baitul Maqdis disucikan dari kesyirikan, kezaliman, dan tangan-tangan yang ingin menghancurkan.
Kelima, Baitul Maqdis menjadi hak bagi siapapun umat yang mengimani Allah SWT dan Rasul-Nya.
Keenam, perwujudan dari bisyaarah Rasulullah saw. Siapapun yang membebaskan akan menjadi sebaik-baik pemimpin dan pasukan. Ganjarannya surga yang telah dijanjikan Allah SWT.
Dengan demikian, pembebasan Baitul Maqdis dan Palestina menjadi urgen yang wajib dipikul oleh pemimpin Muslim. Umat Islam lainnya wajib turut membantu dengan terus mendorong pemimpinnya untuk segera mengirimkan pasukan dalam jihad fi sabilillah.
Keruntuhan Khilafah
Keruntuhan Khilafah pada 3 Maret 1924 bertepatan dengan 28 Rajab 1342 Hijrah. Disebut dengan ‘naazilah kubraa’ (malapetaka luar biasa). Bayangkan, sebuah institusi penjaga dan pelaksana syariah berhasil diruntuhkan oleh Mustafa Kemal. Umat Islam, yang memiliki penjaga dan rumah besarnya berhasil dirobohkan, akhirnya kehilangan arah.
Hasilnya, aturan asing (kapitalisme dan sosialisme) diterapkan dalam kehidupan. Negara terpecah-belah berdasar nasionalisme. Penguasa negeri Muslim didikte oleh negara imperialis-kapitalis. Kekuatan militer di negeri Muslim tunduk pada kepentingan penjajah. Pendirian negara ilegal entitas Yahudi di tanah milik umat Islam (Palestina).
Khilafah merupakan ajaran Islam dan menjadi bagian penting dalam agama. Menegakkan Khilafah merupakan taaj al-furuudh (mahkota kewajiban). Ketiadaannya menjadikan Islam tak lagi berdiri kokoh. Umatnya lemah keyakinan. Bahkan untuk menampakkan diri sebagai umat terbaik tertutupi oleh kepentingan sesaat. Celakanya, ide dan opini seputar khilafah dimonsterisasi. Muncul upaya kriminalisasi terhadap ide dan perjuangannya. Ini adalah kondisi yang menyakitkan di tengah upaya memberikan solusi dan jalan keluar dari ragam persoalan.
Ketiadaan Khilafah memudahkan kafir imperialis memasuki negeri-negeri kaum Muslim. Sumberdaya alamnya dirampok habis-habisan melalui korporasi multinasional. Pemikiran dan gaya hidup umat Islam diracuni dengan ide-ide yang menjauhkan dari Islam. Pemimpin Muslim pun tak lagi mendeklarasikan sebagai penerap syariah dan penjaga agama. Mereka malah bersuka-ria dan bergandengan tangan dengan penjajah.
Nyawa umat Islam pun begitu mudah dihilangkan oleh penjajah dan sekutunya yang berbusa-busa berkata tentang HAM (Hak Asasi Manusia). Darah umat ditumpahkan dalam genosida jumlah besar. Sudah begitu, kafir penjajah yang bercokol di negeri-negeri muslim diberikan tempat dan karpet merah. Ini sebuah pengkhianatan terhadap umat Islam yang seharusnya harta, nyawa dan jiwa dijaga sebaik-baiknya.
Peristiwa di Palestina bisa menjadi poin penting agar tidak terlupakan. Ini menjadi salah satu malapetaka akibat ketiadaan Khilafah sebagai pembebas dan penjaga. Di Palestina bercokol entitas illegal Zionis Yahudi pada 14 Mei 1948. Inilah permulaan penjajahan dan perebutan tanah Palestina secara brutal. Penderitaan Palestina yang menjadi penjara hidup dan kemalangan sudah dirasakan selama 77 tahun.
Kondisi ini diperparah pada peristiwa 7 Oktober 2023. Sudah lebih dari 45.000 korban jiwa dalam genosida. Anak-anak terpisah dari keluarganya di Gaza. Gizi buruk melanda akibat kelaparan selama perang. Kamp pengungsian menjadi tempat yang tidak layak dalam menjalani kehidupan. Penjajah pun menyerang rumah sakit. Pelayanan kesehatan lumpuh total. Tak jarang kerumunan massa dan keramaian publik menjadi sasaran tembak genosida.
Lantas, apakah dengan kondisi Palestina umat Islam masih menganggap itu bukan urusan kita. Apalagi penguasa Muslim masih diam membatu tanpa membantu dengan mengirimkan pasukan militer terbaiknya. Padahal sebelumnya Sultan Abdul Hamid II sudah memberikan teladan dengan menolak keras Theodor Hertzl yang ingin menyuap dirinya demi merebut Palestina. Ia tegas berkata:
“Nasihati Hertzl agar jangan meneruskan rencananya. Aku tidak akan melepaskan walaupun sejengkal tanah ini (Palestina), karena ia bukan milikku. Tanah itu adalah hak umat Islam. Umat Islam telah berjihad demi kepentingan tanah ini dan mereka telah menyirami tanah ini dengan darah mereka. Yahudi silakan menyimpan harta mereka. Jika suatu saat Kekhilafahan Turki Usmani runtuh, kemungkinan besar mereka akan bisa mengambil Palestina tanpa membayar harganya. Akan tetapi, sementara aku masih hidup, aku lebih rela menusukkan pedang ke tubuhku daripada melihat tanah Palestina dikhianati dan dipisahkan dari Khilafah Islamiyah. Perpisahan adalah sesuatu yang tidak akan terjadi. Aku tidak akan memulai pemisahan tubuh kami selagi kami masih hidup.”
Khatimah
Semarak Perayaan Isra‘ Mi’raj dan upaya mengisi Rajab hendaknya mengingatkan kita pada akar sejarah yang kuat. Keterhubungan peristiwa Rajab dengan Palestina begitu erat. Umat Islam yang ingin mengisi Rajab bisa kembali bermuhasabah dan mengambil pelajaran penting dari rangkaian Isra‘ Mi’raj, pembebasan Baitul Maqdis dan ketiadaan Khilafah. Jangan sampai perayaan meriah melupakan kewajiban membebaskan Palestina dengan jihad dan khilafah.
Oleh karena itu, seruan semangat perjuangan di Rajab semakin meneguhkan iman dan keyakinan akan kembalinya Khilafah ‘alaa Minhaaj an-Nubuwwah. Jika Isra` Mi’raj menjadi pelipur duka bagi Nabi Muhammad saw. atas wafatnya dua orang tercinta, kembalinya Khilafah akan menjadi pelipur lara. Khilafahlah yang akan membebaskan Palestina dari penjajahan kaum yang tak memiliki hati nurani.
WalLaahu a’lam. [Hanif Kristianto (Analis Politik dan Media)]