Soal Jawab

Bolehkah Meneladani Nabi SAW Hanya Sebagiannya Saja?

Soal:

Bagaimana hukum meneladani Nabi, apakah wajib atau sunnah? Jika wajib, apakah kewajiban meneladani Nabi saw. itu dalam seluruh aspek kehidupan, atau dalam urusan tertentu saja, sementara yang lain tidak?

 

Jawab:

Sebelum menjawab pertanyaan ini, pertama-­tama kita harus memahami di mana posisi Nabi saw. dalam konteks tasyrii’, juga tujuan Allah SWT mengutus Nabi saw. Di dalam al-­Quran banyak nas yang menjelaskan bahwa Nabi saw. diutus oleh Allah SWT untuk membawa petunjuk dan risalah:

هُوَ ٱلَّذِيٓ أَرۡسَلَ رَسُولَهُۥ بِٱلۡهُدَىٰ وَدِينِ ٱلۡحَقِّ لِيُظۡهِرَهُۥ عَلَى ٱلدِّينِ كُلِّهِۦ وَلَوۡ كَرِهَ ٱلۡمُشۡرِكُونَ  ٣٣

Dialah Yang telah mengutus Rasul-­Nya (dengan membawa) petunjuk (al-­Quran) dan agama yang benar untuk dimenangkan-­Nya atas segala agama, walaupun kaum musyrik tidak suka (QS at-­Taubah [9]: 33).

 

Karena itu tugas Nabi saw. adalah menyampaikan risalah:

مَّا عَلَى ٱلرَّسُولِ إِلَّا ٱلۡبَلَٰغُۗ وَٱللَّهُ يَعۡلَمُ مَا تُبۡدُونَ وَمَا تَكۡتُمُونَ  ٩٩

Kewajiban Rasul tidak lain hanyalah menyampaikan (risalah). Allah mengetahui apa yang kalian nyatakan maupun yang kalian sembunyikan (QS al-­Maidah [5]: 99).

 

Nabi saw. sekaligus ditugaskan untuk menjelaskan risalah itu sehingga risalah tersebut bisa diterapkan dalam kehidupan:

وَمَآ أَنزَلۡنَا عَلَيۡكَ ٱلۡكِتَٰبَ إِلَّا لِتُبَيِّنَ لَهُمُ ٱلَّذِي ٱخۡتَلَفُواْ فِيهِ وَهُدٗى وَرَحۡمَةٗ لِّقَوۡمٖ يُؤۡمِنُونَ  ٦٤

Kami tidak menurunkan kepada kamu al-­Kitab (al-­Quran) ini, melainkan agar kamu jelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu, dan agar (al-­Quran itu) menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman (Q an-­Nahl [16]: 64).

 

Karena itu, sebelum ada Nabi saw. dan penjelasan yang disampaikan, belum ada syariah yang berlaku, sehingga manusia melakukan apa yang menjadi pilihan mereka. Jika salah pun tidak ada sanksi atas dirinya. Allah SWT berfirman:

وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّىٰ نَبۡعَثَ رَسُولٗا  ١٥

Kami tidak akan mengazab (manusia) sebelum Kami mengutus seorang rasul (QS al-­Isra’ [17]: 15).

 

Ini dalam konteks di dunia. Benar dan salah ditentukan oleh apakah perbuatan tersebut sesuai dengan tuntunan Nabi saw. atau tidak. Jika tidak maka tentu dinyatakan salah. Bagaimana dengan di akhirat? Di akhirat pun sama. Kelak, Nabi saw. akan dijadikan sebagai saksi atas perbuatan kita di dunia. Allah SWT berfirman:

وَيَوۡمَ نَبۡعَثُ فِي كُلِّ أُمَّةٖ شَهِيدًا عَلَيۡهِم مِّنۡ أَنفُسِهِمۡۖ وَجِئۡنَا بِكَ شَهِيدًا عَلَىٰ هَٰٓؤُلَآءِۚ وَنَزَّلۡنَا عَلَيۡكَ ٱلۡكِتَٰبَ تِبۡيَٰنٗا لِّكُلِّ شَيۡءٖ وَهُدٗى وَرَحۡمَةٗ وَبُشۡرَىٰ لِلۡمُسۡلِمِينَ  ٨٩

(Ingatlah) akan hari (ketika) Kami membangkitkan pada tiap-­tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. Kami menurunkan kepada kamu al-­Kitab (al-­Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu; sebagai petunjuk, rahmat dan kabar gembira bagi kaum yang berserah diri (QS an-­Nahl [16]: 89).

 

Dari ayat di atas jelas bahwa penjelasan Nabi saw. tidak hanya menjadi standar benar dan salah di dunia, tetapi juga di akhirat. Ketika Allah menjadikan Nabi saw. sebagai saksi atas kita di akhirat, sementara beliau membawa al-­Quran yang sebagai risalah-­Nya yang telah menjelaskan semuanya, maka saat demikian tidak boleh ada seorang pun yang mengatakan bahwa dia melakukan sesuatu, jika dinilai salah oleh Allah SWT, karena tidak ada penjelasannya dari Nabi saw.

Karena itu, dari sini bisa dipahami bahwa hukum mengambil penjelasan Nabi saw. dalam seluruh aspek kehidupan kita di dunia ini adalah wajib, bukan sunnah, atau mubah. Ini ditegaskan oleh Allah SWT:

وَمَآ ءَاتَىٰكُمُ ٱلرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَىٰكُمۡ عَنۡهُ فَٱنتَهُواْۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلۡعِقَابِ  ٧

Apa saja yang Rasul bawa kepada kalian, terimalah. Apa saja yang dia larang atas kalian, tinggalkanlah. Bertakwalah kalian kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukuman-­Nya (QS al-­Hasyr [59]: 7).

 

Nabi saw. adalah teladan bagi kita:

لَّقَدۡ كَانَ لَكُمۡ فِي رَسُولِ ٱللَّهِ أُسۡوَةٌ حَسَنَةٞ لِّمَن كَانَ يَرۡجُواْ ٱللَّهَ وَٱلۡيَوۡمَ ٱلۡأٓخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرٗا  ٢١

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kalian, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) Hari Kiamat dan dia banyak mengingat Allah (QS al-­Ahzab [33]: 21),

 

Imam al-­Qurthubi menjelaskan bahwa hukum meneladani Nabi saw. dalam urusan agama adalah wajib, sedangkan dalam urusan dunia, hukumnya sunnah1. Demikian sebagaimana Hadis Nabi saw.:

«إنَّمَا أَنَا بَشَرٌ إذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيءٍ مِنْ دِيْنِكُمْ فَخُذُوْا بِهِ وَ إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيءٍ مِنْ رَأْيِي فَإِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ»

Aku hanyalah seorang manusia. Jika aku memerintahkan kepada kalian sesuatu yang termasuk urusan agama kalian, maka ambillah. Jika aku memerintahkan kepada kalian sesuatu dari pendapatku, maka aku hanyalah manusia (HR Muslim)2.

 

Urusan dunia ini maksudnya adalah urusan yang mubah, yang terkait dengan teknologi, sebagaimana dalam kasus penyebukan kurma, agar pohon kurma itu berbuah. Dalam hal ini, para Sahabat tidak perlu diajari oleh Nabi saw., atau menunggu petunjuk dari Nabi saw., karena ini adalah masalah ilmu pengetahuan yang bersifat saintifik.

Adapun dalam urusan agama, yang terkait dengan halal-­haram, wajib-­haram, sunnah-­makruh, mubah, baik-­buruk, dan sebagainya, maka kita wajib mengikuti apa yang dibawa dan dijelaskan oleh Nabi saw. Karena itu hukum mengikuti dan meneladani Nabi saw. jelas wajib. Bukan sunnah atau mubah. Para ulama ushul kemudian membedakan ada dua aspek terkait dengan masalah ini.

Pertama: Hukum ittibâ’ (mengikuti dan meneladani) Nabi saw. berdasarkan nas-­nas di atas jelas hukumnya wajib.

Kedua: Hukum melakukan perbuatan yang dilakukan oleh Nabi saw. statusnya mengikuti status perbuatan itu sendiri. Bisa wajib, sunnah, mubah bahkan haram untuk dilakukan.

Dalam konteks yang pertama, yaitu hukum ittibâ’ (mengikuti dan meneladani) Nabi saw., yang jelas hukumnya wajib, maka ulama’ ushul menetapkan tiga syarat. Pertama: harus mumatsalah (bentuknya sama persis). Misalnya, Nabi saw. membina Sahabat, maka kita juga membina umat. Kedua: Harus ‘ala wajhihi (hukumnya sama dengan apa yang dilakukan Nabi saw.). Nabi saw. membina terus-­menerus sampai wafat, sehingga menjadi qarînah, bahwa pembinaan ini hukumnya wajib. Karena itu kita pun sama, menghukumi pembinaan ini sebagai kewajiban. Ketiga: Harus ‘min ajlihi (sesuai dengan konteks perbuatan itu dilakukan Nabi saw.). Pembinaan itu dilakukan untuk membentuk Hizbur-­Rasûl hingga berhasil meraih tujuannya. Kita pun sama. Kita harus melakukan pembinaan ini sebagaimana yang Nabi saw. lakukan. Sebelum, ketika dan setelah dakwah berhasil mewujudkan tujuannya. Ini namanya ittibâ’. Jika tidak maka belum disebut ittibâ’.

Adapun dalam konteks melakukan perbuatan Nabi saw., maka ini bergantung pada jenis perbuatan yang beliau lakukan. Perbuatan ini oleh para ulama ushul dibedakan menjadi:

Pertama, perbuatan Jibiliyyah (perbuatan yang dilakukan Nabi saw. sebagai manusia biasa) seperti makan, tidur, istirahat, duduk, berjalan, dan sebagainya. Dalam hal ini, status perbuatannya itu sendiri mubah, baik bagi Nabi saw. maupun umatnya. Hanya saja, apa yang dicontohkan Nabi saw. dalam konteks ini bersifat irsyâd (petunjuk). Jika dilakukan lebih baik, tetapi jika tidak, maka tidak berdosa. Misalnya, Nabi saw. makan saat lapar, berhenti sebelum kenyang. Ini irsyaad yang tentu sangat bagus untuk kesehatan.

Kedua, perbuatan Ghayra Jibiliyyah (perbuatan yang dilakukan Nabi saw. sebagai nabi). Di sini ulama kemudian membagi menjadi dua:

(1)      Bayân li Khithâb Sâbiq (penjelasan bagi seruan atau nas sebelumnya).

Status perbuatan Nabi saw. di sini berfungsi menjelaskan nas. Status hukum menduplikasi perbuatan Nabi saw. dalam konteks ini bergantung pada nas yang dijelaskan. Misalnya, ketika Allah SWT menurunkan perintah shalat, lalu Nabi saw. naik di atas bukit Shafa, kemudian shalat. Setelah itu bersabda kepada para Sahabat:

«صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُونِيْ أُصَلِّي»

Shalatlah kalian sebagaimana kalian tadi melihat aku sedang shalat (HR Muslim).3

Contoh lain, ada ayat yang memerintahkan memotong tangan pencuri, tetapi belum ada penjelasan. Setelah ada kasus, baru Nabi saw. mempraktikkan cara memotong tangan pencuri, yaitu memotong tangan pencuri sebelah kanan4. Ini termasuk Bayân li Khithâb Sâbiq untuk menjelaskan firman Allah SWT:

وَٱلسَّارِقُ وَٱلسَّارِقَةُ فَٱقۡطَعُوٓاْ أَيۡدِيَهُمَا ٣٨

Pencuri laki-­laki dan perempuan, potonglah tangan masing-­masing dari keduanya (QS al-­Maidah [5]: 38)

Jadi, status mengerjakan perbuatan Nabi saw. yang merupakan penjelasan bagi nas sebelumnya itu bergantung pada hukum nas yang dijelaskan. Jika nas yang dijelaskan hukumnya wajib maka perbuatan Nabi saw. tersebut juga wajib. Jika sunnah maka mengerjakannya juga sunnah. Jika mubah maka mengerjakannya juga mubah.

 

(2)      Ghayra Bayân li Khithâb Sâbiq (bukan penjelasan bagi seruan atau nash sebelumnya).

Dalam hal ini, bisa dibedakan menjadi dua. Pertama: Khawwâsh ar-­Rasûl (perbuatan yang hanya menjadi keistimewaan Rasul). Seperti menikah lebih dari empat, Puasa Wishal, dan sebagainya. Maka dari itu haram bagi umatnya untuk melakukan perbuatan yang dilakukan oleh Rasul ini. Kedua: Ghayra Khawwâsh as-­Rasûl: Dalam konteks ini, perbuatan Nabi saw. bisa dibedakan menjadi dua: (a) Qashdu al-­Qurbah (mendekatkan diri kepada Allah). Misalnya, Nabi saw. berdoa sebelum makan atau berdoa sebelum tidur. Makan dan tidur adalah perbuatan Jibiliyyah yang mubah, tetapi berdoa sebelum makan dan tidur adalah perbuatan Nabi saw. untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dalam hal ini, hukum menduplikasi perbuatan Nabi saw., yaitu berdoa sebelum makan dan tidur adalah sunnah (mandûb). (b) Ghayra Qashdu al-­Qurbah (bukan untuk mendekatkan diri kepada Allah). Adapun perbuatan yang tidak termasuk mendekatkan diri kepada Allah, maka statusnya bergantung pada qarînah yang menjelaskan5. Pembahasan tentang qarînah ini panjang lebar telah dibahas oleh ulama ushul. Bisa dibedakan menjadi wajib, mandûb dan mubah.

  1. Qarînah yang menunjukkan wajib, misalnya, keterikatan Nabi saw. dalam berjuang menegakkan Islam, mulai dari Makkah sampai ke Madinah, dengan metode (tharîqah) tertentu, seperti menggunakan pemikiran, perjuangan politik, thalab an-­nushrah. Meski berbagai ujian dan kesulitan mendera Nabi saw. dan para Sahabat, Nabi saw. tidak berhenti atau mengubah metodenya. Ini membuktikan bahwa metode tersebut wajib.
  2. Qarînah yang menunjukkan sunnah, seperti Qasdhu al-­Qurbah (mendekatkan diri kepada Allah), tetapi tidak ada indikasi yang menunjukkan wajib6. Misalnya, Nabi saw. duduk tahiyat awal terus-­menerus, tiba-­tiba suatu ketika meninggalkannya7.
  3. Qarînah yang menunjukkan mubah, seperti Nabi saw. pernah melakukan perbuatan pada satu saat, kemudian pada saat lain meninggalkannya. Seperti ketika Nabi saw. berdiri saat jenazah lewat, pada lain waktu Nabi saw. duduk. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibn ‘Abbas dan al-­Hasan, sehingga yang satu bertanya, “Bukankah Nabi saw. berdiri saat ada jenazah lewat? Yang lain menjawab, “Iya,” dan Baginda juga duduk.” Dengan demikian bisa dipahami bahwa berdiri dan duduk saat jenazah lewat itu hukumnya mubah.

 

Inilah gambaran secara utuh, bagaimana ulama ushul menjelaskan kewajiban bagi kita untuk meneladani Nabi saw. dalam seluruh aspek kehidupan. Dengan demikian tidak ada satu ruang pun yang tidak dijelaskan oleh Nabi saw., kecuali dalam perkara yang mubah, terkait dengan sains dan teknologi, karena dalam konteks ini memang diserahkan kepada kita. Selebihnya, kita semuanya wajib terikat dengan tuntunan Nabi saw., baik dalam urusan ibadah, muamalah, akhlak maupun yang lain.

Status mengikuti Nabi saw. dalam seluruh aspek tersebut hukumnya wajib. Jika tidak maka perbuatan kita akan tertolak karena tidak mengikuti ketentuan yang diajarkan oleh Nabi saw.

WalLâhu a’lam bi as-­shawâb. [KH. Hafidz Abdurrahman]

 

Catatan kaki:

  1. Al-­Imam Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar al-­Qurthubi, al-­Jami’ li Ahkami al-­Qur’an wa al-­Mubayyin lima Tadhammanahu min as-­Sunnah wa Ayi al-­Furqan, editor Dr. ‘Abdullah ‘Abdul Muhsin Turki, Muassasah ar-­Risalah, Damaskus, cet. I, 1442 H/2021 M, Juz XVII, hal. 109.
  2. Hr Muslim (2362); at-­Thabrani (Juz IV/280) (4424); Abu Awanah, al-­Mustakhraj (10417).
  3. Hr Bukhari (6008); Muslim (674); an-­Nasa’I (635).
  4. Hr Ahmad, Juz II/177.
  5. Al-­Alim al-­Ushuli Atha’ bin Khalil Abu Rasytah, Taisir al-­Wushul ila al-­Ushul, Dar al-­Ummah, Beirut, cet. III, 1421 H/2000 M, hal. 75-­77.
  6. Al-­Imam Baruddin Muhammad bin Bahadir bin ‘Abdullah az-­Zarkasyi as-­Syafii, al-­Bahru al-­Muhith fî Ushul al-­Fiqh, editor al-­Markaz al-­‘Ilmi bi Dar ibn al-­Jauzi, Qahirah, cet. I, 1437 H/2016 M, Juz IV, hal. 188.
  7. Hr Bukhari (829); Muslim (570) dari Abdullah bin Buhainah.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

10 + 16 =

Back to top button