
Lima Jenis Hukum Syariah
Al-‘Allamah as-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menyatakan bahwa hukum syariah adalah:
Seruan Pembuat Syariah yang berkaitan dengan perbuatan hamba.
Dinyatakan dengan khithâb as-Syâri’ (seruan Pembuat Syariah), bukan khithâbulLâh (seruan Allah), adalah agar tidak muncul anggapan bahwa yang dimaksud hanya al-Quran saja, namun juga mencakup as-Sunnah. Ungkapan “yang berkaitan dengan perbuatan hamba” mengeluarkan pembahasan akidah dari definisi ini. Disebutkan “hamba” untuk mencakup adanya kewajiban zakat atas harta orang gila dan harta anak kecil. Sebagian ulama menyatakan hal ini dengan ungkapan “khithâb as-Syâri’ yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf”, atau “khithâb as-Syâri’ yang memiliki faedah syar’iyyah”.
Pemahaman terhadap hukum syariah bertumpu pada pemahaman terhadap al-Quran dan as-Sunnah. Tidak setiap khithâb as-Syâri’ itu wajib dilaksanakan dan terlarang jika ditinggalkan atau haram dilakukan dan mendapat siksa jika dikerjakan. Karena itu tidak boleh terburu-buru menghalalkan atau mengharamkan suatu perkara hanya dengan membaca satu perintah atau larangan di dalam ayat al-Quran dan as-Sunnah. Namun, wajib lebih dulu memahami jenis khithâb sebelum mengeluarkan pendapat terkait hukum syariah.
Tuntutan dalam Khithâb
Secara umum, khithâb as-Syâri’ terbagi menjadi dua, yakni: (1) khithâb at-taklîf; (2) khithâb al-wadh’i.
Khithâb at-taklîf adalah khithâb (seruan) yang mengandung tuntutan (iqtidhâ‘) dan pilihan (takhyîr). Tuntutan ini terbagi dua: (1) tuntutan untuk melakukan suatu perbuatan; (2) tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan. Tuntutan tersebut adakalanya pasti/mutlak (jâzim) dan adakalanya tidak mutlak.
Jika tuntutan untuk melakukan suatu perbuatan ini bersifat jâzim maka hukum yang muncul adalah fardlu/wajib. Jika bersifat tidak jâzim maka hukum yang muncul adalah sunnah. Sebaliknya, terkait tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan, jika bersifat jâzim maka hukum yang muncul adalah haram; jika bersifat tidak jâzim maka hukum yang muncul adalah makruh. Adapun khithâb yang berisi pilihan maka hukum yang muncul adalah mubah. Karena itu khithâb at-taklîf akan memunculkan lima hukum taklifi yakni: wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram.
Adapun khithâb al-wadh’i adalah khithâb (seruan) yang menjelaskan kondisi-kondisi yang harus ada atau tidak ada agar hukum taklifi berlaku atau tidak berlaku. Khithâb al-wadh’i berkaitan dengan sebab, syarat, penghalang (mâni’), sah, batal, fasad, ‘azîmah dan rukhshah. Misalnya, salat zhuhur hukum taklifi-nya adalah wajib. Sebabnya, salah satunya adalah telah masuk waktu (matahari tergelincir). Syarat sahnya, salah satunya adalah suci dari hadats dan najis. Haid menjadi mâni’-nya. Safar thawiil menjadi salah satu alasan untuk mendapatkan rukhshah dengan meng-qashar-nya.
Jadi, upaya penelaahan terhadap nas atau dalil-dalil syar’i untuk menetapkan suatu status hukum bagi perbuatan manusia atau suatu benda memerlukan kecermatan dan kemampuan. Suatu perbuatan bersifat wajib atau haram tidak semata-mata diambil dari adanya bentuk perintah atau larangan pada suatu ayat atau hadis. Tidak semua perintah berbentuk fiil ‘amr (kata perintah). Oleh karena itu betapa pentingnya hal ini diperhatikan agar semboyan kembali pada al-Quran dan Sunnah justru tidak berujung pada munculnya sikap-sikap yang berani mempermainkan agama, membuat hukum-hukum baru, atau metode ijtihad baru.
Faidah Qarînah (Indikasi) dalam Memahami Makna Khithâb
Memahami makna ayat atau hadis haruslah dengan pemahaman secara tasyri’i dan bukan secara lughawi (bahasa) saja. Misalnya firman Allah SWT:
Janganlah kalian mendekati zina (QS al-Isra‘ [17]: 32).
Dari sini bisa dipahami bahwa Allah telah melarang perbuatan zina. Namun, status hukumnya tidak muncul hanya karena sighat nahi (bentuk larangan) dalam ayat itu saja, melainkan juga berdasarkan indikasi (qarînah) lain yang merupakan nas-nas lain, misalnya firman Allah SWT:
Sesungguhnya (zina) itu adalah suatu perbuatan yang keji dan jalan yang buruk (QS al-Isra‘[17]: 32).
Pezina perempuan dan pezina lelaki, cambuklah masing-masing dari keduanya seratus kali cambukan (QS an-Nur [24]: 2).
Juga hadis:
Sesungguhnya orang-orang Yahudi datang kepada Nabi saw. dengan membawa seorang laki-laki dan seorang perempuan yang berzina. Beliau lalu memerintahkan untuk merajam keduanya di tempat biasa untuk menyalatkan jenazah, di samping Masjid Nabawi (HR al-Bukhari).
Adanya celaan, ancaman dan hukuman merupakan qarînah bahwa larangan tersebut bersifat jâzim sehingga melanggar larangan tersebut dihukumi haram.
Begitu juga perintah dalam firman Allah SWT:
Jika kalian telah menyelesaikan ibadah haji maka berburulah (QS al-Maidah [5]: 2).
Juga firman Allah SWT:
Jika salat telah dilaksanakan maka bertebaranlah kalian di muka bumi (QS al-Jumu’ah [62]: 10).
Perintah berburu setelah selesai melaksanakan haji (tahallul), juga perintah bertebaran di muka bumi setelah melaksanakan shalat, tidaklah otomatis bisa disimpulkan bahwa hukumnya wajib atau sunnah, namun perlu dilihat qarînahnya dulu. Berburu pada awalnya adalah boleh. Kemudian Allah melarang hal demikian saat ihram dengan firman-Nya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian membunuh binatang buruan, sedang kalian dalam keadaan berihram (QS al-Maidah [5]: 95).
Kemudian selesai tahallul diperintahkan berburu. Ini menjadi indikasi bahwa perintah berburu ini adalah boleh/mubah, bukan sunnah atau wajib. Perintah ini hanya berfungsi mengembalikan perbuatan pada hukum asal sebelum perbuatan tersebut dilarang. Begitu juga perintah bertebaran di muka bumi, awalnya boleh, lalu dilarang saat masuk waktu salat Jumat, lalu diperintahkan setelah selesai. Ini juga menjadi indikasi bahwa perintah ini hukumnya mubah/boleh.
Begitu juga dalam memahami hadis, perlu dipahami indikasinya dulu sebelum menentukan hukumnya. Misalnya ketika sampai kepada Rasulullah saw. bahwa penduduk Persia telah mengangkat putri Kisra sebagai raja, beliau bersabda:
Tidak akan beruntung suatu kaum yang memberikan kekuasaan kepada seorang perempuan (HR al-Bukhari).
Redaksi dalam hadis tersebut memang dalam bentuk berita (khabar). Namun, adanya celaan bagi mereka yang memberikan kekuasaan kepada perempuan menjadi qarînah bahwa maksud dari khabar tersebut adalah larangan. Karena celaan tersebut adalah celaan yang tegas dengan huruf lan lit ta’bîd, yakni menafikan keberuntungan selamanya, ini menjadi qarînah bahwa larangan tersebut adalah larangan yang tegas. Karena itulah kita mendapati para ahli fikih sepakat bahwa imâmah kubra (khalifah/kepala negara) tidak sah diberikan kepada perempuan.
Jadi untuk mengetahui jenis hukum dari suatu nash harus bersandar pada pemahaman nash tersebut secara tasyri’i dan kaitannya dengan qarînah yang memberikan petunjuk terhadap makna nash tersebut. Dari sini jelaslah bahwa hukum syariah itu bermacam-macam adanya dan kadangkala ada perbedaan pendapat ahli fikih dalam memberikan kesimpulan hukumnya. Perbedaan pendapat bisa muncul disebabkan oleh dalil-dalilnya, seperti adanya lafal yang mengandung beberapa makna (musytarak), mengandung penakwilan, makna haqiqi dan majazi, penggunaan dalil antara umum dan khusus, perbedaan qira’at (bacaan) al-Quran dan pandangan terhadap periwayatan hadits. Bisa juga terjadi karena perbedaan pemakaian kaidah-kaidah ushul.
Sebagai contoh Rasulullah saw. bersabda:
Setiap bagian pakaian (izâr) yang di bawah mata kaki maka tempatnya di neraka (HR al-Bukhari).
Adapun dalam hadis lain beliau bersabda:
Siapa saja yang menyeret pakaiannya karena sombong, Allah tidak akan melihat dia pada Hari Kiamat (HR al-Bukhari dan Muslim).
Sebagian ulama memahami bahwa isbâl (menjuntaikan pakaian hingga di bawah mata kaki) adalah haram secara mutlak bagi lelaki, baik tanpa sombong, apalagi dengan sombong. Adapun mayoritas ulama mazhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali juga Ibnu Taymiyah memandang bahwa yang haram hanyalah jika isbâl-nya disertai sikap dengan sombong. Alasannya karena hadis-hadis tentang isbâl lebih banyak yang muqayyad (terikat) dengan kesombongan. Dengan demikian hadis yang muthlaq itu dibawa ke makna terikat (muqayyad), yakni isbâl karena disertai dengan sifat sombong.
Hanya saja, tidak setiap perbedaan pendapat bisa ditoleransi. Perbedaan pendapat yang berasal dari hawa nafsu, kepentingan duniawi, serta pemelintiran nas dan kaidah ushul untuk dicocokkan dengan peradaban Barat, lebih tepat disebut penyimpangan daripada perbedaan/ikhtilaf, penyimpangan seperti ini wajib diwaspadai.
WalLâhu a’lam. [M. Taufik NT]
