
Haram Menelantarkan Harta
Nabi saw. telah melarang qîla wa qâla, banyak bertanya dan menelantarkan harta. (HR al-Bukhari no. 6473 dan 7292, Muslim no. 593, Ahmad no. 18192 dan ad-Darimi no. 2793).
Hadis ini diriwayatkan dari jalur al-Mughirah bin Syu’bah. Juga diriwayatkan dengan redaksi lainnya bahwa Rasul saw bersabda:
Sesungguhnya Allah tidak menyukai untuk kalian: qîla wa qâla, banyak bertanya dan menelantarkan harta (HR al-Bukhari no. 5975, Muslim no. 593, Ahmad no. 18179, an-Nasai di dalam Sunan al-Kubrâ no. 11784, Ibnu Khuzaimah no. 208 dan Ibnu Hibban no. 5555).
Di dalam hadis ini Allah dan Rasul saw. telah melarang tiga hal. Salah satunya adalah penelantaran harta (idhâ’atu al-mâl).
Abu al-Walid al-Baji (w. 474 H) di dalam Al-Muntaqâ Syarhu al-Muwaththa‘ menyatakan, terkait sabda Rasul saw. “wa idhâ’atu al-mâl” mungkin yang beliau maksudkan dengan menelantarkan harta adalah tidak menginvestasikan harta dan menjaganya. Mungkin juga yang beliau maksudkan adalah membelanjakan harta tidak pada arahnya yang dibenarkan berupa isyraf dan kemaksiatan. Malik berkata, “menelantarkan harta adalah Allah memberi kamu rezeki, lalu kamu membelanjakan dalam apa yang Allah haramkan atas dirimu.”
Abu Bakar ibnu Syaibah meriwayatkan dari Sa’id bin Jubair: ia ditanya oleh seorang laki-laki tentang penelantaran harta. Ia berkata, “Allah memberi kamu rezeki. Lalu kamu membelanjakan harta itu pada apa yang Allah haramkan atas dirimu.”
Abu Umar Ibnu Abdi al-Barr (w. 463 H) menjelaskan di dalam Al-Istidzkâr, “Adapun terkait idhâ’atu al-mâl, para ulama punya tiga pendapat: Pertama, harta yang dimaksudkan adalah budak, hewan tunggangan dan semua hewan yang dimiliki agar diperlakukan baik dan tidak ditelantarkan. Itu adalah pendapat as-Sariy bin Ismail dari asy-Sya’biy. Kedua, menelantarkan harta adalah membiarkan harta tersebut; tidak memperbaiki, tidak memperhatikan dan tidak mengembangkannya. Ketiga, idhâ’atu al-mâl adalah membelanjakan harta tidak dengan benar, berupa kebatilan, al-isrâf dan kemaksiatan. Ini adalah yang shawâb menurut orang yang punya agama dan akal.”
Abu al-Faraj Ibnu al-Jawzi (w. 597 H) di dalam Kasyfu al-Musykil min Hadîts ash-Shahîhayn menjelaskan, “Adapun idhâ‘ah al-mâl maka itu dari beberapa sisi, dan induknya empat sisi: Pertama, membiarkan harta tanpa dijaga sehingga hilang/rusak. Kedua, melenyapkan harta dengan membiarkan harta itu—jika berupa makanan—sampai rusak atau dibuang; atau jika sombong dari memakan yang kecil atau rela dengan ghabn atau membelanjakan dalam bangunan, pakaian dan makanan yang merupakan isrâf. Ketiga, membelanjakan harta dalam kemaksiatan. Ini penelantaran dari sisi makna. Keempat, menyerahkan hartanya sendiri kepada orang khianat atau harta anak yatim kepada anak yatim itu jika dia sudah tahu anak yatim itu men-tabdzîr harta tersebut.”
Menurut Imam an-Nawawi (w. 676 H) di dalam Syarhu Shahîh Muslim dan az-Zurqani (w. 1122 H) di dalam Syarhu az-Zurqânî ‘alâ Muwaththa` al-Îmâm Mâlik, “Penelantaran harta adalah membelanjakan harta itu pada yang bukan arahnya yang syar’i dan menjerumuskan harta tersebut ke kerusakan. Sebab larangan tersebut adalah bahwa itu merupakan ifsâd[un] (perusakan), sementara Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan dan karena jika hartanya terlantar maka dapat terjerumus ke apa yang ada di tangan orang.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Ashqalani (w. 852 H) menjelaskan di dalam Fathu al-Bârî, sabda Rasul “idhâ’atu al-mâl”, mayoritas membawa maknanya pada al-isrâf dalam pembelanjaan. Sebagian lainnya membatasi maknanya dengan pembelanjaan pada yang haram. Yang lebih kuat, idhâ’atu al-mâl adalah apa yang dibelanjakan pada selain arahnya yang diizinkan secara syar’i, baik diniyah atau duniawiyah. Rasul saw. melarang hal demikian karena Allah menjadikan harta sebagai penopang untuk kemaslahatan hamba dan dalam pemborosannya berarti meluputkan kemaslahatan itu, kadang pada orang yang menelantarkan dan kadang pada orang lain. Dikecualikan dari itu, banyaknya pembelanjaan pada arah kebaikan untuk meraih pahala akhirat selama tidak meluputkan hak ukhrawi yang lebih penting.”
Dari penjelasan para ulama itu dapat dipahami bahwa penelantaran harta (idâ’atu al-mâl) itu mencakup: Pertama, pembelanjaan harta dalam keharaman atau kemaksiatan. Ini disepakati tanpa ada perbedaan pendapat merupakan penelantaran harta. Kedua, tasharruf harta dengan tasharruf yang tidak syar’i atau tasharruf yang syar’i tetapi dapat mengantarkan pada sesuatu yang haram. Termasuk dalam hal ini, pembelanjaan harta untuk yang mubah hingga menghabiskan harta atau membuat pemiliknya menjadi terlantar atau membuat dia meminta-minta kepada orang. Ketiga, membiarkan harta, tidak memeliharanya atau menjaganya sehingga rusak atau lenyap. Hal itu menyebabkan dharar dalam hal harta terhadap pemiliknya. Ini haram karena menyebabkan dharar atas pemiliknya. Ketiga bentuk itu dilarang dan haram.
Adapun membelanjakan untuk mubah, kenikmatan, atau kemewahan maka itu tidak termasuk idhâ’atu al-mâl. Meski lebih utama tidak dilakukan. Begitu juga tidak mengembangkan dan tidak memproduktifkan harta dalam proyek atau bisnis, dan menyimpannya saja maka juga bukan idhâ’atu al-mâl, selama bukan termasuk aktivitas menimbun harta (kanzu al-mâl) yang diharamkan. Meski lebih baik dikembangkan atau dibisniskan, apalagi harta anak yatim, seperti yang diperintahkan oleh Rasul supaya tidak habis dimakan zakat.
Orang yang suka menelantarkan hartanya harus dilarang oleh negara (di-hijr), yakni dilarang melakukan tasharruf atas hartanya. Negara menunjuk washiy untuk mengelola harta orang itu demi kemaslahatannya, baik dari walinya atau orang lain.
Ibnu Baththal (w. 449 H) di dalam Syarhu Shahîh al-Bukhârî li Ibni Baththâl menyatakan, “Jumhur ulama mengatakan wajib melakukan hijr atas setiap orang yang menelantarkan hartanya, baik anak kecil atau orang dewasa. Ini diriwayatkan dari Ali, Ibnu Abbas, Ibnu az-Zubair, Aisyah ra. Ini adalah pendapat Malik, al-Awza’iy, Abu Yusuf, Muhammad, asy-Syafi’iy, Ahmad, Ishaq dan Abu Tsawr. Ada sekelompok ulama yang mengatakan tidak boleh melakukan hijr atas orang merdeka yang sudah balig. Ini adalah pendapat an-Nakha’iy dan Ibnu Sirin dan dikatakan oleh Abu Hanifah dan Zufar.”
Yang râjih (lebih kuat) adalah wajib di-hijr sebagaimana yang ditunjukkan oleh nas-nas yang ada.
WalLâh a’lam wa ahkam. [Yahya Abdurrahman]


