Analisis

Jalan Perjuangan Islam

Isu perubahan selalu dijadikan alat propaganda utama oleh partai dan politisi. Targetnya tentu dalam rangka meraih dukungan dari masyarakat. Pada Pemilu 2024 lalu, kubu 01 juga menggaungkan isu perubahan. Namun, akhirnya Pemilu mencapai antiklimaks setelah Mahkamah Konstitusi tetap memenangkan kubu 02 di tengah isu kecurangan yang dinilai terstruktur, sistematis dan massif.

Yang lebih tragis, para elit partai pendukung kubu 01 kini justru mulai merapat ke kubu 02. Padahal kubu 01 lantang mengusung tema perubahan yang banyak mendapat dukungan dari umat Islam. Fakta rezim yang selama ini dinilai mengidap islamophobia telah mendorong umat Islam untuk mendukung kubu 01. Bergabungnya kubu 01 ke kubu 02 itu sama saja mengokohkan tangan rezim saat ini. Tema perubahan kembali terbukti hanya sekadar jargon dalam Pemilu.

Sebelumnya, isu perubahan juga melanda negeri-negeri Muslim lainnya. Di antaranya yang fenomenal adalah Arab spring. Namun, peristiwa tersebut akhirnya bermuara pada hasil yang sama, yakni sekadar pergantian personal rezim. Kondisi sosial dan ekonomi masyarakatnya tetap tidak berubah, bahkan bisa dikatakan saat ini semakin terpuruk.

Berbagai realita tersebut menunjukkan bahwa isu perubahan selama ini memang hanya sebatas tagline. Tidak ada yang berubah, kecuali sekadar perubahan atau pergantian para personal pada masing-masing rezim. Karena itu menjadi sangat urgen, khususnya bagi umat Islam, untuk memahami isu perubahan ini. Tentu agar umat Islam tidak terus-menerus sekadar menjadi obyek propaganda perubahan.

 

Jalan Sempit Demokrasi

Masyarakat tentu menginginkan terwujudnya kepemimpinan dan kekuasaan yang baik. Sebabnya, kepemimpinan dan kekuasaan itulah yang akan menentukan nasib masyarakat nantinya. Tentu hal tersebut terkait dengan dua hal sekaligus, yakni terkait kualitas personal orang yang akan menjadi pemimpin serta kualitas sistem yang akan diterapkan. Berkaitan dengan ini ada sejumlah hal yang perlu menjadi perhatian.

Pertama: Secara fakta, kualitas sistem itu lebih signifikan pengaruhnya terhadap kehidupan masyarakat. Sebabnya, kualitas sistem yang buruk dapat memaksa personal pemimpin yang baik menjadi buruk. Tentu hal ini berlaku pula sebaliknya. Kualitas sistem itu sendiri sangat bergantung pada kualitas ideologi yang dianut. Karena itu banyak ilmuwan dalam kajian bukunya lebih memilih membahas ideologi suatu negara ketimbang membahas personal pemimpin negara tersebut.

Salah satunya buku “The Oxford Handbook of Political Ideologies” yang terbit pada tahun 2015. Buku tersebut disunting ilmuwan politik Michael Freeden, Lyman Tower Sargent dan Marc Stears. Kajian utamanya terkait bagaimana peran ideologi politik suatu negara yang berpengaruh pada nasib kehidupan masyarakat dunia. Bahkan menurut buku ini, berbagai konflik besar antarnegara pun sebenarnya lebih terkait persoalan ideologi ini ketimbang persoalan personal pemimpin negara tersebut.

Saat ini ideologi yang banyak dianut oleh berbagai negara termasuk Indonesia adalah kapitalisme. Padahal peradaban Barat yang berbasis pada ideologi kapitalisme tersebut kini justru diprediksi akan segera runtuh. Penyebab utama kegagalan kapitalisme karena bertentangan dengan fitrah dan akal sehat manusia. Ideologi ini memuja manusia sebagai pusat segalanya. Sistem kapitalisme melahirkan ekploitasi dan alienasi manusia yang mengarah pada mementingkan diri sendiri.

Buku The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for a Human Future at the New Frontier of Power yang ditulis oleh Shoshana Zuboff (2019) turut merekam kerusakan kapitalisme tersebut. Buku ini mengungkap berbagai fakta pengeksploitasian hak-hak individu rakyat oleh perusahaan-perusahaan kapitalis raksasa. Penguasa dan pengusaha berkolaborasi mengeruk keuntungan ekonomi untuk kepentingan mereka sendiri, bukan untuk rakyat.

Kedua: Secara fakta demokrasi sejatinya merupakan jalan sempit menuju perubahan, khususnya perubahan menuju sistem Islam. Demokrasi hanya membuka jalan lebar bagi semakin sekuler dan liberalnya suatu negara. Perubahan melalui Pemilu demokrasi hanya akan menghasilkan perubahan personal untuk menjalankan sistem kapitalisme sebagai ideologi negaranya.

Faktanya, yang berdaulat di dalam sistem demokrasi hanyalah para elit politik yang diklaim sebagai wakil rakyat. Akibatnya, kemakmuran dan kesejahteraan hanya dirasakan oleh segelintir elit tersebut. Mereka adalah elit penguasa, wakil rakyat, partai dan para pemilik modal. Mayoritas rakyat justru hidup dalam kemiskinan. Demikian pula dengan kesetaraan dan keadilan dalam hukum, yang selalu tajam ke bawah dan tumpul ke atas.

Bahkan politik demokrasi yang lahir dari sistem kapitalisme itu sejatinya merupakan alat penjajahan baru (neo-imperialisme) untuk menguasai negeri-negeri Muslim. Menarik apa yang diungkap William Blum (2013) pada bukunya, America’s Deadliest Export Democracy. Blum menyebut demokrasi merupakan alat dominasi Amerika Serikat beserta sekutunya terhadap seluruh dunia, termasuk Dunia Islam.

Melalui demokrasi, berbagai hukum dan undang-undang di negeri-negeri Muslim tidak lagi terikat pada ketentuan syariah. Hal itu menjadi jalan bagi Barat untuk mempengaruhi proses penetapan peraturan perundang-undangan demi kepentingan neo-imperialisme mereka. Karena itu demokrasi bukanlah jalan menuju tegaknya sistem Islam, melainkan jalan untuk melanggengkan kapitalisme.

 

Jalan Perubahan dalam Islam 

Ada 5 (lima) kunci penting sebagai faktor penentu tercapainya perubahan yang hakiki menuju pada tegaknya sistem Islam. Lima kunci tersebut adalah munculnya kesadaran umat pada realita yang buruk, kesadaran pada realita ideal yang ingin diwujudkan, kesadaran pada metode (thariiqah) perubahan yang shahih, adanya partai politik Islam ideologis yang teguh memperjuangkan perubahan tersebut, serta adanya dukungan dari ahlu an-nushrah.

 

(1)      Kesadaran pada realita yang buruk.

Umat Islam yang memiliki ghiirah melalukan perubahan tentu karena menyadari buruknya realita yang terjadi saat ini. Faktanya kondisi negeri-negeri Muslim hingga kini masih terpuruk di bawah hegemoni negara-negara penjajah. Baik penjajahan secara fisik melalui kekuatan militer maupun penjajahan secara ekonomi dan politik. Termasuk penjajahan brutal Zionis Yahudi terhadap warga Muslim Palestina saat ini.

Keterjajahan negeri-negeri Muslim tersebut tidak dapat dilepaskan dari peristiwa keruntuhan Khilafah Ustmaniyah pada tahun 1924. Pasca keruntuhan khilafah itulah Dunia Islam, yang sebelumnya membentang sangat luas, lalu menjadi tersekat-sekat dan terjajah. Kini negeri-negeri Islam terpecah-belah menjadi lebih dari 50 negara-bangsa (nation-state) yang lemah tidak berdaya. Jadi realita buruk di Dunia Islam saat ini adalah adanya penjajahan yang terus berlangsung sejak runtuhnya Khilafah Islamiyah.

 

(2)      Kesadaran pada realita ideal.

Kesadaran pada realita ideal yang ingin diwujudkan akan mendorong umat Islam untuk meraihnya. Agar tercapai realita ideal maka perubahan yang dilakukan haruslah mengarah pada pelenyapan akar krisis yang menyebabkan realita buruk itu terjadi. Itulah perubahan yang mampu melenyapkan hegemoni negara penjajah dan ideologi kapitalismenya di negeri-negeri Muslim.

Karena itu problematika utama (al-qadhiyah al-maashiriyah) umat Islam saat ini adalah menegakkan kembali Khilafah Islamiyah untuk menerapkan hukum syariah secara kaaffah. Tanpa Khilafah, umat Islam di seluruh dunia terjajah, terzalimi, terpuruk dan tertindas. Melalui Khilafah, umat Islam akan mampu mempersatukan potensinya menjadi satu kekuatan yang dahsyat. Kondisi seperti itulah yang akan menghapus segala bentuk kezaliman dan ketertindasan di bawah hegemoni negara penjajah saat ini.

 

(3)      Kesadaran pada thariqah yang shahih.

Perubahan yang dilakukan oleh umat Islam haruslah mengacu pada metode (thariiqah) yang shahih, yakni metode perubahan yang telah dicontohkan oleh Rasulullah saw. Dalam arah perjuangan Rasulullah saw. terdapat dua hal penting yang harus menjadi acuan arah perjuangan umat Islam saat ini. Pertama: Rasulullah saw. membina para kader dakwah yang disiapkan menjadi tulang punggung perubahan. Metode yang digunakan Rasulullah saw. untuk mengubah kondisi masyarakat jahiliah yang rusak adalah melalui dakwah. Aktivitas dakwah yang dilakukan beliau tersebut berupa aktivitas yang terorganisir secara rapi. Misalnya beliau tidak hanya mengajak mereka memeluk Islam dan mengajarkan al-Quran. Beliau juga menghimpun mereka dalam satu kelompok atau partai (kutlah) dakwah yang dibina dan dikontrol oleh beliau.

Kedua: Target perubahan yang dilakukan Rasulullah saw. adalah perubahan rezim dan sistem. Hal tersebut terlihat dengan jelas pada dakwah Rasulullah saw. yang tidak sekadar mengajak orang kafir memeluk agama Islam. Dakwah beliau juga diarahkan untuk mewujudkan masyarakat Islam, yakni dengan mengganti sistem jahiliah dengan sistem Islam. Terbukti pasca hijrah, Rasulullah saw.  dan para sahabat mendirikan masyarakat Islam dalam institusi politik Daulah Islamiyah di Madinah.

Melalui institusi Daulah Islamiyah itulah Rasulullah saw. sebagai kepala negara mampu menerapkan hukum-hukum Islam di tengah-tengah masyarakatnya. Seperti itulah semestinya umat Islam melakukan perubahan. Tidak lain perubahan yang diarahkan pada terbangunnya institusi politik Daulah Khilafah Islamiyah. Melalui institusi Khilafah itulah akan terwujud kembali masyarakat Islam yang di dalamnya diterapkan hukum-humkum Islam (syariah) secara kaaffah.

 

(4)      Adanya Partai Politik Islam.

Perjuangan mewujudkan kembali Khilafah tentu penuh dengan rintangan dan tantangan. Pasalnya negara-negara penjajah bersama para agennya akan berusaha menghalangi perjuangan ini. Karena itu memperjuangkan perubahan tersebut harus dilakukan oleh umat Islam secara berjamaah dan terorganisir. Ini sebagaimana dulu telah dilakukan oleh Rasulullah saw. bersama para Sahabat. Aktivitas partai/kelompok tersebut juga harus bersifat politis karena memperjuangkan tegaknya Khilafah itu merupakan aktivitas politik.

Aktivitas politik tersebut di antaranya adalah menyerang pemikiran-pemikiran kufur yang ada di tengah-tengah masyarakat (shira’ al-fikr) dan menyingkap makar yang membahayakan umat (kasyf al-khuthath). Partai ini juga harus melakukan al-kifaah as-siyaasi, yaitu melakukan perjuangan politik untuk melawan penjajahan baik dalam bidang ekonomi, sosial, politik, militer, budaya, dan sebagainya.

 

(5)      Meraih dukungan ahlu an-nushrah.

Setelah partai politik dan kaderisasinya berhasil serta mendapat dukungan masyarakat untuk menegakkan negara yang menjalankan syariah Islam secara kaaffah, maka legitimasi penguasa yang ada menjadi rapuh. Pada saat itulah diperlukan adanya dukungan dari para ahlu an-nushrah untuk terjadinya penyerahan kekuasaan (istilaam al-hukmi).

Rasulullah saw. telah melakukan aktivitas mencari dukungan dari para ahlu an-nushrah selama tiga tahun. Beliau pergi dari satu kabilah yang kuat ke kabilah kuat lainnya, mengajak mereka untuk membantu beliau meraih kekuasaan serta mengimplementasikan Islam. Secara keseluruhan beliau mengunjungi lebih dari 40 kabilah. Di antaranya adalah kabilah Kindah, Hanifah, Bani ‘Amir bin Sha’sha’ah, Kalb, Bakar bin Wail, Hamdan, dan lain-lain.

Rasulullah saw. mengajak mereka untuk beriman dan memberikan nushrah kepada beliau dalam meraih kekuasaan untuk tegaknya agama Allah. Saat ini, mereka yang masuk ke dalam ahlu an-nushrah adalah setiap pemilik kekuatan termasuk militer. Dengan adanya dukungan ahlu an-nushrah, penyerahan kekuasaan akan terjadi dengan damai. Seperti itulah peristiwa yang dialami oleh Rasulullah saw. saat menegakkan Daulah Islamiyah di Madinah.

 

Penutup

Berdasarkan pemaparan fakta-fakta di atas dapat disimpulkan bahwa demokrasi merupakan jalan perjuangan yang sempit bagi partai Islam dan kaum Muslim. Sebaliknya, jalan perjuangan Islam terbentang luas dan berpeluang besar untuk kemenangan Islam dengan meneladani thariqah perjuangan Rasulullah saw.

Arah perjuangan umat Islam saat ini harus diarahkan untuk melenyapkan hegemoni negara penjajah dan ideologi kapitalismenya di negeri-negeri Muslim. Caranya dengan menegakkan kembali Khilafah Rasyidah untuk menerapkan hukum syariah secara kaaffah. Hanya melalui hal itulah umat Islam akan mampu melakukan perubahan hakiki, yakni melepaskan diri dari jeratan ideologi kapitalisme yang menyengsarakan itu.

Tanpa Khilafah, terbukti hingga saat ini kondisi umat Islam di seluruh dunia terjajah, terdzalimi, terpuruk dan tertindas. Melalui Khilafah umat Islam akan bisa dipersatukan dan memperoleh kemuliaannya kembali. Khilafah sekaligus akan menghapus segala bentuk kezaliman dan ketertindasan dibawah hegemoni negara penjajah.

Berbagai potensi SDM dan SDA yang dimiliki umat Islam, baik secara kuantitas maupun kualitas, ditambah dengan kekuatan i’tiqadi akan semakin memperkokoh perjuangan umat untuk segera menegakkan kembali negara Khilafah Rasyidah tersebut. Inilah negara yang akan mengatur dunia berdasarkan hukum syariah yang penuh rahmat.

Karena itu perjuangan untuk menegakkan syariah secara kaaffah dalam naungan Khilafah Rasyidah itu harus dapat pula dibaca sebagai perjuangan mewujudkan perubahan demi mencapai kesejahteraan hakiki bagi masyarakat dunia, sekaligus mengakhiri berbagai kesengsaraan yang diakibatkan oleh tatanan kapitalisme global.

WalLaahu ta’ala a’lam bi ash-shawaab. [Dr. Muhammad K. Sadik]

 

Referensi:

Zuboff, Shoshana. (2019). The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for a Human Future at the New Frontier of Power. New York, PublicAffairs.

Freeden, M., Sargent, L.T., dan Stears, M. (2015). The Oxford Handbook of Political Ideologies. Oxford University Press

Blum, William. (2013). America’s Deadliest Export: Democracy, the Truth About US Foreign Policy, and Everything Else. Zed Books, Publishers.

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

1 × two =

Back to top button