Jalan Pahit Demokrasi
Ketegangan di pengadilan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait gugatan kubu pasangan capres-cawapres Anies-Muhaimin berakhir sudah. Seperti sudah bisa ditebak publik, MK menolak semua gugatan kubu 01 dan 03 tentang kecurangan Pilpres 2024. Secara kolektif kolegial lima hakim sepakat menolak semua gugatan. Tiga hakim lagi nyatakan dissenting opinion.
MK menyatakan permohonan pemohon “tidak beralasan menurut hukum seluruhnya”. Dalil-dalil permohonan yang diajukan itu antara lain soal ketidaknetralan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan DKPP. Kemudian dalil lainnya terkait tuduhan adanya abuse of power yang dilakukan Presiden Joko Widodo dalam menggunakan APBN dalam bentuk penyaluran dana bantuan sosial (bansos) yang ditujukan untuk memengaruhi Pemilu/Pilpres. Termasuk dalil soal penyalahgunanan kekuasaan yang dilakukan pemerintah pusat, pemda, dan pemerintahan desa dalam bentuk dukungan dengan tujuan memenangkan pasangan calon presiden-calon wakil presiden nomor urut 2, Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka. Bahkan MK juga menolak tudingan nepotisme yang dilakukan Presiden untuk memenangkan paslon nomor urut 02 dalam satu putaran. Menurut MK tuduhan itu tidak beralasan menurut hukum.
Padahal sejak sebelum Pemilu 2024 berlangsung, banyak kalangan sudah berteriak bahwa Pemilu kali ini sarat persoalan, kalaulah tidak dikatakan kecurangan. Dengan menonton film Dirty Vote saja khalayak bisa menilai suramnya keberlangsungan Pemilu. Rezim menggunakan berbagai celah hukum untuk bisa meraih keuntungan terhadap calon yang mereka dukung. Sikap cawe-cawe yang disuarakan Presiden Jokowi saja sebenarnya sudah bertabrakan dengan konstitusi. Namun, lagi-lagi semua itu diabaikan dan dianggap bukan sebuah pelanggaran.
Sekurang-kurangnya ada dua hal yang membuat siapa saja sulit untuk menuntut keadilan dan meminta sanksi hukum bagi para pelanggar aturan tersebut. Pertama: Adanya celah hukum dan konstitusi yang bisa dimanfaatkan rezim untuk meraup keuntungan politik. Misalnya, kejanggalan sikap MK meloloskan Gibran sebagai cawapres hanya diganjar pemberhentian Anwar Usman sebagai Ketua MK, tetapi bukan dengan diskualifikasi peserta Pemilu. Begitu pula keputusan rezim terhadap kenaikan dana perpanjangan masa jabatan kepala desa. Ini adalah celah yang menguntungkan bagi paslon tertentu. Demikian pula kasus bansos, dsb. Semua dengan licin dimanfaatkan untuk keuntungan pihak tertentu dalam Pemilu.
Kedua: Sikap Pemerintah dan para pejabat negara yang nyaris seperti tim sukses paslon capres-cawapres Prabowo-Gibran. Ini menjadikan Pemilu tidak berimbang dan sulit berjalan dengan adil. Siapa yang bisa melawan mesin politik bernama negara sebagai sebuah suprastruktrur politik yang bisa menggerakan birokrasi untuk kepentingan mereka?
Sementara itu, independensi dan netralitas KPU dan Bawaslu yang ditunjuk oleh negara untuk menyelenggarakan dan mengawasi pemilu dengan jujur dan adil, justru mengundang tanda tanya dari publik. Lengkap sudah kerumitan pesta demokrasi kemarin.
Nirideologi dan Melawan Islam
Kekalahan Kubu 01 dalam sidang MK ibarat belati guilotine yang menebas harapan banyak kelompok Islam yang bercita-cita melakukan perubahan lewat jalur demokrasi. Dua kali perjuangan melalui jalan demokrasi, dua kali pula dikandaskan dengan cara-cara yang malah tidak demokratis, namun konstitusional.
Anehnya, sampai sekarang terjun dalam kancah konstetasi demokrasi masih dianggap sebagai satu-satunya jalan perjuangan terbaik. Para pengusung demokrasi itu sendiri seperti mengabaikan sejumlah hal yang justru krusial. Bagian-bagian krusial itu justru menentukan mengapa demokrasi tidak kompatibel dengan perjuangan Islam.
Banyak pihak menilai Pemilu dalam sistem demokrasi hanya mekanisme perhitungan suara. Suara mayoritas adalah pemenang. Bahkan ada pandangan winner takes it all. Kalau Anda sudah menang maka Anda berhak menjalankan pemerintahan menurut ideologi dan ajaran Anda.
Faktanya, demokrasi tidak simpel seperti teori di atas. Dalam sistem multipartai seperti di Indonesia dan berlaku mekanisme presidential threshold, partai-partai harus untuk berkoalisi sebagai strategi pemenangan Pemilu. Terciptalah koalisi partai Islam dengan partai nasionalis sekuler.
Pada bagian inilah partai-partai Islam sering harus mengkompromikan ide dan gagasan perjuangan mereka dengan mitra koalisinya agar dapat berjalan beriringan dalam kontestasi Pemilu. Di sinilah titik degradasi ideologi Islam oleh parpol. Tentu demi menjaga kohesi koalisi yang dibangun walaupun harus mengorbankan ideologi.
Kondisi itu mencerminkan perjuangan di jalan demokrasi menghancurkan idealisme dan konsistensi perjuangan menjadi pragmatis. Parpol dan elit politisi Muslim mempertimbangkan keuntungan politik demi target perolehan suara dan kemenangan dalam Pemilu, dengan melihat keuntungan-keuntungan strategis dan praktis. Misalnya, berkoalisi dengan parpol yang punya basis massa besar sekalipun jejak rekamnya pernah memusuhi Islam dan kaum Muslim, atau dengan parpol yang bermasalah karena banyak kadernya terjerat korupsi, dsb.
Pragmatisme politik yang diperagakan dalam Pemilu menjadi petunjuk bahwa ideologi tidak lagi menjadi asas dan panduan dalam perjuangan. Hal yang menjadi prioritas dalam kontestasi Pemilu dalam sistem demokrasi adalah kemenangan. Bahkan ada kesan demi kemenangan bisa melegalkan segala cara, termasuk mendegradasi ideologi Islam.
Karena itu dalam Pemilu hampir tidak ada seruan menuju kehidupan Islam atau penegakan syariah Islam. Antara parpol Islam dengan parpol sekuler nyaris tak ada perbedaan dalam jejak langkah perjuangan, selain mungkin ritual keislaman semata. Keduanya menyerukan perbaikan parsial dalam sistem yang hari ini diterapkan. Padahal sistem itu telah rusak dari akar hingga ke daunnya.
Selain itu demokrasi sebenarnya terbukti kontra terhadap politik Islam. Kaum Muslim sudah berkali-kali mengalami kandasnya perjuangan di kancah demokrasi. FIS di Aljazair sudah mengantongi kemenangan mutlak dalam Pemilu pada tahun 1991. Meraih 54% suara dan mendapat 188 kursi di Parlemen atau menguasai 81% kursi. Suatu pencapaian yang fantastis! Pada Pemilu putaran kedua, FIS dinyatakan menang telak. Namun Prancis, negara yang pernah menjajah Aljazair, tidak menghendaki kemenangan FIS. Prancis mendorong militer Aljazair untuk turun tangan membatalkan kemenangan ini sekaligus memberangus para petinggi FIS, para pengikutnya dan siapa saja yang membela mereka. Krisis politik berdarah pun terjadi beberapa tahun akibat tindakan represif militer. FIS dibubarkan dan para pemimpinnya beserta sejumlah pengikutnya dijebloskan ke penjara.
Tahun 2011 calon presiden dari Ikhwanul Muslimin, Mohammed Mursi, dinyatakan sebagai pemenang dalam pemilihan presiden Mesir tahap kedua. Komisi Pemilihan Umum Mesir menyatakan Mursi meraih 51,73% suara, mengalahkan mantan perdana menteri Ahmed Shafiq. Mursi naik ke tampuk kepresidenan Mesir.
Namun, kekuasaannya hanya berjalan dua tahun karena selanjutnya militer Mesir di bawah komando Jenderal Abdul Fatah El-Sisi membubarkan pemerintahannya. Berbagai tuduhan dialamatkan pada Mursi, termasuk tudingannya sebagai mata-mata. Militer menangkap Mursi dan menjebloskan dirinya ke penjara. Mursi mengalami berbagai siksaan sampai akhirnya pingsan di pengadilan dan meninggal pada 17 Juni 2019.
Dibawah Kendali
Benarkah demokrasi membuka kesempatan yang adil untuk Islam tampil sebagai pemenang secara 100 persen? Orang sering merujuk pada kemenangan Erdogan di Turki sebagai contoh bagus korelasi Islam dan Pemilu yang demokratis. Padahal kemenangan Erdogan dalam pemilihan di Turki tetap berada dalam koridor sekulerisme dengan militer sebagai penjaganya. Sekulerisme di Turki masih bisa toleran terhadap sejumlah ajaran Islam seperti jilbab, ibadah mahdhah. Namun, militer akan bergerak memberangus kelompok Islam yang mencoba mencabut sekulerisme. Sejauh ini Erdogan tidak pernah menampakkan perlawanan terbuka dan nyata terhadap sekulerisme dan liberalisme, juga mengancam kepentingan Amerika Serikat di negerinya. Wajar bila masih diberi ruang gerak luas.
Setiap sistem politik akan melindungi dirinya dari berbagai ancaman yang dapat membunuh karakternya. Begitupula sistem demokrasi dalam ideologi kapitalisme. Ia akan mematikan paham dan kelompok yang menentangnya. Secara ajaran, demokrasi akan mewaspadai aktivitas politik yang menentang prinsip liberalisme (al-hurriyah) yang berada dalam ekosistemnya. Demokrasi akan mematikan kalangan anti LGBT, penentang kebebasan beragama dan kebebasan berpendapat, juga yang melawan kebebasan ekonomi.
Terutama dalam kebebasan ekonomi, ada kekuatan para pemilik modal yang bisa mengendalikan penguasa. Lahirnya UU Cipta Kerja, UU Minerba, ditengarai demi kepentingan bisnis para pengusaha besar.
Di AS, Joe Biden selaku Presiden AS gagal mengeluarkan UU yang membatasi dengan ketat kepemilikan senjata karena kalah suara di Kongres. Para penentangnya adalah mereka yang mewakili pengusaha senjata api, pemilik lapangan tembak dan komunitas pecinta senjata api.
Masih di Amerika Serikat, para pendemo pro Palestina dihadang aparat kepolisian yang bertindak represif dengan menangkap dan memukuli mereka. Bahkan para mahasiswa yang berdemo di dalam kampus juga diancam oleh pihak kampus dengan berbagai sanksi. Mengapa AS yang disebut negara kampiun demokrasi justru melawan kebebasan berbicara yang sebenarnya bagian dari demokrasi? Itu terjadi karena demokrasi berjalan di bawah kendali nilai dan kelompok tertentu. Dalam kasus aksi mahasiswa di AS, pemerintahnya sudah bertekuk lutut di bawah lobi kelompok-kelompok Yahudi seperti AIPAC (American Israel Public Affairs Committee). Mereka menggelontorkan dana besar-besaran untuk membeli para pejabat AS dan anggota-anggota Kongres.
Hal yang sama juga terjadi di Indonesia. Ada kelompok oligarki yang mengendalikan jalannya demokrasi. Mereka mendapatkan keuntungan besar berupa kekuasaan dan kekayaan. Karena itu demokrasi boleh berlangsung sampai pada batas tidak bisa menyentuh posisi mereka. Bahkan jangan sampai mengurangi keuntungan dan kekuasaan mereka.
Jejaring oligarki beredar di parpol, pejabat, elit politik. Di AS, baik Partai Republik maupun Partai Demokrat sebenarnya sama saja. Keduanya tidak akan menjauh dari poros uang dan kekuasaan. Mereka didukung dan mendekati para pemilik modal agar bisa memenangkan kontesasi Pemilu. Para pemilik perusahaan asuransi raksasa, pemilik perusahaan-perusahaan senjata, pemilik perusahaan tambang, dll, menanamkan uang dan pengaruh mereka untuk tetap mempengaruhi bisnis dan politik di Gedung Putih. Siapapun yang menang – Demokrat atau Republik – tetap kaum kapitalis ini yang berkuasa. Merekalah shadow government yang mempengaruhi setiap keputusan para pemimpin di negara-negara demokrasi.
Demokrasi: Boros!
Berjayanya kaum kapitalis dalam sistem demokrasi disebabkan munculnya mekanisme alami simbiosis mutalisme antara pengusaha dan parpol serta penguasa. Parpol dan penguasa membutuhkan dana besar untuk menang dalam Pemilu dan kaum kapitalis memilikinya. Muhaimin Iskandar pernah mengatakan bahwa besaran dana yang dibutuhkan untuk maju ke DPR RI sekitar 20-40 miliar rupiah. Berapa triliun yang dibutuhkan parpol dan capres untuk terjun ke Pemilu? Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil dua tahun lalu menyatakan ia pernah mendengar untuk maju ke Pilpres butuh dana hingga Rp 8 triliun!
Besaran uang itu tidak mungkin didapat mandiri. Maka dari itu ada UU yang mengatur sumbangan politik baik dalam Pilkada, Pileg maupun Pilpres. Namun, UU itu tidak bisa mengontrol sumbangan ilegal untuk kepentingan Pemilu. Dana-dana ilegal itu ada, tetapi tak bisa dibuktikan. Disinilah muncul simbiosis antara parpol, elit politik dan para pemilik modal. Kolaborasi mereka melahirkan tiran bernama oligarki.
Ketika Pemilu usai, bukan rakyat yang berdaulat, tetapi para penguasa dan pengusaha. Suara para pebisnis sebagai pemberi modal berada di atas aspirasi rakyat. Tak ada kedaulatan milik rakyat, kecuali di dalam text book politik demokrasi. Apakah kebijakan mobil listrik itu kehendak rakyat? Apakah hilirisasi pertambangan aspirasi publik? Apakah pemutihan jutaan hektar lahan sawit ilegal itu permintaan rakyat? Apakah rakyat yang merengek-rengek pada Pemerintah dan DPR untuk mengegolkan UU BPJS?
Demokrasi tak akan pernah melahirkan perubahan yang diinginkan rakyat, apalagi perubahan hakiki sampai ke akar persoalan suatu bangsa. Ia hanya memangkas pucuk-pucuk persoalan untuk digantikan oleh pucuk baru dengan ideologi yang sama.
Inilah lingkaran setan demokrasi. Ia berjalan terus demikian sepanjang Pemilu. Umat kebingungan dan terus terseret ke dalamnya karena para bujuk rayu para politisi untuk menyumbangkan suaranya, baik yang berniat buruk maupun mereka yang punya niat tulus melakukan perbaikan. Umat tak pernah menyadari kalau mereka hanya dibutuhkan suaranya dan takkan pernah bisa menentukan sendiri perubahan hidup. Semua telah didesain oleh kaum oligarki melalui mekanisme demokrasi. Sebuah sistem politik yang membatasi ruang gerak rakyat dan perjuangan Islam.
WalLaahu a’lam. [Iwan Januar]