Muhasabah

Akar Masalah Palestina

Palestina terus digempur.  Zionis Yahudi tak berhenti menghancur-kan negeri yang diberkahi tersebut.  Palestina, khususnya Gaza, hancur.  Lebih dari 35 ribu nyawa kaum Muslim di sana syahid.

Akhir April 2024, para mahasiswa di berbagai perguruan tinggi di Amerika berdemonstrasi membela Palestina.  Awal Mei 2024, di dalam negeri, 172 perguruan tinggi Muhammadiyah melakukan hal serupa.  Gema Pembebasan turun ke jalan.  Namun, komponen-komponen lain belum terlihat nyata.

“Kadang kita hampir putus asa, kok persoalan tidak selesai-selesai,” kata seorang tokoh dalam sebuah pertemuan yang saya hadiri di Bogor.

“Yang penting bagi kita sekarang adalah doa. Berbicara dan demonstrasi tidak membuahkan hasil. Berbicara dan demonstrasi dari dulu tetap begini-begini saja.  Doalah yang saat ini diperlukan,” tambahnya.

Saya sampaikan saat itu, “Doa sangatlah penting.  Namun, kadang-kadang kita perlu merasa malu oleh sikap kita. Saudara-saudara kita di Palestina, mereka digempur setiap saat. Gedung-gedung mereka dirobohkan. Rumah mereka hancur-luluh berantakan. Mereka kehilangan anak, ayah, ibu, keluarga dan harta.  Masa depan mereka belum terbayang.  Namun, mereka tidak mengeluh. Mereka tidak putus asa.”

Saya segera menambahkan, “Sementara kita baru bicara dan demonstrasi saja sudah merasa putus asa. Padahal hanya sesekali.  Mengeluh.  Merasa lelah.  Merasa sudah berjuang habis-habisan.  Padahal tak setetes darah pun tertumpah dari tubuh kita.  Tak satu pun genteng rumah kita yang hancur.  Apa yang akan kita katakan di hadapan Allah SWT jika berbicara dan menyampaikan penentangan terhadap penjajahan saja tidak mau?”

Saya tambahkan lagi, “Upaya dan berjuang itu tugas kita, sementara hasilnya adalah qadhaa’ dari Allah SWT.  Jadi, yang harus kita lakukan adalah upaya, berjuang.  Bagi kita yang ada di sini, di antara tugas kita adalah berbicara.”

“Jangan sampai kita diam.  Termakan oleh propaganda pihak tertentu,” ujar Pak Pendi.

Ya, betul.  Ada yang menyuarakan bahwa masalah Palestina adalah masalah bangsa Palestina. Bukan masalah umat Islam yang ada di wilayah lain.  Ada yang menyatakan bahwa masalah Palestina adalah masalah kemanusia-an. Tidak ada hubungannya dengan agama (Islam). Bahkan disebutkan bahwa masalah Palestina adalah masalah bangsa yang terusir, yakni Yahudi, yang harus dikembalikan ke tempat asalnya. Ujungnya, persoalan disempitkan menjadi masalah Palestina sebagai masalah pembagian wilayah kekuasaan bagi dua belah pihak yang bersengketa, yakni Yahudi dan Palestina.  Semua ini, tentu akan berakibat munculnya ketidakpedulian terhadap persoalan Palestina pada diri umat Islam yang termakan propaganda seperti itu. Lantas apa akar persoalannya?

Coba kita tengok sejarah sejenak.  Theodor Herzl, Bapak Zionis Internasional, menggagas pendirian negara Yahudi. Alasannya, pada Peristiwa Dreyfus pada tahun 1894, kaum Yahudi di wilayah Kekaisaran Rusia dan sebagian Eropa Timur mengalami banyak penindasan.  Agar terlepas dari penindasan, menurut dia, mereka perlu punya negara sendiri.  Ditetapkanlah wilayahnya di Palestina.  Oleh karena Palestina saat itu berada di bawah kepemimpinan Khilafah Utsmaniyah, dia pun menemui sang Khalifah, Sultan Abdul Hamid II.  Dia datang meminta kepada Khalifah. Untuk itu dia sudah menyiapkan uang sogok sebesar 150 juta poundsterling dalam bentuk emas khusus untuk Sultan; membayar semua utang Khilafah Ustmani sebesar 33 juta poundsterling; membangun kapal induk dengan biaya 120 juta frank; memberikan pinjaman 5 juta poundsterling tanpa bunga; dan membangun Universitas Usmaniyah di Palestina.  Sang Khalifah menolak mentah-mentah.  “Aku tidak akan melepaskan walaupun segenggam tanah ini (Palestina) karena ia bukan milikku. Tanah itu adalah hak umat Islam.  Umat Islam telah berjihad demi kepentingan tanah ini dan mereka telah menyiraminya dengan darah mereka,” jawab Sultan Abdul Hamid II tegas.

Beliau segera menambahkan, “Jika Daulah Khilafah Utsmaniyah dimusnahkan pada suatu hari, maka mereka boleh mengambil Palestina tanpa membayar harganya.  Akan tetapi, sementara aku masih hidup, aku lebih rela menusukkan pedang ke tubuhku daripada melihat Tanah Palestina dikhianati dan dipisahkan dari Daulah Islamiyah.  Perpisahan adalah sesuatu yang tidak akan terjadi. Aku tidak akan memulai pemisahan tubuh kami selagi kami masih hidup”.

Untuk itu, mereka berupaya meruntuhkan Khilafah Utsmaniyah sebagai ‘pemilik’ Palestina.  Caranya?  Dengan menyeret Khilafah ke dalam Perang Dunia I (PD I).  Setelah kalah dalam PD I, terjadi Perjanjian Sykes-Picot antara Inggris dan Prancis (1916) yang memenangi perang.  Wilayah Utsmaniyah dipecah-pecah.  Palestina ditetapkan untuk dikuasai Inggris.  Pada 1917, Inggris menerbitkan Deklarasi Balfour yang menjanjikan pendirian negara Israel di Palestina.  Sejak itu  terjadi migrasi kaum Yahudi dari banyak wilayah.  Pada 29 November 1947 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengumumkan pendirian negara Israel di wilayah Palestina.  Pada 1948 negara tersebut dideklarasikan.  Sejak itulah penderitaan umat Islam Palestina terus berlanjut hingga sekarang.  Sejak itulah tanah umat Islam di Palestina diduduki.  Sejak itulah gempuran demi gempuran dan penghancuran demi penghancuran terjadi hingga genosida (pelenyapan umat Islam di Palestina) sebagaimana terjadi saat ini.  Francesca Albanese, pelapor khusus PBB mengatakan (26/3/2024) Israel telah melakukan sejumlah tindakan genosida di Gaza (Voaindonesia.com, 26/3/2024).

“Jadi, akar masalah di Palestina adalah musykilah-wujuud, yakni keberadaan zionis Yahudi di negeri yang diberkahi itu.  Bukan musykilah-huduud (persoalan perbatasan),” tegas saya.

“Kalau begitu, solusinya adalah mengenyahkan zionis itu dari Bumi Palestina.  Bukan dibuat dua negara, two state solution,” ujar Pak Pendi.

“Kita perlu mendesak PBB,” tambahnya.

“Tidak mungkin.  Wong PBB yang mengumumkan pendiriannya, kok.  Bagaimana bisa mendesak mereka?” sergah Pak Usman.

“Kalau begitu, mestinya bagi tugas.  Penguasa negeri-negeri Muslim melakukan dengan tangan.  Caranya, mengirimkan para tentara ke sana. Kita-kita, umat Islam, tugasnya bicara dan demonstrasi menuntut para penguasa itu mengirimkan para tentaranya untuk jihad mengenyahkan zionis Yahudi,” simpul Kang Jajat.

“Yang tidak sanggup, minimal dengan doa.  Tapi, itu selemah-lemah iman,” tambahnya.

“Para penguasa Muslim kayaknya tidak mau begitu tuh,” ungkap Pak Pendi.

“Bila demikian berarti penguasa seperti itu harus diganti.  Lalu tegakkan hukum Islam. Satukan negeri-negeri Muslim.  Berikutnya, jihad melawan zionis Yahudi,” tegas Kang Jajat.

WalLaahu a’lam. [M. Rahmat Kurnia]

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

19 + 14 =

Back to top button