All Eyes On Rafah
Palestina telah benar-benar mendapat perhatian dunia. Hampir semua mata saat ini tertuju pada Rafah. Kota kecil di sebelah utara Gaza yang terkepung. Kota dengan luas Banda Aceh ini dihuni lebih dari 1,5 juta penduduk. Di antaranya adalah pengungsi. Kota ini bisa disebut sebagai perlindungan terujung penduduk Gaza yang terus-menerus diserang oleh entitas penjajah Yahudi. Saat ini, kota ini bersiap-siap menghadapi serangan brutal entitas penjajah Yahudi. Sementara itu, pintu Rafah menuju Mesir ditutup. Bukan hanya berarti menutup bantuan makanan dan obat-obatan, juga menutup pintu pengungsiaan, ke wilayah Mesir yang diharapkan membantu.
Rafah mewakili perhatian dunia terhadap apa yang terjadi saat ini di Palestina. Perhatian yang mengungkap banyak hal. Di Barat, masyarakatnya yang selama ini terbodohi dengan propaganda zionisme, mulai membuka mata mereka. Terjadi aksi-aksi besar berulang, yang mengecam entitas penjajah Yahudi, mengecam dukungan rezim negara-negara Barat. Bahkan di kampus-kampus besar Amerika dan Eropa terjadi demonstrasi besar. Tidak hanya diikuti oleh mahasiswa, tetapi dilindungi oleh para guru besar dan staf pengajar mereka. Mereka terus berhadapan dengan sikap represif aparat keamanan yang berupaya membubarkan aksi. Selain dipukuli, ditangkap, ada juga yang kerudungnya dibuka. Namun, aksi terus berjalan.
Mata dunia semakin terbuka. Serangan brutal membunuh lebih dari 30 ribu penduduk Gaza. Di antaranya banyak anak-anak dan para wanita. Fakta ini tidak bisa ditutup lagi oleh entitas penjajah Yahudi. Hancurnya rumah-rumah sakit, sekolah-sekolah dan penemuan kuburan massal semakin membuka mata, hati dan pikiran mereka, bahwa genosida memang benar-benar terjadi. Selama ini elit-elit politik Barat dengan dukungan lobi Yahudi yang kuat bisa memanipulasi fakta dan pemikiran. Kritik terhadap kekejaman entitas penjajah Yahudi dituduh anti-semit dan pro-Nazi. Penduduk Palestina yang melakukan perlawanan pun dituding teroris sehingga seolah berhak untuk dibunuh walaupun nyaris tanpa alasan. Dimunculkan isu radikalisme dan terorisme Islam. Seolah-oleh entitas Yahudi adalah korban dari keganasan umat Islam.
Namun, semua propaganda seperti ini lumpuh. Meskipun berupaya ditutup-tutupi oleh media mainstream yang dikendalikan lobi Yahudi, keberadaan sosial media dan jurnalisme warga tidak bisa menutupi fakta yang apa yang sebenarnya terjadi.
Kondisi di Palestina juga membuka banyak mata tentang kegagalan sistem kapitalisme internasional yang dikendalikan oleh Amerika Serikat dan sekutu Baratnya. Sistem yang berbangga diri sebagai puncak peradaban dunia dengan nilai HAM dan demokrasinya hancur total. Terbukti bagaimana Barat sendiri melanggarkan nilai-nilai yang mereka banggakan itu. Penjaga internasional yang dipuja-puja sebagai penjaga perdamaian seperti PBB dan Mahkamah Internasional lumpuh. Akhirnya, kebusukan ideologi kapitalisme tidak bisa ditutup-tutupi lagi. Mulai banyak yang membicarakan perlunya tatanan dunia baru yang lebih adil dan melindungi manusia.
Di Dunia Islam, diamnya para penguasa kaum Muslim, terutama penguasa Arab, semakin membongkar pengkhianatan lama. Peran ini telah mereka jalankan dengan setia. Penguasa Arab menjadi “Iron Dome” yang paling kokoh dan terdekat yang melindungi eksistensi penjajah Yahudi. Mereka diam saat Gaza dibantai. Padahal para penguasa ini bisa melakukan satu tindakan yang logis dan gampang dicerna untuk menghentikan kekejaman Yahudi ini. Tentu dengan menggerakkan tentara-tentara mereka. Mereka bisa memerintahkan pesawat tempur mereka untuk menghancurkan pangkalan udara entitas Yahudi yang selama ini menjadi tempat pesawat jet tempur dan helikopter tempur diterbangkan untuk membunuhi kaum Muslim. Mereka pun mampu memerintahkan lebih dari 1 juta tentara gabungan Mesir, Saudi, Turki dan Pakistan, untuk bergerak membebaskan Palestina yang ditindas. Namun, itu tidak mereka lakukan. Mereka berputar-putar pada solusi abal-abal yang tidak pernah menyelesaikan masalah: solusi dua negara, berharap pada PBB dan Mahkamah internasional, atau bantuan kemanusiaan, dan jalan perdamaian.
Kondisi Palestina juga menunjukkan lemahnya umat Islam akibat disekat-sekat oleh sistem negara-bangsa warisan kolonial. Pasalnya, Barat telah mendesign negeri-negeri Islam menjadi negara-negara bangsa yang terkotak-kotak sehingga terpecah dan lemah. Negara-negara Arab lahir dari rahim kolonialisme. Lewat Perjanjian Sykes-Picot (Mei 1916). Negeri -negeri Islam, yang tadinya dikuasai oleh Kekhilafahan Ustmani, dibagi-bagi. Konvensi rahasia yang dibuat selama Perang Dunia I antara Inggris Raya dan Prancis, dengan persetujuan Kekaisaran Rusia, memotong-motong negeri Islam. Mereka pun saling berbagi sesama mereka. Suriah, Irak, Libanon dan Palestina menjadi berbagai wilayah yang dikuasai Prancis dan Inggris. Sistem negara-bangsa inilah yang menjadi penghambat persatuan kaum Muslim. Sistem negara-bangsa telah menjadi penjara yang membelenggu umat Islam untuk membantu saudaranya sendiri.
Kondisi di Palestina juga mengungkap semakin pentingnya solusi Khilafah ‘alaa Minhaaj an-Nubuwwah sebagai kekuatan politik global yang mepresentasikan umat Islam di level dunia. Sistem Khilafah yang menerapkan Islam inilah yang bisa muncul sebagai alternatif dari perdaban kapitalisme yang rakus, merusak, bahkan membunuh. Keberadaan Khilafah ‘alaa Minhaaaj an-Nubuwwah akan menunjukkan secara nyata bagaimana Islam bisa menata dunia yang damai dengan menjaga nilai-nilai kemanusiaan yang sejati berdasarkan perintah ilahi; melindungi dan mensejahterakan manusia.
Sistem Khilafah juga akan menyatukan negeri-negeri Islam sekaligus melebur sekat-sekat negara-bangsa. Khilafah akan menggerakan tentara-tentara umat Islam dan memobilisasi jihadi fi sabilillah membebaskan negeri Islam yang tertindas termasuk Palestina. Sistem Khilafah juga akan menghentikan segala bentuk internvensi negara-negara kafir penjajah yang menjadi sumber kekacauan di negeri-negeri Islam. Khilafah juga akan menyingkirkan keberadaan para penguasa negeri Islam, yang selama ini telah berkhianat, menjilat Barat untuk kepentingan perut dan nafsu mereka.
Semua kondisi ini, seperti yang dikatakan Al-‘Alim al-Jalil Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah, Amir Hizbut Tahrir, seharusnya mendorong orang-orang yang mukhlis dari kalangan para pemilik kekuatan (ahlul-quwwah) di dalam pasukan kaum Muslim untuk mendeklarasikan mobilisasi umum guna menunaikan kewajiban dari Allah dengan memerangi orang-orang Yahudi yang menduduki Palestina. Ini sebagaimana firman Allah SWT (yang artinya): Janganlah kalian berhati lemah dalam mengejar mereka (musuh kalian). Jika kalian menderita kesakitan, sungguh mereka pun menderita kesakitan, sebagaimana kalian derita, sedangkan kalian mengharap dari Allah apa yang tidak mereka harapkan (TQS an-Nisa’ [4]: 104).
AlLaahu Akbar! [Farid Wadjdi]