Catatan Dakwah

Dusta Zionis

“Negeri ini sebagai buah janji Tuhan. Adalah menggelikan apabila masih dipertanyakan keabsahan legitimasinya,” (Golda Meir)

++++

Kaum Zionis Yahudi selalu mengklaim bahwa mereka punya hak teologis dan historis atas wilayah Palestina. Selain Golda Meir, Manachem Begin—keduanya pernah menjadi PM Israel—juga berkata serupa. Katanya, “Negeri ini dijanjikan untuk kita dan kita punya hak atasnya.”

Lalu Moshe Dayan, di Harian The Jerusalem Post pada 10 Agustus 1967 mengatakan, “Jika Anda mempunyai Kitab Bible, dan ahli Bible, maka Anda juga memiliki hak atas tanah Bible—sebagai penentu kebenaran dan penguasa di Jerusalem, Hebron, Jericho, dan daerah-daerah sekitarnya.”

Menurut mereka, wilayah Palestina itu telah dijanjikan Tuhan kepada Nabi Ibrahim dan anak keturunannya untuk membangun negara di wilayah tersebut. Mereka mengklaim bahwa mereka adalah keturunan yang dimaksud. Janji itu, kata mereka, termaktub dalam Kitab Kejadian 15: 3-5, “Sungguh akan kami berikan tanah ini, dari sungai Mesir hingga sungai besar, yakni Sungai Eufrat.”

Atas dasar klaim teologis itu kemudian ditentukan batas wilayah negara Israel. Tokoh utama Zionisme politik, Theodore Herzl, menyebut wilayah Israel Raya membentang dari “Hulu Mesir sampai ke Eufrat”.

Pada tahun 1937, Ben Gurion dengan menggunakan Bible sebagai rujukan, menyebut Israel harus meliputi lima wilayah, yaitu Lebanon Selatan, Syiria Selatan, Transjordania, Palestina dan Sinai (Roger Garaudy, Israel dan Praktik-praktik Zionisme, 1988).

Klaim mereka itu jelas sangat lemah. Jika benar Palestina adalah tanah yang dijanjikan, mengapa isu ini baru muncul sekarang, tidak sejak dulu kala? Bahkan ketika gerakan politik zionis pertama kali pada masa Theodor Herzl, klaim ini juga tidak ada. Malah awalnya Theodor Herzl menetapkan beberapa wilayah Afrika, Amerika Utara, dan El-Arish di Sinai, Mesir, juga Mozambik dan Kongo sebagai tanah nasional mereka. Bukan Palestina. Para pembesar zionis lainnya, seperti Max Nordau, tidak menyebut Palestina. Pada tahun 1897 ia malah mengusulkan Argentina untuk Negara Yahudi. Tahun 1901 ia mengusulkan Siprus dan di Uganda tahun 1903.

Roger Garaudy tegas menyatakan bahwa isu “tanah yang dijanjikan” itu adalah mitos yang terus digaungkan kaum zionis. Yang sebenarnya terjadi adalah “tanah yang ditaklukkan” (the conquered land), bukan “tanah yang dijanjikan” (the promised land). Ia memberikan bukti-bukti konkret yang mendukung pernyataannya tersebut dengan mengacu pada literatur-literatur Yahudi dan Nasrani.

Buku 10 Myths About Israel karya Ilan Pappé, seorang sejarahwan Israel yang kritis terhadap narasi zionis, mengulas sepuluh mitos utama yang selama ini digunakan untuk membenarkan pendirian dan keberlangsungan negara Israel atas tanah Palestina. Buku ini membongkar narasi dusta yang telah membentuk opini publik dunia, terutama di Barat, mengenai Israel-Palestina.

Pertama: Mitos Palestina adalah tanah kosong. Narasi Zionis menyebutkan bahwa Palestina adalah “tanah tanpa bangsa untuk bangsa tanpa tanah”. Faktanya, menurut Pappé, Palestina sudah dihuni oleh masyarakat Arab dengan kehidupan sosial, budaya dan ekonomi yang aktif jauh sebelum kedatangan imigran Yahudi.

Dalam catatan sejarah, bangsa Yahudi bukanlah penduduk pertama di Palestina. Mereka juga tidak memerintah di sana selama masa pemerintahan bangsa-bangsa lain. Para ahli arkeologi modern secara umum sepakat bahwa bangsa Mesir dan bangsa Kanaan telah mendiami Palestina sejak masa-masa paling kuno yang dapat dicatat, sekitar 3000 SM hingga sekitar 1700 SM. Selanjutnya, datang para penguasa lain seperti bangsa Hyokos, Hittite, dan Filistin.

Setelah beberapa waktu berlalu, wilayah tersebut pun memiliki tiga bahasa yang digunakan untuk komunikasi keseharian mereka: bahasa Arab, Aramia (bahasa yang digunakan Nabi Isa), dan bahasa Kan’aniyah. Jadi jelaslah, orang-orang Arab telah lebih dulu tinggal di wilayah Palestina dibandingkan dengan nenek moyang bangsa Israel.

Kedua: Mitos orang Yahudi adalah korban utama dalam konflik. Lalu menonjolkan penderitaan Yahudi di Eropa sebagai pembenaran atas pendirian negara Israel. Penderitaan Yahudi, termasuk Holocaust, memang ada. Namun, itu tidak bisa dijadikan legitimasi atas kolonisasi dan pengusiran penduduk asli Palestina.

Ketiga: Mitos Zionisme bukan kolonialisme. Zionisme disebut sebagai gerakan pembebasan nasional. Jika klaim pembebasan benar, mengapa Yahudi itu harus datang membonceng tentara Inggris di tahun 1948, lalu dengan seenaknya membantai suatu bangsa, melumat sebuah negara berdaulat dan mengubah peta dunia? Mengapa pula rakyat Palestina harus diusir dan tinggal di kamp pengungsian? Bukankah dulu bangsa Yahudi diselamatkan oleh umat Islam pada masa Khilafah Turki Utsmani, saat pengusiran mereka dari Spanyol? Jelaslah, pendirian Israel tak lain adalah bentuk kolonialisme pemukim (settler colonialism), karena melibatkan migrasi sistematis, pengambilalihan tanah, dan pengusiran warga asli.

Keempat: Mitos Palestina menyerang Israel pada tahun 1948. Lalu digambarkan Israel sebagai pihak yang diserang oleh Arab. Faktanya, justru Israellah yang sejak awal melakukan pembersihan etnis secara sistematis sejak awal 1948, sebelum negara-negara Arab bergerak, melalui rencana rahasia bernama Plan Dalet.

Kelima: Mitos pengusiran warga Palestina adalah akibat perang, bukan hasil kebijakan. Itu semua digambarkan sebagai dampak sampingan konflik. Faktanya, eksodus besar-besaran 700.000 lebih warga Palestina ketika itu adalah hasil dari rencana sistematis untuk mengosongkan wilayah dari penduduk Arab.

Keenam: Mitos Israel adalah satu-satunya demokrasi di Timur Tengah. Israel sering disebut sebagai demokrasi model di kawasan itu. Faktanya, Israel hanya demokratis untuk warga Yahudi, sementara warga Palestina (baik di wilayah pendudukan maupun warga Arab Israel) justru mengalami diskriminasi sistematis.

Ketujuh: Mitos perang 1967 adalah perang pembelaan diri. Israel digambarkan hanya mempertahankan diri dari ancaman Arab. Faktanya, menurut Pappé, Israel telah merencanakan perluasan wilayah dan menggunakan ketegangan sebagai alasan untuk menyerang lebih dulu.

Kedelapan: Mitos kota Yerusalem selalu menjadi ibukota Yahudi. Faktanya, Yerusalem adalah kota suci bagi tiga agama besar (Yahudi, Kristen, Islam). Warga Arab Palestina juga memiliki sejarah panjang di kota tersebut.

Kesembilan: Mitos solusi dua negara adalah satu-satunya jalan damai. Karena itu banyak pihak internasional mendorong solusi dua negara. Faktanya, realitas di lapangan menunjukkan fragmentasi wilayah Palestina dan sistem apartheid yang dilembagakan, membuat Palestina sama sekali tidak bisa disebut sebagai negara. Juga, menyetujui solusi dua negara sama artinya melegitimasi penjajahan dan perampasan wilayah Palestina oleh zionis.

Kesepuluh: Mitos Israel adalah benteng melawan Islam radikal. Hal ini digunakan untuk membenarkan dukungan Barat terhadap Israel. Faktanya, semua itu tak lebih dari bentuk isla­mofobia yang menyesatkan. Pasalnya, mayoritas warga Palestina justru adalah korban dari penindasan dari kaum radikal zionis Yahudi.

++++

Melalui buku itu, Ilan Pappé mengajak publik untuk merevisi pemahamannya tentang sejarah dan realitas politik di Israel-Palestina, berdasarkan fakta yang sebenarnya, bukan mitos teologis, historis apalagi ideologis. Atas dasar itu, ia mendorong solusi yang adil, bukan berdasarkan penindasan dan pengusiran.

Namun, kita semua tahu, meski sudah sangat jelas kedustaan kaum zionis Yahudi, tak sedikit pun hal itu mengendorkan dukungan negara Barat, utamanya AS, juga negara-negara seperti Mesir dan Saudi yang notabene negeri Muslim, terhadap Israel. Ini membuktikan bahwa selain pentingnya menyebarkan pemahaman yang benar terhadap realitas di sana, juga harus ada tindakan kongkret untuk menghentikan penjajahan dan perampasan itu. Apa itu? Jihad! Inilah satu-satunya bahasa yang dikenali oleh zionis Yahudi—gerombolan kaum pendusta. [H.M. Ismail Yusanto]

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

16 − 6 =

Check Also
Close
Back to top button