
Pluralitas Yes! Pluralisme No!
Jika kelak di Akhirat, pertanyaan di atas diajukan kepada Tuhan, mungkin Dia hanya tersenyum simpul. Sambil menunjukkan surga-Nya yang mahaluas. Di sana ternyata telah menunggu banyak orang, antara lain: Jesus, Muhammad, Sahabat Umar, Ghandi, Luther, Abu Nawas, Romo Mangun, Bunda Teresa, Udin, Baharudin Lopa dan Munir!”
(Sumanto Al-Qurtuby, Lubang Hitam Agama, Rumah Kata, Yogyakarta, 2005, hlm. 45).
++++
Di atas adalah ungkapan dari salah satu tokoh penganjur pluralisme agama. Sedemikian yakinnya akan kebenaran paham pluralisme agama hingga ia seolah bisa memastikan bahwa semua orang, Muslim maupun kafir, pasti bakal masuk surga. Benarkah begitu? Bagaimana kita memandang paham plularisme agama, yang kini makin marak dikampanyekan di luar, juga di dalam negeri? Apa bedanya dengan pluralitas?
Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), plu·ral atau jamak, artinya lebih dari satu. Istilah lainnya, majemuk. Artinya, terdiri atas beberapa bagian yang merupakan kesatuan. Kemajemukan, pluralitas atau keragaman ras suku-bangsa-bahasa adalah sunatullah. Allah menyatakan dalam QS al-Hujurat ayat 13 bahwa manusia diciptakan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa untuk saling-mengenal. Itu semua merupakan bukti Kemahakuasaan Allah. Diingatkan pula bahwa kemuliaan manusia di hadapan Allah ditentukan oleh takwanya; bukan oleh warna kulit, suku, bangsa atau yang lainnya.
Allah SWT memang memberikan kebebasan kepada manusia untuk beriman atau tidak, sebagaimana disebut dalam QS al-Kahfi ayat 29 dan QS al-Insan ayat 3. Allah SWT juga tidak membolehkan adanya paksaan dalam memeluk Islam, sebagaimana disebut dalam QS al-Baqarah ayat 256 dan QS Yunus ayat 99. Dari sinilah lahir keragaman agama. Jadi, keragaman agama juga sebuah sunatullah.
Namun demikian, keragaman atau pluralitas agama tidaklah sama dengan pluralisme agama. Pluralitas agama bermakna pengakuan akan keberadaan (realitas) agama-agama, juga hak tiap individu untuk memeluk agama yang dia yakini dan beribadah sesuai dengan keyakinan agamanya itu. Namun, mengakui realitas keragaman (pluralitas) agama-agama bukan berarti membenarkan semua agama itu. Dengan kata lain, pengakuan akan realitas keragaman agama tidak sekaligus berarti pembenaran atas semua agama tersebut.
Ini berbeda dengan pluralisme. Pluralisme (agama) adalah paham yang menyamadudukkan semua agama; menganggap semua agama sama. Sama-sama benarnya. Yang membedakan hanyalah aspek luar atau kulit (eksoteris), sedangkan aspek esoteris (isi dalam)-nya sama. Ini seperti jeruji sepeda yang semuanya menuju ke pada pusat yang sama. “All paths lead to the same summit,” kata Seyyed Hosen Nasr, salah satu penganjur Pluralisme.
Jadi, agama-agama itu hanyalah, ‘Other Ways To The Same Truth’, kata John Hick penganjur yang lain.
Karena semua agama sama-sama menghantarkan pada kebenaran, maka menurut paham ini tidak boleh ada truth claim (klaim kebenaran). “Semua agama sama. Semuanya menuju jalan kebenaran. Jadi, Islam bukan yang paling benar,” kata Ulil Absar Abdalla dalam Majalah GATRA, edisi 21 Desember 2002.
Juga, tidak boleh ada salvation claim (klaim keselamatan) karena semua agama sama-sama menghantarkan pada keselamatan dan surga. Menurut mereka, berdasar QS al-Baqarah ayat 62, semua pemeluk agama nantinya bakal masuk surga. Demikian seperti yang diklaim oleh Sumanto di atas.
Sebagai sebuah sunatullah, Islam tentu bisa menerima pluralitas agama. Namun, tidak demikian dengan pluralisme agama. Sebabnya, paham pluralisme agama bertentangan 180 derajat dengan aqidah Islam. Menurut aqidah Islam, Islamlah agama yang benar. Selainnya salah. Hal ini jelas tersebut dalam QS Ali Imran ayat 19. Siapa saja yang mengambil agama selain Islam pasti akan tertolak. Demikian sebagaimana disebut dalam QS Ali Imran ayat 85. Mengomentari ayat ini, Imam Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya menyatakan bahwa siapa saja mencari jalan (hidup) selain apa yang telah Allah syariatkan (dalam agama-Nya) tidak akan diterima selama-lamanya.
Jadi jelas harus ada truth claim (klaim kebenaran). Juga harus ada salvation claim (klaim keselamatan). Artinya, Islam sajalah yang benar. Hanya Islam pula yang bisa menghantarkan kepada keselamatan di dunia dan akhirat, sebagaimana disebut dalam QS al-Bayyinah ayat 6 – 8. Selainnya tidak.
Paham yang mengatakan semua agama sama serta sama-sama akan menghantarkan pada keselamatan dan surga itu hanya berdasarkan pemikiran spekulatif. Tanpa landasan yang benar. Dasar yang disebut, yakni QS al-Baqarah ayat 62, tidaklah tepat. Ayat tersebut sama sekali tidak berbicara tentang kebenaran semua agama-agama dan keselamatan semua pemeluknya.
Menurut Imam Ibnu Katsir, setelah Allah mengutus Nabi Muhammad saw. sebagai nabi dan rasul terakhir bagi seluruh anak cucu Adam, maka wajib bagi mereka (Yahudi, Nasrani dan Shabiin) untuk membenarkan apa yang beliau bawa, menaati apa yang beliau perintahkan dan menjauhi apa yang beliau larang. Jika demikian keadaan mereka maka mereka disebut Mukmin. Jika mereka beramal shalih maka bagi mereka pahala dan surga.
Pendapat Imam Ibnu Katsir ini didasarkan pada hadis shahih riwayat Imam Muslim yang menyatakan, “Demi Tuhan yang menguasai jiwa Muhammad, tidak ada seorang pun baik Yahudi maupun Nasrani yang mendengar tentang diriku dari umat Islam ini, kemudian ia mati dan tidak mengimani ajaran yang aku bawa, kecuali ia akan menjadi penghuni neraka.” (HR Muslim).
Tambahan lagi, pada masa lalu, sebagaimana disebut oleh Ibnu Sa’d dalam Ath-Thabaqaat al-Kubraa dan Imam al-Bukhari dalam Shahiih al-Bukhaari, Nabi saw. mengirimkan surat-surat dakwah kepada orang-orang non-Muslim, antara lain Kaisar Heraklius, Raja Romawi, yang beragama Nasrani dan Kisra Persia yang beragama Majusi. Dalam surat itu Nabi saw. mengajak mereka untuk masuk Islam agar selamat. Jika semua agama sama benarnya dan sama-sama menghantarkan pada jalan keselamatan, mengapa Nabi saw. tidak membiarkan saja mereka tetap dalam agamanya masing-masing dan malah menyeru mereka agar masuk Islam?
Tentang keharaman pluralisme agama ditegaskan oleh MUI melalui Fatwa Nomor 7/Munas VII/MUI/11/2005. Dalam fatwa itu dikatakan bahwa pluralisme agama adalah: suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama sama; kebenaran setiap agama adalah relatif; setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar, sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga. Kemudian fatwa itu menyimpulkan: Pluralisme, Sekularisme dan Liberalisme agama adalah paham yang bertentangan dengan ajaran Islam. Umat Islam haram mengikuti paham-paham itu.
Bukan hanya MUI, ternyata otoritas tertinggi agama Katolik melalui Dekrit Vatikan tahun 2001, sebagaimana ditulis oleh Frans Magnis Suseno dalam buku Menjadi Saksi Kristus di Tengah Masyarakat Majemuk, juga menolak paham pluralisme agama. Di sana dikatakan, bahwa Yesus Kristus adalah satu-satunya pengantar keselamatan Ilahi dan tidak ada orang yang bisa ke Bapa selain melalui Yesus.
++++
Jelaslah, pluralisme agama ini paham yang sangat berbahaya. Implikasi berkembangnya paham ini di tengah masyarakat amatlah serius. Salah satu alasan dari tak sedikit umat Islam, termasuk tokohnya, menolak penerapan syariah di negeri ini didasarkan pada paham ini. Mereka mengatakan bahwa ini negeri plural, terdiri dari banyak agama. Karena itu, kata mereka, tak layak hukum satu agama, khususnya syariah Islam, mendominasi agama yang lain. Pasalnya, semua agama itu sama kedudukannya.
Padahal Islam adalah risalah yang Allah turunkan untuk semua manusia. Syariahnya pasti cocok untuk diterapkan di tengah masyarakat plural sekalipun. Dalam urusan yang terkait aqidah, Islam memberikan kebebasan mengatur hidup sesuai dengan agama masing-masing. Sebaliknya, dalam kehidupan masyarakat, Islam wajib diterapkan guna mengatur masalah ekonomi, politik, social, budaya dan lainnya. Islam wajib menggantikan sistem sekuler kapitalistik dan liberalistik yang telah juga terbukti menimbulkan banyak sekali kerusakan di segala bidang. Dengan itu akan tercipta tatanan yang baik sehingga terwujud keadilan, kesejahteraan, kedamaian dan ketenteraman. Itulah rahmatan lil ‘alamin yang dijanjikan Allah.
Alhasil, “Pluralitas Agama, Yes! Pluralisme Agama, No!” [H.M. Ismail Yusanto, M.M]