
Wahyudi al-Maroky: Politik Demokrasi Itu Melayani Oligharki
Pengantar:
Praktik politik demokrasi di negeri ini makin menunjukkan watak aslinya: bertentangan dengan daulat rakyat. Partai-partai politik dan elit-elitnya, makin pragmatis, juga makin tak peduli rakyat. Mereka berebut dan mempertahankan kekuasaan hanya demi kepentingan pribadi, keluarga dan partainya saja. Bahkan semata-mata demi kepentingan oligharki.““Mengapa semua ini bisa terjadi? Apa saja faktor pemicu pragmatisme dalam politik demokrasi saat ini? Apa pula akar penyebabnya? Adakah ini merupakan anomali atau justru menjadi watak sekaligus ciri khas politik dalam demokrasi? Betulkah pula bahwa dalam tataran praktisnya politik demokrasi tidak berpihak kepada rakyat dan malah sering berpihak pada kepentingan oligharki? Jika demikian, bagaimana sikap kita seharusnya sebagai seorang Muslim? Bagaimana pula cara berpolitik yang sesuai dengan tuntunan syariah Islam?““Itulah di antara pertanyaan yang disampaikan Redaksi kepada pengamat politik Islam, Wahyudi al-Maroky. Berikut hasil wawancaranya.
Praktik politik saat ini dirasakan sebagian besar orang makin pragmatis. Benarkah?
Ya, betul itu. Hari ini kebanyakan politisi ingin berkuasa. Mereka berpikir simpel dan mencari cara mudah. Bukan sekadar menabrak etika. Mereka bahkan makin berani menabrak norma hukum yang ada. Jika hukum tak sesuai dengan keinginan yang pragmatis itu, maka hukumnya yang disalahkan, lalu diubah atau diganti. Hukum buatan Tuhan pun mereka ganti dengan hukum buatan sendiri. Apalagi hukum buatan sesama manusia tentu lebih berani mereka ubah dan ganti. Itulah sebabnya hari ini begitu banyak UU yang direvisi di akhir masa rezim jokowi.
Rakyat juga melihat praktik politik saat ini tuna moral dan tak peduli halal-haram. Mengapa demikian?
Dalam pandangan politik sekuler, ukuran sukses adalah bisa berkuasa. Untuk memperoleh kekuasaan bisa menggunakan segala cara. Mereka tak peduli disebut tuna moral karena menabrak etika. Mereka juga tak peduli jika disebut berdosa karena menabrak aturan agama. Yang penting bisa berkuasa meski dianggap tak sopan dan tak tahu malu.
Rezim mengutak-ngatik berbagai UU dan peraturan untuk kepentingannya. Apakah ini mengindikasi negara otoriter?
Belum sampai menjadi negara otoriter. Bahkan inilah praktik negara demokrasi yang sesungguhnya. Dalam demokrasi, mengutak-atik undang-undang untuk disesuaikan dengan kepentingan para penguasa itu hal biasa. Tentu selama masih menggunakan proses hukum dan mekanisme yang disepakati. Terkecuali jika presiden selalu mengeluarkan Perppu. Kita bisa mengatakan itu sebagai praktik rezim otoriter. Mungkin yang lebih mendekati fakta hari ini adalah rezim yang otoriter berkedok demokrasi.
Mereka mengklaim bahwa ini semua dilakukan untuk kepentingan rakyat dan negara?
Semua rezim demokrasi tentu akan mengklaim bahwa apa yang dilakukan untuk kepentingan rakyat. Atas nama rakyat mereka membuat aturan yang membebani rakyat. Atas nama rakyat mereka memeras rakyat dengan berbagai pajak. Atas nama rakyat mereka mengijinkan asing dan aseng mengeruk tambang dan kekayaan alam milik rakyat. Atas nama rakyat mereka berutang untuk membiayai proyek-proyek kepentingan oligarki. Atas nama rakyat juga mereka membebankan tagihan utang dan bunganya untuk ditanggung rakyat. Itulah kejamnya sistem demokrasi. Atas nama rakyat menindas rakyat sendiri.
Rezim melanggar hukum yang dibuat sendiri. Keputusan MK, misalnya, tidak diindahkan oleh DPR (UU Tentang Cipta Kerja). Juga Keputusan MK tentang Pilkada. Apakah ini baik dalam hukum tata negara?
Jelas ini praktik pemerintahan yang buruk. Hanya saja, dalam pandangan sebagian masyarakat kita, seburuk-buruknya praktik pemerintahan demokrasi saat ini tetap dianggap masih lebih baik jika dibandingkan dengan menggunakan sistem otokrasi. Masyarakat tidak diberikan pilihan lain, misal sistem khilafah, dll.
Ruang kritik oleh rezim dibungkam. Ormas dikriminalisasi dan dibubarkan. Apakah ini dibenarkan?
Jelas tidak dapat dibenarkan. Namun, dalam sistem demokrasi semua bisa menjadi legal jika dilakukan dengan proses hukum yang disepakati. Masalahnya, setiap hukum bisa dibuat kapan saja dan berisi apa saja sangat bergantung pada kesepakatan bersama para pihak yang punya pengaruh kekuasaan politik dan kekuasaan uang. Mereka ini kemudian dikenal dengan oligharki. Ketika kelompok oligarki diam maka hukum tetap berlaku. Jika mereka terganggu maka UU yang mengganggu itu diganti atau dibuat dengan yang baru.
Jika oligharki terganggu dengan ormas maka ormas dibungkam, ditekan, dikriminalisasi dan bahkan dibubarkan. Ormas yang memuji-muji dan mendukung mereka diberi hadiah.
Dengan demikian, demokrasi itu sebetulnya melayani oligharki.
Benarkah politik bukan sekadar kekuasaan, tetapi terikat dengan halal dan haram?
Ya, benar. Semestinya, sebagai seorang yang beriman, tolok ukurnya dalam melakukan suatu perbuatan itu halal dan haram. Jika tidak, orang dapat berpolitik dengan menghalalkan segala cara. Yang penting tujuan politik tercapai. Sayangnya, para politisi hari ini memang tidak menjadikan halal-haram sebagai standar berpolitik. Akibatnya, mereka menabrak segala cara yang penting bisa berkuasa.
Jika demikian, bagaimana seharusnya berpolitik menurut Islam?
Islam adalah agama yang sempurna dan dijamin kesempurnaanya oleh Allah SWT. Tentu Islam punya konsep politik. Praktik politik dalam Islam dapat tergambar jelas dengan apa yang dilakukan oleh pemimpin terbaik dan manusia termulia, Nabi Muhammad saw.
Pada tahun 622 M. Nabi Muhammad saw. menancapkan tonggak pemerintahan modern di dunia. Beliau membuat konstitusi tertulis pertama di dunia yang terkenal dengan sebutan Piagam Madinah atau Madinah Charta. Dalam Piagam Madinah itu termuat salah satu pasal yang pada pokoknya mengatur sbb: “Jika terjadi perselisihan di antara penduduk Madinah maka penyelesaiannya diputuskan oleh Allah dan Muhammad Rasulullah.”
Hal ini bermakna bahwa dalam setiap persoalan masyarakat harus dikembalikan pada hukum Allah (syariah Islam) dan Rasulullah Muhammad saw. sebagai pemimpin Negara Madinah kala itu. Karena itu siapa saja yang ingin berpolitik dapat mencontoh teladan terbaik, yakni Rasulullah Muhammad saw. Beliau memutuskan setiap urusan rakyat dengan berdasarkan syariah Islam.
Dalam pandangan politik Islam, apakah boleh menghalalkan segala cara untuk mencapai kekuasaan?
Tentu tidak boleh. Dalam setiap aktivitasnya, seorang Muslim wajib terikat dengan Syariah Islam. Baik politik maupun aktivitas non-politik wajib distandarkan pada halal-haram. Kalau dalam politik Islam boleh menghalalkan segala cara, lalu apa bedanya seorang Muslim dengan kaum sekuler?
Lalu apa tujuan partai politik dalam Islam?
Tentu dalam rangka meraih ridha Allah melalui aktivitas mengontrol dan mengoreksi penguasa agar mengurus rakyat sesuai dengan ketentuan syariah Islam.
Tugas parpol Islam adalah mendakwahkan Islam dan melakukan amak makruf nahi mungkar. Parpol Islam berkewajiban memahamkan umat dan para penguasa (edukasi). Mereka juga wajib menyiapkan kader-kader umat terbaik sebagai pemimpin masa depan (kaderisasi), sekaligus menjadi wadah dan perwakilan umat (representasi) dalam menyampaikan suara/aspirasi umat (artikulasi). Dalam terminologi politik kontemporer dikenal dengan istilah: edukasi, kaderisasi, sosialisasi, representasi dan artikulasi.
Apakah parpol Islam boleh berkoalisi dengan partai sekuler?
Tidak boleh karena dua alasan: tidak amanah dan mendukung kebatilan.
Pertama: Tidak amanah. Misalkan ada partai Islam yang ingin memperjuangkan Islam. Dalam setiap kampanye kepada rakyat membawa Islam dan akan memperjuangkan syariah Islam. Dengan janji dalam kampanye itulah rakyat memilih partai tersebut. Kemudian partai tersebut mendapat suara rakyat. Namun, setelah mendapat suara rakyat, mereka malah berkoalisi dan bergabung dengan partai sekuler. Jika akhirnya boleh berkoalisai, lalu apa bedanya rakyat memilih partai tersebut atau partai sekuler. Jika ujungnya bergabung/berkoalisi dengan partai sekuler, itu sama saja mengkhianati para pemilihnya yang sudah memberikan amanahnya ke partai Islam tersebut.
Kedua: Mendukung kebatilan. Ketika partai Islam berkoalisi dengan partai sekuler maka partai tersebut sudah selesai. Artinya, ia sudah tidak berbeda dengan partai sekuler. Ketika membuat ketputusan bersama maka keputusan itu mendapat legitimasi karena didukung juga partai Islam yang ada dalam koalisi itu. Misal, Pemerintah/DPR mengeluarkan kebijakan menaikkan pajak PPN yang makin memeras rakyat. Contoh lain, Pemerintah/DPR melegalkan minumar keras, prostitusi dan perzinaan, dll dengan dalih ada pajak sebagai pemasukan negara. Keputusan batil tersebut menjadi semakin legal karena ada dukungan partai Islam dalam koalisi itu. Ini sama saja dengan mendukung kebatilan dan menabrak aturan Islam.
Bagaimana gambaran praktik berpolitik ala Rasulullah saw. dan Sahabat?
Nabi Muhammad saw. dan para Sahabat mengamalkan Islam kaaffah dan menjalankan politik Islam secara totalitas. Hal ini dapat dilihat dalam Konstitusi Madinah (Piagam Madinah/Madinah Charta). Di antara 47 pasal Piagam Madinah, pada Pasal 23 termaktub: “Jika kalian berselisih tentang sesuatu maka penyelesaiannya menurut ketentuan Allah ‘Azza Wa Jalla dan keputusan Muhammad saw.”
Pasal ini menegaskan bahwa setiap perselisihan yang terjadi dalam setiap urusan masyarakat maka keputusannya didasarkan pada ketentuan Allah SWT dan keputusan Nabi-Nya, yakni syariah Islam. Hal ini menunjukkan bahwa tidak lain dan tidak bukan bahwa pengaturan urusan semua warga negara (sistem politik) didasarkan pada syariah Islam, bukan syariat yang lain.
Jika demikian, apa yang harus dilakukan oleh umat Islam hari ini agar politik Islam bisa berjalan menggantikan politik sekuler yang merusak?
Umat Islam harus punya niat yang kuat, punya pemahaman yang benar tentang politik Islam dan tahu cara memperjuangkan Islam dengan benar. Pertama, harus punya niat kuat untuk bisa mengamalkan Islam secara kaaffah dalam kehidupan mereka. Niat kuat ini sangat penting. Sebabnya, jika niat mereka lemah maka mereka mudah goyah dengan tawaran politik yang menggiurkan berupa jabatan kekuasaan dan sumber kekayaan. Bukankah banyak parpol, ormas dan tokoh yang mudah goyah ketika mendapat tawaran jabatan dan kekayaan?
Kedua, harus punya pemahaman yang utuh dan benar tentang politik Islam. Jangan sampai ada parpol Islam justru tidak paham sedang menerapkan sistem politik sekuler. Mereka merasa ini sudah sesuai sistem politik islam. Misalnya, mereka sedang mempraktikkan sistem demokrasi warisan dari Yunani kuno, tetapi merasa sedang menerapkan sistem Islam, sistem Khilafah warisan Rsulullah saw. Ini yang banyak terjadi.
Ketiga, harus paham caranya. Tidak boleh menggunakan segala cara agar bisa berkuasa. Jika ini dilakukan maka tidak ada bedanya parpol Islam dengan parpol sekuler. Ini membingungkan rakyat dan perubahan ke arah Islam makin tidak jelas.
Keempat, memilih contoh dan teladan yang tepat. Kegagalan para politisi hari ini karena salah memilih contoh dan teladan. Kebanyakan politisi mencontoh Barat dan menjadikan para tokoh Barat sebagai idolah dan jadi teladan mereka. Mereka lupa bahwa ada idola dan teladan terbaik di muka bumi ini, yaitu Rasulullah Muhammad saw. Beliau adalah teladan terbaik dalam segala hal, termasuk dalam berpolitik, yakni dalam mengurus dan mengatur berbagai urusan kehidupan sesuai dengan tuntunan syariah Islam. []