Dari Redaksi

Perkara yang Hilang Akibat Ketiadaan Khilafah


Dalam kitab Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm (Sistem Pemerintahan Islam), Imam Taqiyuddin An-Nabhani, rahimahulLâh, menyebutkan bahwa di negeri (al-quthr/al-balad) yang akan membaiat Khalifah dalam kondisi ketiadaan Khilafah sama sekali, harus memenuhi empat syarat. Pertama: Kekuasaan (sulthân) yang ada di negeri tersebut haruslah merupakan kekuasaan yang mandiri (sulthân dzâty), yang bersandar pada kaum Muslim semata, dan tidak bersandar pada negara asing (kafir) atau orang asing (kafir).

Kedua: Keamanan (al-amân) di negeri tersebut haruslah merupakan keamanan Islam. Dalam arti, perlindungan (al-himâyah) bagi negeri tersebut, baik keamanan dalam negeri maupun keamanan luar negeri, semuanya berada di tangan kaum Muslim.

Ketiga: Negeri tersebut harus segera memulai penerapan Islam dengan penerapan yang sempurna dan menyeluruh (dalam segala aspek kehidupan), dan harus segera melakukan kegiatan dakwah Islam ke seluruh dunia.

Keempat: Khalifah yang dibaiat harus memenuhi syarat-syarat baiat in’iqâd meskipun tidak memenuhi syarat-syarat afdhaliyah (keutamaan). Ini karena yang menjadi standar/patokan (al-‘ibrah) adalah syarat-syarat in’iqâd. Perwujudan empat perkara ini akan memastikan perubahan mendasar hingga bisa melepaskan diri dari kendali negara-negara kafir penjajah yang telah mengendalikan umat Islam selama ini.

Sebaliknya, akibat ketiadaan Khilafah, empat perkara ini pula yang hilang di tengah-tengah umat Islam. Umat tidak lagi memiliki kekuasaan yang mandiri dan nyata (sulthân dzâty) yang bersandar pada kaum Muslim. Keamanan negeri-negeri Islam berada di bawah kendali negara-negara kafir imperialis. Memang di negeri-negeri Islam terdapat negara-negara yang dikesankan merdeka dan memiliki penguasa yang seolah memiliki kekuasaan. Namun demikian, semuanya dalam kendali negara-negara kafir imperialis. Kendali pertama tentu melalui sistem kapitalis yang diadopsi oleh hampir semua negeri-negeri Islam. Inilah jalan pengendalian yang paling efektif terhadap negeri Islam; menjadi jalan mulus penjajahan ekonomi, politik, pendidikan, sosial-budaya, maupun militer di Dunia Islam. Kendali penting yang kedua adalah para penguasa pengkhianat yang melayani kepentingan penjajahan negara-negara kafir imperialis.

Lewat ekonomi kapitalis, kekayaan negeri Islam dirampas atas nama perdagangan bebas, investasi asing, termasuk jerat mata uang dolar dan utang luar negeri. Tambang-tambang yang sejatinya milik umat yang harus dikelola dengan baik untuk kepentingan rakyat dirampas oleh perusahaan negara-negara kafir penjajah atau perusahaan oligarki yang bersekutu dengan kekuatan global kapitalis dunia, seperti yang terjadi di Indonesia.

Sementara itu, lewat sistem politik demokrasi, lahirlah para penguasa yang tunduk pada para pemilik modal. Sistem demokrasi yang dirancang mahal, menjadi jalan ‘mudah’ bagi para pemilik modal untuk mengendalikan politik. Lahirlah berbagai kebijakan dari sistem demokrasi ini yang justru melayani dan ditujukan untuk kepentingan para pemilik modal. Tidak hanya itu, sistem politik yang berbasis nation-state (negara-bangsa) telah memecah-belah negeri-negeri Islam, menghalangi persatuan umat, dan menjadi dalih bagi ketidakmauan penguasa negeri-negeri Islam untuk membela saudara Muslim globalnya yang ditindas. Seperti diamnya penguasa Arab dengan mengatakan Yordania untuk Yordania, Saudi untuk Saudi.

Ketiadaan Khilafah juga telah menjadikan negeri-negeri Islam tidak lagi menerapkan syariah Islam yang sempurna secara inqilâbiyah dan syâmilah (sekaligus dan menyeluruh). Inilah yang menjadi sumber bencana bagi negeri-negeri Islam ketika syariah Islam tidak lagi diterapkan secara kâffah (menyeluruh). Negeri Islam diatur oleh aturan negara penjajah mereka sendiri. Itulah aturan kufur yang dirancang memang untuk merampok dan merusak negeri-negeri Islam baik secara ekonomi, politik maupun budaya.

Ketiadaan Khilafah juga telah menyebabkan negeri Islam kehilangan pemimpin yang memenuhi syarat-syarat in’iqâd (pengangkatan), terutama syarat adil (a’dl[an]), merdeka (hurr[an]) dan mampu (qaadir[an]). Tampak jelas, bagaimana sebagian besar mayoritas penguasa negeri Islam saat ini menjadi penguasa yang pengecut. Meskipun memiliki angkatan bersenjata yang kuat dan besar, mereka tidak menggerakkan pasukannya untuk membebaskan Palestina. Pengecut menghadapi tekanan Amerika Serikat hingga tunduk begitu saja melayani kepentingan negara kafir imperialis. Mayoritas penguasa negeri Islam juga tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk menyelesaikan persoalan-persoalan umat. Mereka menyerahkan urusan umat ini ke tangan negara kafir penjajah.

Karena itu perjuangan penegakan Khilafah dengan wilayah yang memenuhi empat syarat tersebut sangatlah penting. Untuk menjadi Negara Khilafah ‘alâ minhâj an-nubuwwah yang disegani oleh musuh. Ketiadaan Negara Khilafah inilah yang mampu melindungi umatnya telah membuat arogansi negara kafir penjajah seperti Amerika semakin menjadi-jadi. Ini karena mereka tahu persis penguasa negeri Islam tidak akan berbuat banyak meskipun Amerika mempermalukan mereka.

Ketiadaan Negara Khilafah ini telah membuat Donald Trump dengan arogan menunjukkan sikap dan kebijakan ‘asli’ Amerika, yaitu penjajahan. Trump tanpa ada rasa takut mengatakan Amerika akan menguasai Gaza. Dalam konferensi pers di Gedung Putih dengan Perdana Menteri entitas Yahudi Benjamin Netanyahu, Trump menyatakan bahwa Amerika Serikat akan menduduki dan memiliki Jalur Gaza serta dan membangun kembali Gaza. Ia juga membanggakan bahwa untuk tujuan ini, ia telah mengusulkan kepada Yordania dan Mesir untuk membagi umat Islam Gaza dan mereka akan dipaksa untuk melakukan itu.

Untuk itu, pada bulan Ramadhan yang penuh berkah ini, sudah seharusnya kita mengoptimalkan ketakwaan kita secara total dengan menegakkan seluruh syariah Islam secara kâffah. Bukan hanya ketakwaan individu atau keluarga, tetapi juga ketakwaan dalam berekonomi, berpolitik hingga bernegara dengan menerapkan syariah Islam. Bulan Ramadhan sebagai bulan perjuangan wajib digunakan untuk menggerakkan tentara-tentara kaum Muslim membebaskan tanah Palestina, sebagaimana yang pernah dilakukan panglima perang Shalahuddin al-Ayyubi saat membebaskan Palestina dari pasukan penjajah Salibis.

Pada bulan yang penuh berkah ini pula wajib kita mengoptimalkan dukungan untuk perjuangan penegakan Khilafah. Inilah yang membuat Ramadhan kita kali ini berbeda secara nyata dengan bulan-bulan Ramadhan sebelumnya.

AlLâhu Akbar! [Farid Wadjdi]

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

10 + 10 =

Back to top button