Hadis Pilihan

Mina dan Harta Milik Umum

عَنْ عَائِشَة قَالَتْ : قُلْنَا يا رَسُولَ اللهِ، أَلا نَبْني لَكَ بَيْتًا يُظِلُّكَ بِمِنًى؟ قَالَ: لاَ، مِنًى مُنَاخُ مَنْ سَبَقَ

Dari Aisyah ra., ia berkata:  Kami berkata, “Ya Rasulullah, tidakkah kami bangun untukmu rumah yang meneduhimu di Mina?” Beliau bersabda, “Tidak, Mina adalah munakh orang yang lebih dulu.”  (HR Ahmad no. 25718, Abu Dawud no. 2019, Ibnu Majah no. 3006 dan 3007, at-Tirmidzi no.881, ad-Darimi no. 1980, al-Baihaqi di Sunan al-Kubrâ no. 9609, al-Hakim no. 1714, Ibnu Khuzaimah no. 2891).

 

Imam at-Tirmidzi, setelah meriwa-yatkan hadis ini, berkomentar, “ini adalah hadis hasan.”

Imam al-Hakim di dalam Al-Mustadrak berkomentar, “Ini adalah hadis shahih menurut syarat Muslim, tetapi keduanya (al-Bukhari dan Muslim) tidak mengeluarkan hadis tersebut.”

Imam Abu Dawud tidak mengomentari hadis ini. Sebagaimana penjelasan Imam Abu Dawud dalam mukadimahnya, jika hadis di dalam Sunan Abu Dawud tidak beliau komentari maka statusnya hasan.

Husain Salim Asad dalam komentar atas Sunan ad-Dârimî menilai hadis di atas hasan.

Sebagian ulama menilai riwayat hadis di atas dha’iif karena Yusuf bin Mahak meriwayatkan hadis tersebut dari ibunya, Musaikah, dari Aisyah. Musaikah tidak diketahui keadaannya (majhûl al-hâl). Adz-Dzahabi memasukkan dia di dalam Al-Majhûlât. Hanya Yusuf yang meriwayatkan hadis dari dirinya.

Hanya saja, status hukum Mina—sebagai tempat untuk melaksanakan manasik haji dan tidak boleh dikuasai apalagi dimiliki seorang pun, melainkan semua orang dari kaum Muslim berhak berdiam di situ selama menunaikan manasik tanpa menguasai tempat tersebut—disetujui oleh semua Sahabat dan umat Islam dan ditransformasikan dari satu generasi ke generasi selanjutnya sejak generasi para Sahabat secara tawatur. Hal yang sama juga tentang status Arafah dan Muzdalifah. Dengan demikian, ini menjadi pendukung yang sangat kuat atas isi hadis di atas.

Al-Mulla ‘Ali al-Qari (w. 1014 H) di dalam Mirqâh al-Mafâtîh Syarhu Misykâti al-Mashâbîh menjelaskan: munâkh[un], yakni tempat al-inâkhah. Maknanya, al-ikhtishâsh (penguasaan) atas tempat tersebut adalah dengan as-sabaq (lebih dulu tiba), bukan dengan membangun tempat di situ. Artinya, tempat itu tidak boleh dikhususkan (dikuasai) untuk seorang pun. Ath-Thibi berkata: “Ucapan Aisyah bermakna, ‘Apakah engkau izinkan untuk kami bangun untukmu rumah di Mina untuk engkau tinggal di situ?’ Lalu beliau melarang hal itu. Beliau menjelaskan ‘illat (sebab)-nya bahwa Mina adalah tempat untuk menunaikan manasik haji, menyembelih kurban, melempar jumrah, bercukur, yang manusia berserikat di situ. Andai beliau membangun di situ, niscaya banyak yang membuat bangunan di sana karena meneladani beliau sehingga menyempitkan bagi orang-orang. Demikian juga hukum jalan, tempat duduk pasar, dst.”

Al-Munawi (w. 1031 H) di dalam Faydh al-Qadîr Syarhu al-Jâmi’ ash-Shaghîr menjelaskan bahwa status Mina itu seperti Arafah, Muzdalifah. Al-Munawi juga mengutip Ibnu al-‘Arabi ang mengatakan, “Hadis ini lahiriahnya mengharuskan agar tidak seorang pun berhak dengan Mina kecuali dengan hukum al-inâkhah (menderumkan unta) untuk menunaikan manasik, kemudian setelah itu beliau membangunnya, tetapi di tempat selain tempat manasik, kemudian dihancurkan. Itu adalah ashl[un] (hukum asal) dalam kebolehan atas semua tempat mubah untuk dimanfaatkan tanpa dikuasai (al-istihqâq) dan dimiliki (at-tamalluk).”

Ibnu al-‘Arabi juga mengutip ucapan Fakhru al-Islam asy-Syasyi tentang makna hukum hadis ini, “Jika seseorang tiba di Mina dengan tunggangannya, kemudian dia keluar untuk keperluannya, maka tidak boleh bagi orang lain mencabut (memindahkan) tunggangannya.”

Hadis ini menunjukkan bahwa semua kaum Muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam memanfaatkan Mina untuk melaksanakan manasik dan bahwa Mina tidak boleh dikuasai apalagi dimiliki oleh seorang pun. Semisal itu adalah Arafah dan Muzadalifah.

Rasulullah saw. menyatakan ‘illat status Mina itu, yakni karena Mina merupakan munâkhun. Susunan kalimat sabda Nabi saw. dalam hadis di atas memberikan konotasi sifat yang menjadi sebab jawaban Rasul saw., yakni tidak boleh membangun rumah untuk beliau di Mina . Jadi sifat munâkh[un] merupakan sifat yang memberikan konotasi ‘illat, yakni ‘illat keberadaan Mina yang menjadikan semua kaum Muslim berserikat dalam memanfaatkannya sesuai manfaat yang dibolehkan oleh syariah, juga ‘illat bahwa Mina tidak boleh dikuasai apalagi dimiliki oleh seorang pun. Munâkh[un] adalah tempat untuk al-inâkhah (menderumkan unta). Menderumkan unta ini maksudnya adalah tempat berdiam selama melaksanakan manasik, tanpa menghalangi orang lain untuk juga memanfaatkan Mina guna keperluan yang sama. Sudah diketahui bersama bahwa kepemilikan umum adalah izin Asy-Syaari’ kepada semua orang untuk berserikat atau bersama-sama memanfaatkan suatu harta. Sifat atau tabiat itulah yang ditetapkan oleh Asy-Syaari’ untuk Mina yang menjadi sebab atau ‘illat keberadaannya sebagai milik umum, yang semua kaum Muslim berserikat dalam pemanfaatannya. Tidak boleh seorang pun menguasai tempat itu (ikhtishâsh bihi) dengan menghalangi orang lain untuk memanfaatkannya.

Hukum itu beredar bersama dengan ‘illat-nya, yakni jika ‘illat-nya ada maka hukumnya eksis dan jika tidak ada maka hukumnya tidak eksis. Karena sifat atau tabiat ini merupakan ‘illat Mina sebagai milik umum, maka harta apapun yang di situ ada sifat atau tabiat seperti sifat dan tabiat Mina, maka statusnya sama seperti Mina, yakni merupakan milik umum. Sifat dan tabiat itu juga ada pada Arafah dan Muzdalifah. Status Arafah dan Muzdalifah itu merupakan Ijmak Sahabat. Status itu—termasuk status Mina—diriwayatkan secara tawatur dari generasi ke generasi.

Dari semua itu dapat dirumuskan kaidah bahwa semua harta yang sifatnya atau tabiatnya menghalangi untuk dikuasai secara khusus oleh individu merupakan milik umum. Semua orang boleh memanfaatkan harta tersebut sesuai dengan manfaatnya selama tidak mengganggu atau menghalangi orang lain untuk juga memanfaatkannya. Ini seperti jalan, lapangan, masjid, sungai, laut, teluk, danau dan harta-harta lainnya yang memiliki sifat atau tabiat yang sama. Semuanya merupakan milik umum.

WalLâh a’lam wa ahkam.  [Yoyok Rudianto]

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

5 + twelve =

Check Also
Close
Back to top button