Lafal Umum dan Khusus
اَللَّفْظُ اَلْعَامُ وَالْخَاصُ
Al-‘Am (umum) secara bahasa merupakan isim fa’il dari mashdar ‘amma – ya’ummu – ‘amm[an] wa ‘umûm[an]. Mashdar ‘amm[an] wa ‘umûm[an] maknanya syaml[an] wa syumûl[an] (cakupan dan kekomprehensivan). Jadi, al-‘âm bermakna syâmil[an] (yang meliputi semua cakupannya). Ini sekaligus membedakan lafal al-‘âm dan al-‘umûm.
Menurut Badruddin az-Zarkasyi (w. 794 H) di dalam Bahru al-Muhîth fî Ushûl al-Fiqhi dan Syaikh Wahbah az-Zuhaili di dalam Ushûl al-Fiqhi al-Islâmî, al-‘âm (umum) secara bahasa maknanya syumûl amr[in] limuta’adid[in] a kâna al-amru lafzh[an] aw ghayrahu (cakupan suatu perkara pada beragam hal baik perkara itu adalah lafal atau yang lain).
Adapun secara istilah, para ulama ushul mendefisikan al-‘âm dengan beberapa definisi. Ahmad bin Muhammad Nizhamuddin asy-Syasyi (w. 344 H) di dalam Ushûl asy-Syâsyi mendefinisikan al-‘âm (umum) adalah kullu lafzh[in] yantazhimu jam’[an] min al-afrâd (setiap lafal yang mencakup banyak unit [satuan]). Jadi menurut Asy-Syasyi, al-‘âm adalah lafal yang mencakup banyak unit [satuan], atau lafal yang cakupan maknanya berlaku pada banyak unit [satuan].
Abu al-Husain al-Bashri (w. 436 H) di dalam Al-Mu’tamad fî Ushûl al-Fiqhi mendefinsikan, al-‘âm adalah al-lafzhu al-mustaghriqu li jamî’i mâ yashluhu lahu min al-afrâd (lafal yang mengambil semua satuan yang layak untuk dirinya). Hal ini juga disampaikan oleh as-Sarakhsi (w. 483 H) di dalam Ushûl as-Sarakhsi, Abu Ya’la al-Fara’ (w. 458 H) di dalam Al-‘Iddah fî Ushûl al-Fiqhi, asy-Syawkani (w. 1251 H) di dalam Irsyâd al-Fuhûl, dan lainnya.
Hanya saja, menurut al-Amidi (w. 631 H) di dalam Al-Ihkam fî Ushul al-Ahkâm, definisi Abu al-Husain al-Bashri itu tidak bersifat mâni’[an] karena masih masuk di dalamnya ucapan orang “Dharaba Zaydun Umar[an] (Zaid memukul Umar).” Ucapan ini merupakan lafal yang mencakupi semua yang layak untuk dirinya, padahal itu bukan lafal umum.
Imam ar-Razi (w. 606 H) di dalam Al-Mahshûl mendefinisikan: al-‘âm adalah al-lafzhu al-mustaghriqu li jamî’i mâ yashluhu lahu bihasabi wadh’[in] wâhid[in] (lafal yang mengambil semua yang layak untuk dirinya menurut satu ketetapan).
Definisi yang sama disampaikan oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani di dalam Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyah Jilid 3, yaitu: al-‘umûm lafzh[un] yastaghriqu jamî’a mâ yashluhu lahu bi lafzh[in] wâhid[in] (umum adalah lafal yang mengambil semua apa yang layak untuk dirinya dengan satu lafal).
Imam al-Ghazali (w. 505 H) di dalam Al-Mustashfâ menyatakan: al-‘âm adalah al-lafzhu al-wâhidu ad-dâlu min jihhat[in] wâhidat[in] ‘alâ syay`ayn fa shâ’id[an] (lafal tunggal yang menunjukkan—dari satu sisi—pada dua perkara atau lebih).
Hanya saja, menurut al-Amidi, definisi ini tidak bersifat jâmi’[an]. Karena lafal al-ma’dûm dan al-mustahîl termasuk lafal umum, sementara ia tidak punya dalaalah atas dua perkara atau lebih. Sebabnya, al-ma’dûm bukanlah sesuatu. Ucapan ‘asyarah (sepuluh) dan mi`ah (seratus) juga bukan termasuk lafal umum meski bersama dengan kesatuan sisinya dia menunjukkan dua perkara atau lebih, yaitu al-âhâd (satu-satu) masuk di dalamnya.
Imam al-Amidi (w. 631 H) di dalam Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm menyatakan, yang benar adalah dikatakan: al-‘âm adalah al-lafzhu al-wâhidu ad-dâlu ‘alâ musammayn fashâ’id[an] muthlaq[an] ma’[an] (lafal tunggal yang menunjukkan dua musamma (obyek yang disebut) atau lebih secara mutlak sekaligus).
Definisi yang mirip disampaikan oleh imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi (w. 620 H) di dalam Rawdhah an-Nâzhir wa Jannah al-Munâzhir, bahwa batasan al-‘âm adalah: al-lafzhu al-wâhidu ad-dâlu ‘alâ syay`ayn fa shâ’id[an] muthlaq[an] (lafal tunggal yang menunjukkan pada dua perkara atau lebih secara mutlak).
Syaikh Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah di dalam Taysîr al-Wushûl ilâ al-Ushûl menjelaskan, lafal umum adalah: al-lafzhu al-mufrad dzû al-ma’nâ al-wâhidi al-ladzî yandariju tahtahu fardâni fa aktsara dûna maziyat[in] li ahadi afrâdihi ‘alâ al-âkhar fî ad-dalâlah illâ wurida at-takhshîsh (lafal tunggal yang memiliki satu makna yang di bawahnya terderivasi dua satuan [unit] atau lebih tanpa keistimewaan untuk salah satu satuannya atas yang lain dalam dalaalah, kecuali dinyatakan pengkhususan).
Dikatakan al-lafzhu al-mufrad (lafal tunggal) dan tidak dikatakan al-lafzhu (lafal) saja supaya lafal murakkab (komposisi) keluar dari definisi ini. Sebabnya, lafal murakkab yang di bawahnya terderivasi bagian-bagiannya tidak disebut lafal umum, tetapi disebut lafzh[un] kulliy[un] (lafal komprehensif), bukan yang lain.
Dikatakan dzû al-ma’nâ al-wâhidi (memiliki satu makna) supaya lafal musytarak (homonim; satu kata, banyak makna) keluar dari definisi ini. Sebabnya, lafal musyatarak, meski terderivasi di bawahnya satuan-satuan, merupakan lafal yang memiliki beberapa makna, misalnya lafal al-‘ayn yang berarti mata penglihatan, mata-mata dan mata air. Ia memerlukan qariinah (indikasi) untuk menjelaskan maksudnya. Oleh karenanya lafal musytarak termasuk lafal yang memerlukan penjelasan (al-bayân). Adapun lafal ar-rajulu, misalnya, yang dimakrifatkan dengan alîf lâm al-jinsiyah (alif lam bersifat jenis) adalah lafal dengan satu makna yang di bawahnya terderivasi individu-individu: Amru, Zaid, Umar, dll; memerlukan pengkhususan (at-takhshîsh) untuk menjelaskan maksud. Jadi itu merupakan lafal yang umum.
Lalu dikatakan dûna maziyyat[in] li ahadi afrâdihi ‘alâ al-âkhar fî ad-dalâlah sehingga lafal al-manqûl, al-kinâyah, al-majâz dan semisalnya keluar dari definisi. Meski di bawahnya terderivasi satuan-satuan, ia tidak setara dalam dalaalah-nya sehingga salah satu di-raajih-kan atas yang lain. Misal, ucapan kita: “anta asad[un]”. Lafal asad[un] menunjuk pada singa hakiki atau keberaniaan secara majazi. Di sini jelas bahwa yang dimaksud adalah makna majazi.
Dari semua penjelasan di atas, lafal umum (al-‘âm) itu memiliki beberapa batasan: Pertama, merupakan lafal mufrad atau lafal tunggal (lafzh[un] mufrad[un] aw lafzh[un] wâhid[un]), yakni bukan lafal murakkab atau tarkîb. Kedua, mengambil semuanya (yastaghriqu), yakni mencakup (yasymulu) semua satuan yang layak untuk maknanya. Ketiga, penunjukkannya itu menurut al-wadh’u al-wâhid (satu makna asal) atau menurut satu sisi ketetapannya. Artinya, ia bukan lafal musytarak, kinâyah, atau yang bermakna majazi seperti lafal al-asad; bukan lafal al-manqûl (yang dialihkan dari makna hakiki bahasanya) baik al-manqûl asy-syar’iy atau al-manqûl al-‘urfiy. Keempat, penunjukkannya atas cakupan maknanya adalah secara mutlak (muthlaq[an]) atau tanpa batasan (dûna hashr[in]) dan secara setara, yakni tidak ada keistimewaan satu satuan (unit)-nya terhadap yang lain. Jadi lafal hitungan seperti ‘asyarah (sepuluh), mi`ah (seratus) dan lainnya tidak termasuk lafal umum. Sebabnya, meski lafal ini mencakup semua satuannya, ia terbatas dalam cakupan hitungan itu, yakni mencakupi satuan-satuannya sampai sepuluh, seratus dan lainnya.
Al-Lafzhu al-Khâsh (Lafal Khusus)
Lafal khusus, kadang dikatakan lafal yang khusus (al-lafzhu al-khâsh), adalah: kullu mâ laysa bi ‘âmin (semua yang bukan yang umum). Namun, ini tidak bersifat mâni’[an] karena di dalamnya masih masuk lafal-lafal al-muhmalah fîhi. Pasalnya, lafal-lafal ini tidak ada dalalah-nya sehingga tidak disifati dengan umum dan tidak pula khusus.
Yang benar, seperti dikatakan oleh Imam al-Amidi di dalam Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, al-khâsh itu disebutkan dengan dua penilaian: Pertama, al-lafzhu al-wâhidu al-ladzî lâ yashluhu madlûluhu li isytirâki katsîrîna fîhi (lafal tunggal yang maknanya tidak dibenarkan untuk banyak satuan di dalamnya). Syaikh Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah mendefisikan al-khâsh: al-lafzhu al-wâhid al-ladzî yadullu ‘alâ musamma wâhid[in] (lafal tunggal yang menunjukkan atas satu musamma [obyek yang disebutkan]). Ini seperti isim-isim ‘alam semisal: Zaid, Umar dan sebagainya. Jenis al-khâsh yang pertama ini disebut al-khâsh lâ akhashshu minhu (khusus yang tidak ada yang lebih khusus darinya).
Kedua, seperti dikatakan oleh Imam al-Amidi, yaitu al-khâsh yang kekhususannya menurut nisbah pada lafal yang lebih umum darinya. Batasannya, yakni lafal yang terhadap maknanya dan selain maknanya dikatakan lafal lain dari sisi yang sama. Misal, lafal al-insân. Ini adalah khusus. Terhadap maknanya dan terhadap makna lainnya, seperti al-farsu (kuda) dan al-himâr (keledai) dikatakan lafal al-hayawân dari sisi yang sama. Artinya lafal al-insân, al-farsu, al-himâr dsb adalah lafal yang khusus (al-khâsh) dinisbatkan pada lafal al-hayawân. Lafal jenis kedua ini disebut khash[un] bi an-nisbah wa ‘âm[un] bi an-nisbah (khusus dengan nisbah dan umum dengan nisbah).
Macam Lafal Umum dan Khusus
Dengan memperhatikan penjelasan di atas maka lafal dari sisi keumuman dan kekhususan ada beberapa macam. Pertama: Lafal umum yang tidak ada yang lebih umum darinya seperti lafal al-madzkûr. Lafal ini mencakupi al-mawjûd (yang eksis), al-ma’dûm, al-ma’lûm dan al-majhûl.
Kedua: Lafal khusus yang tidak ada yang lebih khusus darinya. Ini seperti isim-isim ‘alam, misalnya Muhammad, Ahmad, Fathimah, Maria dan lainnya.
Ketiga: Lafal umum dengan nisbah dan khusus dengan nisbah. Misalnya lafal al-insân merupakan lafal umum dinisbatkan pada individu-individu manusianya; dan merupakan lafal khusus dinisbatkan pada lafal yang lebih umum yang mencakup lafal tersebut, yaitu lafal al-hayawân.
WalLâh a’lam wa ahkam. [Yoyok Rudianto]