
Sharf dan Transaksi Emas, Perak dan Uang
Dirham dengan emas riba, kecuali tunai kontan. Gandum dengan gandum riba, kecuali tunai kontan. Jelay dengan jelay riba, kecuali tunai kontan. Kurma dengan kurma riba, kecuali tunai kontan. (HR Muslim no. 1586, Ahmad no. 162 dan 314, Abu Dawud no. 3348, at-Tirmidzi no. 1243, an-Nasai no. 4558 dan Ibnu Hibban no. 5013).
Hadis ini diriwayatkan dari jalur Malik bin Aws bin al-Hadatsan. Ia berkata: Aku datang dan aku katakan, “Siapa yang men-sharf dirham?” Thalhah bin Ubaidillah—dan dia ada di samping Umar bin al-Khaththab—berkata, “Bawa kepada kami emasmu, kemudian berikan kepada kami. Jika pembantu kami datang, kami beri kamu dirhammu.” Lalu Umar bin al-Khaththab berkata, “Tidak boleh. Demi Allah, kamu berikan dirhamnya atau kamu kembalikan kepada dia emasnya. Sebabnya, aku telah mendengar Rasulullah saw. bersabda… (matan hadis tersebut).”
Abu al-Minhal menuturkan: Partnerku menjual dirham sampai musim haji. Lalu dia datang memberitahu aku. Aku katakan, “Perkara ini tidak boleh.” Dia berkata, “aku menjualnya di pasar dan tidak ada seorang pun mengingkari aku.” Lalu aku mendatangi al-Bara’ bin ‘Azib dan aku tanyakan, dia berkata: Nabi saw. datang ke Madinah saat kami menjual dengan penjualan ini. Beliau bersabda:
Apa yang kontan maka tidak mengapa, sedangkan yang bertempo maka itu adalah riba (HR Muslim no. 1589 dan an-Nasai no. 4575).
Ubadah bin ash-Shamit menuturkan bahwa Rasul saw bersabda:
Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jelai dengan jelay, kurma dengan kurma dan garam dengan garam, (harus) semisal, sama dan kontan. Jika berbeda jenis-jenis ini maka juallah sesuka kalian jika kontan (HR Muslim no. 1587, Ahmad no. 22727, Ibnu Hibban no. 5018 dan ad-Daraquthni no. 2876).
Hadis-hadis ini menyatakan jual-beli enam jenis barang ribawi yakni: emas, perak, kurma, gandum, jelay dan garam. Semuanya harus sama, semisal jika sesama jenis, dan harus kontan jika berbeda jenis. Jika tidak maka riba, yakni riba fadhl jika saling berlebih antar sejenis; dan menjadi riba nasi’ah jika tidak-serah terima kontan, yakni ada tempo penyerahan salah satunya.
Hanya saja, dari ketentuan serah-terima kontan itu dikecualikan jual-beli secara kredit untuk makanan (kurma, gandum, jelay dan garam), termasuk jika harganya berupa emas, perak atau uang. Aisyah ra. menuturkan:
Nabi saw. pernah membeli makanan dari orang Yahudi dengan tempo dan beliau mengagunkan perisai beliau (HR al-Bukhari no. 2509, Muslim no. 1603, Ahmad no. 25274 dan Ibnu Majah no. 2436).
Juga ada pengkhususan untuk jual-beli as-Salâm atau as-Salâf, yang harganya dibayarkan kontan, sementara barangnya (kurma, gandum, jelay dan garam) diserahkan setelah tempo tertentu. Abdurrahman bin Abza dan Abdullah bin Abiy Aufa menuturkan:
Kami mendapat ghanimah bersama Rasulullah saw., lalu datang kepada kami pedagang dari Syam. Kemudian kami melakukan salaf kepada mereka pada gandum, jelay dan kismis sampai tempo yang jelas (HR al-Bukhari no. 2254 dan Aburrazaq no. 14077).
Juga ada pengkhususan jual beli al-istishnâ‘ dalam hadis-hadis tentang itu.
Dengan demikian ketentuan hadis di atas, bahwa jual-beli (pertukaran) harus tunai kontan, dan jika tidak maka riba, dikhususkan pada jual-beli emas, dinar, perak atau dirham, baik sejenis atau berlainan jenis. Ini juga berlaku pada uang. Pertukaran di antara emas, dinar, perak, dirham, dan uang sejenis atau berlainan jenis secara fikih diistilahkan dengan ash-sharfu.
Terkait ash-sharfu ini Al-‘Allamah al-Qadhi Taqiyuddin an-Nabhani di dalam An-Nizhâm al-Iqtishâdî menjelaskan, “Ash-Sharfu adalah pertukaran harta dengan harta berupa emas dan perak; adakalanya sesama jenis secara semisal dan adakalanya berbeda jenis baik, secara semisal atau saling berlebih. Ash-Sharfu berlaku pada uang sebagaimana berlaku pada emas dan perak. Sebabnya, pada uang berlaku sifat emas dan perak dengan penilaiannya sebagai uang. Itu bukan peng-qiyas-an terhadap emas dan perak, melainkan termasuk salah satu jenisnya karena penyandarannya pada keduanya dalam penilaian moneter.”
Ash-Sharfu itu harus tunai kontan. Jika ada tempo maka riba. Hal itu dinyatakan dalam hadis al-Bara’ bin ‘Azib [ وَمَا كَانَ نَسِيئَةً فَهُوَ رِبًا ] (apa yang tempo maka riba)”. Jadi untuk keabsahan ash-sharfu itu syaratnya adalah secara tunai kontan. Ini sesuai dengan sabda Rasul saw.: [ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ ] atau [ إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ ].
Imam Ibnu Baththal (w. 449 H) di dalam Syarhu Shahîh al-Bukhârî li Ibni Baththâl menjelaskan, “Makna [ هَاءَ وَهَاءَ ] dalam kalam orang Arab adalah [ خُذْ وَأَعْطِ ] (ambil dan berikan), yakni tidak boleh jual-beli sesuatu dari gandum, jelay, kurma dengan jenisnya kecuali kontan [ يَدًا بِيَدٍ ]. Pengarang al-‘Ayn (Khalil bin Ahmad) menyatakan, itu adalah kata yang digunakan ketika serah-terima ( اَلْمُنَاوَلَةُ ).”
Imam an-Nawawi (w. 676 H) di dalam Syarhu Shahîh Muslim menjelaskan lafal [ هَاءَ وَهَاءَ ], “maknanya adalah ambil ini dan temannya (pihak kedua) mengatakan yang semisalnya”. Beliau juga menyatakan, “Ulama mengatakan, maknanya adalah [ اَلتَّقَابُضُ ] (serah-terima). Di dalamnya ada pensyaratan at-taqâbudh (serah-terima) dalam jual-beli barang ribawi dengan barang ribawi jika sama dalam ‘illat riba, baik sama jenisnya seperti emas dengan emas atau berbeda seperti emas dengan perak. Nabi saw. memperingatkan di dalam hadis ini dengan yang berbeda jenis atas yang sama jenis. Ashhâb Malik berdalil dengan ini bahwa disyaratkan serah-terima pasca akad sehingga andai dia menundanya dari akad dan serah-terima di majelis maka tidak sah menurut mereka. Mazhab kami, keabsahan serah-terima di majelis meski tertunda dari akad satu hari atau beberapa hari selama keduanya tidak berpisah. Itu juga dikatakan oleh Abu Hanifah dan yang lainnya. Di dalam hadis ini tidak ada hujjah untuk Ashhâb Malik”.
Al-Allamah al-Qadhi Taqiyuddin an-Nabhani menyatakan di dalam An-Nizhâm al-Iqtishâdî, “Disyaratkan kedua pihak yang melakukan ash-sharf untuk saling menerima di majelis. Kapan saja keduanya pergi sebelum serah-terima maka tidak ada jual-beli di antara keduanya. Sebabnya, ash-sharf adalah jual-beli harga, yang satu dengan yang lain, dan serah-terima (al-qabdhu) di majelis adalah syarat keabsahannya.”
Dalilnya adalah hadis Malik bin Aus, Umar bin al-Khaththab, Abdullah bin Abi Awfa, Ubadah bin ash-Shamit di atas. Al-‘Allamah al-Qadhi Taqiyuddin an-Nabhani juga menyatakan, “Oleh karena itu harus ada serah-terima di majelis. Jika keduanya berpisah sebelum serah-terima maka batallah ash-sharf tersebut karena tidak terpenuhi syaratnya. Jika dia menerima sebagiannya lalu berpisah maka batallah pada apa yang tidak diserahkan dan kompensasinya, namun sah pada apa yang diserahkan dan kompensasinya. Ini karena boleh ada pemisahan transaksi (tafrîqu ash-shafqah). Andai orang men-sharf yang lain satu dinar dengan sepuluh dirham dan bersama itu hanya ada lima dirham, keduanya tidak boleh berpisah sebelum serah-terima sepuluh dirham seluruhnya. Jika diserahkan lima dirham dan keduanya berpisah maka batallah ash-sharf pada setengah dinar dan sah pada lima dirham (setengah dinar) yang diterima karena boleh ada pemisahan transaksi dalam jual beli tersebut.”
Jadi hadis-hadis di atas adalah khusus dengan ash-sharf. Barang-barang ribawi ini tidak boleh dijual pada keadaan ash-sharf (fî hâlati ash-sharfi), misal jual-beli emas dengan perak, kecuali tunai dan kontan (hâlan wa yadan biyadin). Adapun jual-belinya secara tidak tunai pada keadaan bukan ash-sharf (fî hâlati ghayri ash-sharfi) maka boleh. Orang boleh menjual emasnya secara tidak tunai. Demikian juga gandumnya, peraknya, dsb, yakni semua barang ribawi. Semuanya boleh dia jual secara tidak tunai dan secara kontan pada bukan keadaan ash-sharf. Adapun pada keadaan ash-sharf seperti emas dengan perak, atau dengan uang, maka tidak boleh kecuali kontan dan tidak boleh tidak tunai.
Maka dari itu, terkait emas dan perak dapat dirangkum tata cara penjualannya: Pertama, jika pada keadaan ash-sharf, yaitu emas, perak, uang, diperjualbelikan satu sama lain, maka jika sejenis harus sama dan jika berbeda boleh saling berlebih, dan dalam semua itu harus tunai terjadi serah-terima di majelis akad. Jika tidak maka riba dan batil.
Kedua, jual-beli emas, perak, uang dengan empat barang ribawi (kurma, gandum, jelay dan garam) boleh secara tidak tunai dalam skema jual beli as-salam yang mana emas, perak, uang diserahkan tunai sedangkan kurma, gandum, jelay atau garam diserahkan setelah tempo yang jelas. Boleh juga dalam skema jual-beli secara kredit, yang mana emas, perak atau uang, yakni harga, diserahkan setelah tempo yang jelas, baik jual-beli secara kredit itu disertai agunan atau tidak disertai agunan.
Ketiga, penjualan emas, perak, atau uang dengan selain enam barang ribawi (selain emas, perak, uang, kurma, gandum, jelay, garam) boleh secara tunai atau secara tidak tunai. Misalnya, emas dijual dengan beras, kain, permata, dll, secara tidak tunai maka boleh.
WalLâh a’lam wa ahkam. [Yahya Abdurrahman]

