Tadlis Dalam Jual Beli (Manipulasi Barang Dagangan) bentuk kedua
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَال: …وَلَا تُصَرُّوا الْإِبِلَ وَالْغَنَمَ، فَمَنِ ابْتَاعَهَا بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ بِخَيْرِ النَّظَرَيْنِ بَعْدَ أَنْ يَحْلُبَهَا، فَإِنْ رَضِيَهَا أَمْسَكَهَا، وَإِنْ سَخِطَهَا رَدَّهَا وَصَاعًا مِنْ تَمْرٍ
Dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw bersabda:
“…Janganlah kalian membiarkan unta dan domba tidak diperah (sebelum dijual). Siapa saja yang membelinya setelah itu, ia boleh memilih yang lebih baik di antara dua pilihan setelah ia memerahnya: jika ia meridhainya, ia boleh mempertahankannya; dan jika ia tidak menyukainya, ia boleh mengembalikannya dan satu sha’ kurma.” (HR Malik, asy-Syafi’iy, Muslim no 1515, Ahmad no. 10004, Abu Dawud no. 3443, Ibnu Hibban no. 4970, al-Baihaqi di Sunan ash-Shaghîr no. 1924, ad-Daraquthni no. 3075).
Hadis ini juga diriwayatkan dengan redaksi sedikit berbeda:
لاَ تُصَرُّوْا اْلإِبِلَ وَالْغَنَمَ فَمَنْ اِبْتَاعَهَا بَعَدُ فَإِنَّه بِخَيْرِ النَّظَرَيْنِ بَعْدَ اَنْ يَحْتَلِبَهَا اِنْ شَاء أَمْسَكَهَا وَاِنْ شَاءَ رَدَّهَا وَصَاعاً مِنْ التَّمْرِ
“Janganlah kalian membiarkan unta dan domba tidak diperah (sebelum dijual). Siapa saja yang membelinya, ia boleh memilih yang lebih baik di antara dua hal setelah ia memerahnya: jika ia ingin, ia boleh mempertahankannya; jika ia ingin, ia boleh mengembalikannya dan satu sha’ kurma (HR al-Bukhari no. 2148 dan Ahmad no. 7305)
Hadis di atas melarang at-tashriyah terhadap unta dan kambing sebelum dijual. Para ulama juga memasukkan sapi dalam hukum keduanya ini. At-Tashriyah dijelaskan oleh Imam al-Kharthabi (w. 388 H) di dalam Ma’âlim as-Sunan Syarhu Sunan Abî Dâwud dengan mengutip Imam asy-Syafi’i (w. 204 H) yang berkata: “At-Tashriyah adalah ternak unta dan kambing diikat dan dibiarkan tidak diperah selama dua dan tiga hari sampai susunya terkumpul sehingga pembelinya melihatnya banyak dan meningkatkan harganya karena terlihat banyak susunya, maka jika ia memerahnya setelah itu satu dan dua kali pemerahan, dia tahu bahwa itu bukan susunya dan ini merupakan gharar untuk pembeli.”
Intinya at-tashriyah itu adalah membiarkan unta, kambing atau sapi tidak diperah susunya beberapa hari agar terkumpul di ambingnya sehingga tampak air susunya banyak. Hal itu memberi kesan pada orang yang akan membeli sehingga ia menganggap produksi susu hewan itu banyak atau seperti yang terlihat itu tiap harinya, sehingga ia terdorong untuk membelinya dengan anggapannya itu.
Jadi at-tashriyah itu merupakan treatment terhadap barang yang dijual dengan dua maksud: Pertama, memperlihatkan barang itu memiliki kualitas, fungsi atau spesifikasi lebih dari yang sebenarnya atau semestinya. Hal itu berpengaruh pada peningkatan harganya. Kedua, membuat calon pembeli memiliki anggapan dan penilaian atas barang itu seperti yang diperlihatkan itu, yang sebenarnya lebih dari kondisi senyatanya atau sebenarnya, sehingga ia terdorong untuk membelinya.
Imam Ibnu Baththal (w. 449 H) di dalam Syarhu Shahîh al-Bukhârî li Ibni Baththâl menukil al-Muhallab yang mengatakan, hadis ini merupakan asal dalam pengembalian karena aib dan ad-dalsah (manipulasi). Sebabnya, susu itu jika ditahan di ambingnya beberapa hari, tidak diperah, maka si pembeli menduga bahwa kondisinya seperti itu setiap hari sehingga ia terperdaya.”
Imam Ibnu Abdi al-Barr (w. 469 H) di at-Tamhîd limâ fî al-Muwatha‘ min al-Ma’ânî wa al-Asânîd menyatakan, hadis ini asal dalam larangan penipuan (al-ghisyyu) dan asal pada orang yang terperdaya dengan aib itu, atau dia menemukan aib dengan apa yang dia beli bahwa ia memiliki pilihan dalam mempertahankan atau mengembalikan barang.
Adapun satu sha’ kurma dalam hadis di atas merupakan kompensasi nilai susu yang diperah oleh si pembeli ketika dia mengembalikan unta, kambing atau sapi itu. Mula al-Qari (w. 1014 H) di dalam Mirqâtu al-Mafâtîh Syarhu Misykâti al-Mashâbîh menyatakan, yakni kompensasi dari susunya karena sebagian susu itu terjadi dalam kepemilikan si pembeli dan sebagiannya merupakan barang yang dijual, dan karena tidak adanya pembedaannya maka terhalang pengembaliannya dan dikembalikanlah nilainya. Karena itu Asy-Syâri’ mewajibkan satu sha’ untuk memutus perselisihan dari setiap pandangan pada sedikit dan banyaknya itu.
Menurut para ulama dan fuqaha praktik at-tashriyah itu merupakan satu dari dua bentuk at-tadlîs (kecurangan/manipulasi) barang dagangan. Hal itu seperti yang dikatakan oleh Muhammad bin Abi al-Fatah al-Ba’li di dalam Al-Muthalli’ ‘alâ Abwâb al-Fiqhi bâb khiyâr at-tadlîs, bahwa tadlîs yang haram dan menetapkan khiyaar ada dua bentuk: Pertama, tadlîs yang meningkatkan harga meski tidak ada aib seperti memerahi wajah hamba sahaya perempuan, menghitamkan rambutnya dan semacamnya; juga seperti membiarkan susu tetap di ambingnya tidak diperah. Kedua, menutupi aib.
Dalam tadlîs bentuk ini, tidak ada aib/cacat dalam barang. Dalam tadlîs bentuk ini yang ada adalah treatment (perlakuan) terhadap barang yang dapat membuat barang tersebut terlihat memiliki kualitas, fungsi, spesifikasi atau lainnya, lebih dari yang sebenarnya. Contoh lain tadlîs bentuk ini: merekondisi barang sehingga tampak seolah-olah baru atau belum lama dipakai, mematikan speedometer dan baru dihidupkan lagi saat mau dijual atau memutarnya sehingga terlihat kilometernya masih rendah, mengecat ulang bodi mobil, mengganti casing HP dengan casing baru, dsb. Semua itu dapat membuat calon pembeli mengganggap kondisi barang lebih dari yang sebenarnya dan terdorong membelinya.
Hadis di atas sekaligus menyatakan, orang yang terperdaya/tertipu, yakni terkena at-tadlîs, saat dia mengetahui kondisi barang yang sebenarnya, maka dia memiliki satu dari dua opsi: Pertama, mempertahankan barang, yakni dia rela dengan barang itu dengan harga yang dia bayarkan. Kedua, mengembalikan barang itu dan meminta kembali harga yang dia bayarkan. Artinya, dia boleh membatalkan jual-beli itu.
Hadis di atas hanya memberikan dua opsi itu. Tidak ada opsi lainnya. Jadi pembeli yang terperdaya/tertipu itu tidak boleh tetap mempertahankan barang itu dan meminta pengembalian sebagian harga yang dia bayarkan, yakni selisih antara harga yang dia bayarkan dengan harga barang dengan kondisi yang sebenarnya itu.
WalLâh a’lam wa ahkam. [Yahya Abdurrahman]