Opini

Kapitalisme Hancurkan Alam

Viral video penambangan nikel di sejumlah pulau di Kepulauan Raja Ampat. Hal ini memicu kemarahan publik. Keindahan alam dan kekayaan ekosistem laut yang selama ini menjadi kebanggaan Indonesia justru digerus oleh ambisi eksploitasi sumber daya alam. Tidak lain demi mengejar target hilirisasi nikel. Padahal Raja Ampat bukan sembarang wilayah. Ia adalah rumah bagi 75% spesies laut dunia, pusat biodiversitas laut global, serta telah diakui UNESCO sebagai Global Geopark.

Hashtag #SaveRajaAmpat menjadi seruan moral atas ancaman nyata terhadap kawasan konservasi ini. Sayang, suara rakyat hanya dianggap angin lalu. Pemerintah, melalui Kementerian ESDM, justru bersikap pasif dan menyatakan bahwa Izin Usaha Pertambangan (IUP) telah terbit sebelum masa jabatan saat ini. Sikap ini memperlihatkan betapa lemah komitmen negara dalam melindungi alam demi kepentingan jangka panjang.

Padahal secara hukum, Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 melarang aktivitas tambang di wilayah pesisir dan pulau kecil seperti Raja Ampat. Secara ekonomi, potensi lestari dari sektor pariwisata justru jauh lebih menjanjikan. Kontribusi sektor pariwisata mencapai Rp150 miliar pertahun dan melibatkan ribuan masyarakat lokal. Artinya, tambang nikel bukan hanya melanggar hukum, tetapi juga mengorbankan ekonomi berkelanjutan yang sudah terbukti manfaatnya.

Tambang nikel bukan hanya terjadi di Raja Ampat. Di Sulawesi, Maluku, Papua dan NTB, masyarakat lokal menjadi korban dari air tercemar, kerusakan hutan dan konflik agraria. Semua ini menunjukkan pola eksploitasi sistemik dalam kerangka ekonomi kapitalisme. Sistem ini menjadikan SDA sebagai komoditas yang hanya menguntungkan segelintir elit pemodal, sementara rakyat menuai penderitaan jangka panjang.

Kapitalisme menempatkan negara sekadar sebagai fasilitator investor. Pemerintah bukan lagi pengurus rakyat, tetapi pelayan modal. Rakyat hanya dijadikan objek proyek, sementara pengusaha besar menikmati cuan dari tanah dan laut yang seharusnya menjadi milik bersama. Negara abai terhadap dampak sosial, ekologis dan budaya dari ekspansi industri tambang.

Berbeda halnya dalam sistem Islam. Dalam Islam, penguasa adalah raa’in, yakni pengurus yang bertanggung jawab penuh terhadap rakyat. Laut, pulau dan tambang adalah harta milik umum. Tidak boleh dimonopoli oleh individu atau swasta. Negara wajib mengelola tambang atas nama umat. Hasilnya digunakan untuk kepentingan rakyat. Tidak ada ruang untuk privatisasi aset milik umum.

Dalam Khilafah, tambang skala besar seperti nikel dikategorikan sebagai milik umum berdasarkan sabda Nabi saw., “Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput dan api.” (HR Abu Dawud).

Artinya, Negara hanya menjadi pelaksana amanah. Bukan penjual izin kepada korporasi asing maupun lokal.

Kebijakan Islam bukan hanya menjaga keadilan distribusi kekayaan, tetapi juga menjaga keberlanjutan alam dan kelestarian lingkungan. Hanya dengan sistem Islam yang menerapkan syariah secara menyeluruh (kâffah), aset rakyat seperti Raja Ampat bisa dijaga dan dikelola dengan adil dan bijak.

Kerusakan sistemik tidak bisa diatasi dengan solusi tambal-sulam. Butuh perubahan menyeluruh dalam paradigma dan tata kelola. Khilafah Islam bukan utopia, tetapi sistem nyata yang telah terbukti berabad-abad menjaga alam, aset publik dan menyejahterakan umat manusia. [Anwar Rosadi (Speak Up Forum)]

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

3 × two =

Back to top button