
Negara Khilafah Masa Depan, Menjawab Tantangan Ekonomi Global
Dalam menghadapi tantangan besar seperti perang tarif yang diprakarsai oleh Presiden Trump dan genosida Gaza yang terus berlanjut, umat Islam harus berpikir lebih besar dan lebih jauh. Negeri-negeri Islam, jika bersatu dan menggabungkan kekuatan ekonomi dan politik mereka, memiliki potensi untuk mengubah peta kekuatan global. Dunia Islam bahkan bisa mengatasi ketidakadilan yang disebabkan oleh kebijakan luar negeri yang agresif, seperti kebijakan Trump. Umat Islam dapat membangun solidaritas yang kuat, mengatasi perbedaan sektarian dan kepentingan politik yang sering kali membelah mereka, untuk bersama-sama menghadapi tantangan global yang semakin kompleks.
Potensi Ekonomi Bersama
Perang tarif yang dihadapi oleh negara-negara berkembang, termasuk negara-negara Muslim, menunjukkan ketimpangan besar dalam sistem perdagangan global yang dikuasai oleh negara-negara besar. Namun, jika negeri-negeri Islam bersatu dan menyatukan potensi ekonomi mereka, mereka memiliki kemampuan untuk menciptakan pasar bersama yang besar. Ini dapat mengurangi ketergantungan mereka pada sistem perdagangan yang tidak adil. Pasar Bersama Islam akan memberikan kekuatan tawar yang lebih besar dalam menghadapi kebijakan proteksionisme dari negara-negara besar seperti Amerika Serikat.
Lebih dari itu, negeri-negeri Islam dapat mengembangkan Mata Uang Bersama. Ini akan memitigasi ketergantungan pada dolar AS dan mengurangi kerugian akibat fluktuasi mata uang global yang dikuasai oleh negara-negara besar. Mata uang bersama ini akan meningkatkan stabilitas ekonomi negara-negara Muslim dan memberi mereka kontrol lebih besar atas sumber daya finansial mereka, sekaligus mengurangi kerentanannya terhadap sanksi dan tekanan ekonomi dari kekuatan besar.
Kekuatan Politik Bersama
Dengan kekuatan ekonomi yang semakin solid, negeri-negeri Islam juga harus menyatukan kekuatan politik mereka untuk mengakhiri krisis Palestina yang sudah berlangsung puluhan tahun. Krisis Gaza bukan hanya masalah Palestina semata, tetapi masalah global yang harus dipandang melalui lensa keadilan dan kemanusiaan. Negeri-negeri Islam, dengan potensi politik bersama, memiliki kapasitas untuk menerapkan embargo terhadap Israel, sehingga memutuskan hubungan ekonomi, diplomatik dan militer yang mendukung penjajahan Israel terhadap Palestina.
Dengan kekuatan politik bersama, negeri-negeri Islam dapat mendesak dunia internasional untuk mengakui kedaulatan Palestina dan mendukung upaya mereka untuk bebas dari penjajahan. Penjajahan Israel harus diakhiri dengan pendekatan yang lebih terorganisir, sistematis dan berani. Tidak hanya melalui resolusi PBB, tetapi dengan kekuatan nyata yang datang dari kesatuan politik dan ekonomi Dunia Islam.
Melepas Kepentingan Egoistis
Namun, untuk mencapai semua itu, negeri-negeri Islam harus melepaskan kepentingan egoistis nasionalistis yang selama ini menjadi penghalang utama dalam menciptakan kesatuan politik dan ekonomi dunia Islam. Setiap negara harus berani mengesampingkan kepentingan individu atau kelompok tertentu dan berfokus pada kebaikan umat secara keseluruhan. Kepentingan pribadi para penguasa yang mementingkan kekuasaan dan stabilitas rejim mereka harus dikurangi demi kepentingan bersama.
Mereka yang masih menganut politik diktator harus sadar bahwa masa depan umat Islam bergantung pada persatuan visi dan kekuatan demi kebaikan bersama. Dengan kesatuan politik, ekonomi dan sosial, Dunia Islam dapat menciptakan keadilan global, termasuk kemerdekaan Palestina dan kesejahteraan umat secara menyeluruh.
Khilafah Masa Depan
Krisis global, ketimpangan dan perubahan geopolitik telah menggugat validitas kapitalisme sebagai poros ekonomi dunia. Pasca pandemi dan perang dagang, pasar bebas terbukti rapuh dalam menjamin keadilan. Di tengah ketimpangan yang kian parah, muncul kembali wacana alternatif, termasuk sistem ekonomi Islam dalam bingkai Khilafah sebagaimana dirumuskan Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, seorang pemikir politik Islam dari Palestina dan pendiri Hizbut Tahrir.
Tulisan ini mencoba merekonstruksi bagaimana konsep Khilafah Islamiyah yang ditawarkan An-Nabhani dapat menjawab tantangan ekonomi global kontemporer, dengan memperkaya pembahasan melalui data dan tren mutakhir dari lembaga-lembaga global seperti World Economic Forum (WEF), FAO, GATT, UNIDO, serta menganalisis dinamika global termasuk kebijakan tarif era Trump dan kebangkitan ekonomi Cina.
Dalam karya monumentalnya, An-Nizhâm al-Iqtishâdi fî al-Islâm (Sistem Ekonomi Islam), An-Nabhani menegaskan bahwa krisis ekonomi yang terjadi di dunia modern bukanlah sekadar kegagalan teknis, melainkan kegagalan sistemik. Kapitalisme, menurut beliau, melahirkan tiga bentuk ketidakadilan mendasar:
- Distribusi Kekayaan yang Tidak Adil.
Kapitalisme fokus pada produksi, tetapi abai pada distribusi. Ini membuat yang kaya makin dominan dan yang miskin makin terpinggirkan. Data WEF 2024 menunjukkan 1% penduduk dunia menguasai 43% kekayaan, sementara lebih dari separuh hidup dengan kurang dari $10 perhari. Ketimpangan ini bahkan tajam di negara maju seperti AS, antara kulit putih kaya dan minoritas.
- Ketergantungan pada Sistem Utang Riba.
Bank Dunia dan IMF menjadi alat pengikat utang bagi negara berkembang. An-Nabhani menyebut riba sebagai instrumen kolonialisme ekonomi. Laporan Jubilee Debt Campaign (2023) mencatat 52 negara terancam gagal bayar, diperburuk oleh utang bersyarat politik seperti pengakuan Israel atau pencabutan subsidi.
- Ketidakstabilan Uang Fiat.
Uang kertas tanpa cadangan emas atau perak menyebabkan krisis moneter berulang. Inflasi, devaluasi dan krisis likuiditas adalah produk logis dari sistem fiat money. Contoh nyatanya adalah krisis Argentina dan Turki yang terus mengalami pelemahan nilai tukar mata uang nasional mereka terhadap dolar AS.
Sosialisme pun gagal memberikan kesejahteraan yang adil dan berkelanjutan karena mendasarkan ekonomi pada kepemilikan negara secara total, yang menghilangkan inisiatif individu dan menciptakan birokrasi ekonomi yang stagnan.
Pilar Ekonomi Khilafah
An-Nabhani membangun sistem ekonomi Islam yang khas, berbeda dari kapitalisme maupun sosialisme. Ia mendasarkan sistem ini pada nash-nash syar’i dan mendesainnya sebagai solusi sistemik. Pilar-pilarnya antara lain:
- a) Kepemilikan dalam Tiga Bentuk.
Dalam sistem Khilafah, kepemilikan dibagi menjadi: (1) Kepemilikan individu, yang diakui dan dijaga selama tidak bertentangan dengan ketentuan syariah; (2) Kepemilikan umum (milkiyyah ‘âmmah), seperti sumber daya air, tambang besar, dan energi, yang tak boleh dimiliki individu atau swasta; (3) Kepemilikan negara, yang meliputi tanah kharajiyah, fai’, dan hasil pengelolaan milik umum.
Dengan pembagian ini, negara menjamin keterlibatan masyarakat dalam sektor-sektor vital tanpa membiarkan swasta menguasai sektor strategis secara eksklusif.
- b) Sistem Pembiayaan Publik Tanpa Pajak.
An-Nabhani dengan tegas menolak sistem perpajakan tetap. Negara dibiayai dari sumber-sumber syar’i seperti zakat, khusus bagi Muslim; kharâj dan jizyah; fa’i, ghanîmah, ‘usyûr, dan pengelolaan milik umum; serta harta warisan tanpa ahli waris dan sebagainya.
Jika terjadi krisis pembiayaan, negara dapat menarik dana dari kaum Muslim yang kaya secara temporer, bukan sebagai pajak tetap.
- c) Mata Uang Berbasis Dinar dan Dirham.
Sistem moneter Khilafah berbasis dinar dan dirham menjamin stabilitas harga dan mencegah inflasi akibat cetak uang berlebihan. Gagasan An-Nabhani ini sejalan dengan pandangan sejumlah ekonom modern yang mendukung standar emas untuk mencegah manipulasi moneter.
- d) Kebijakan Perdagangan Luar Negeri.
Khilafah hanya berdagang dengan negara non-harbi fi’lan, menghentikan dominasi impor negara adidaya dan mendorong perdagangan antarnegara Muslim. Ini memperkuat pasar bersama umat Islam dan mengurangi ketergantungan pada sistem global Barat.
Konteks Global
- a) Kebijakan Trump dan Gejolak Global.
Tarif Tinggi dari Trump berpotensi menyebabkan penurunan volume perdagangan global sebesar hampir 9%. Negara-negara berkembang kehilangan akses pasar utama. Perusahaan multinasional memindahkan basis produksinya dari Cina ke Asia Tenggara.
Proteksionisme ini mengindikasikan bahwa negara-negara besar tidak benar-benar mempercayai mekanisme pasar bebas. Sistem Khilafah, yang memang berbasis ideologi dan bukan sekadar efisiensi ekonomi, dapat lebih tahan terhadap fluktuasi seperti ini.
- b) Kebangkitan Cina: Alternatif/Ancaman?
Cina melalui BRI menawarkan pinjaman dan proyek infrastruktur bagi negara-negara berkembang. Namun, realitasnya, proyek-proyek ini sering menyebabkan ketergantungan fiskal dan utang jangka Panjang. Banyak negara terjebak dalam diplomasi utang (debt trap diplomacy), seperti Sri Lanka dengan pelabuhan Hambantota.
UNIDO 2024 menunjukkan bahwa hanya sedikit negara penerima BRI yang naik kelas dalam rantai nilai industri global. Ini menunjukkan bahwa model pembangunan Cina tetap berbasis kapitalisme negara, bukan solusi distribusi yang adil.
Ketahanan Pangan & Industri dalam Khilafah
- a) Krisis Pangan Global dan Solusi Khilafah.
FAO 2023 melaporkan lebih dari 828 juta orang kelaparan. Di negara-negara Muslim, kelaparan bukan karena produksi yang kurang, melainkan distribusi dan kepemilikan tanah yang timpang.
Khilafah akan menerapkan revitalisasi tanah mati dengan program ihyâ’ al-mawât; penghapusan sistem riba dan penguasaan lahan oleh korporasi besar; penguatan hasil pertanian lokal dan distribusi berbasis komunitas; pengawasan terhadap pasar untuk mencegah ihtikar dan monopoli.
- b) Kebangkitan Industri Strategis.
An-Nabhani menganggap industri berat sebagai fardhu kifayah bagi negara. Khilafah akan mengembangkan teknologi dalam negeri melalui pendidikan dan riset; melatih tenaga kerja terampil yang berakidah Islam; membangun sektor militer, dirgantara, dan energi secara mandiri; menggunakan zakat dan dana milik umum untuk pengembangan industri ini.
UNIDO mencatat bahwa negara-negara Islam hanya menyumbang 5% dari ekspor manufaktur global. Ini akan menjadi prioritas dalam sistem Khilafah.
Potensi Khilafah sebagai Aktor Ekonomi Global
Jika Khilafah berdiri dan mempersatukan Dunia Islam maka tersedia: populasi 1,9 miliar (25% dunia); sumber daya energi: 70% cadangan minyak dan gas dunia; wilayah strategis: Selat Hormuz, Bab el-Mandeb, Terusan Suez, Selat Malaka; potensi pertanian: lembah Nil, Indus dan dataran Mesopotamia, Indonesia; potensi teknologi: insinyur dan ilmuwan Muslim diaspora yang dapat kembali berkontribusi.
Dengan potensi itu, Khilafah dapat menciptakan sistem perdagangan intra-Darul Islam; mendirikan Bank Pembangunan Islam berbasis syariah dan emas; menjadi alternatif bagi WTO, IMF, dan Bank Dunia; mempromosikan diplomasi ekonomi berbasis akhlak dan bukan hegemoni.
Mimpi Utopis atau Rencana Rasional?
Gagasan Khilafah sering dianggap utopis. Padahal sistem Khilafah bersifat sistemik dan realistis jika didukung tekad politik dan kesadaran umat. Krisis global menunjukkan perlunya sistem baru. Ekonomi Islam dalam bingkai Khilafah bukan hanya normatif, tetapi solutif. Dengan akidah, syariah dan kekuatan geopolitik, Khilafah bisa menjadi pilar keadilan dunia. Jika negeri-negeri Islam bersatu, mereka tak hanya mampu menghadapi perang tarif dan dominasi global, tapi juga membebaskan Palestina dan membentuk tatanan dunia yang lebih adil.
WalLâhu a’lam. [Prof. Dr. Fahmi Amhar (Peneliti Perhimpunan Intelektual Muslim Indonesia)]
Referensi:
FAO. The State of Food Security and Nutrition in the World, 2023.
IEA. Global Energy Outlook, 2023.
IMF & World Bank Debt Sustainability Reports, 2022–2024.
Jubilee Debt Campaign. Global Debt Crisis Report, 2023.
Oxford Economics. The Future of Trade and Industry, 2024.
Pew Research Center. Global Muslim Population Trends, 2023.
Taqiyuddin An-Nabhani. Nizham al-Iqtishadi fî al-Islam, As-Siyasah al-Iqtishadiyah, Muqaddimah ad-Dustur.
UNIDO. Industrial Development Report, 2024.
World Economic Forum (WEF). Global Risks Report, 2024.
WTO/GATT. Annual Trade Statistics Review, 2021.