
Meringkus Makelar Kasus
Makelar Kasus di Indonesia
Sistem hukum dan peradilan sekuler benar-benar menjadi “surga” bagi mafia peradilan, khususnya para markus (makelar kasus). Istilah makelar kasus merujuk pada orang atau pihak yang berperan sebagai perantara dalam merekayasa suatu kasus hukum dengan tujuan mendapatkan keuntungan pribadi. Para makelar kasus biasanya memanfaatkan posisi dan kedudukannya dan atau kedekatannya dengan pejabat yang memiliki kewenangan di dalam institusi penegak hukum seperti kejaksaan, pengadilan, kepolisian hingga para advokat.
Para markus ini biasanya menawarkan “jasa” kepada para pihak yang terlilit kasus hukum. Mereka adalah para pihak yang bersengketa dalam perkara perdata ataupun terlibat dalam kasus pidana. Mulai proses penyelidikan, penyidikan, bahkan ketika sudah ditetapkan sebagai tersangka, hingga terdakwa. Semua proses itu tidak luput dari sasaran para makelar kasus.
Berbagai “jasa” ditawarkan para markus; mulai membatalkan penetapan sebagai tersangka, membebaskan seseorang dari penahanan, mempercepat proses hukum, mengurangi hukuman atau denda hingga memenangkan sengketa. Pihak yang terlibat kasus hukum terpaksa atau sukarela akan mengeluarkan sejumlah uang untuk menyuap aparat penegak hukum agar permintaannya dikabulkan.
Di Indonesia kasus suap dan korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum angkanya cukup tinggi. Pada akhir 2022 tercatat ada 25 hakim terjerat kasus korupsi, jaksa ada 11 orang dan polisi 3 orang. Pada 2023, Komisi Yudisial mengusulkan 45 hakim untuk diberi sanksi karena berbagai pelanggaran, seperti manipulasi fakta persidangan, bersikap tidak profesional, menerima suap, dan kasus lainnya. Menurut laporan dari Komisi Kejaksaan, pada tahun 2023, sebanyak 16 jaksa dilaporkan karena kasus suap dan penyalahgunaan wewenang.
Faktor Penyebab
Banyaknya aparat penegak hukum yang terungkap dan terlibat dalam jaringan mafia peradilan, khususnya sebagai makelar kasus, seperti fenomena gunung es. Fakta yang terungkap hanya sebagian kecil daripada fakta yang sebenarnya terjadi. Makelar kasus ini sudah seperti jaringan mafia yang ada hampir di semua lembaga penegak hukum. Ada di berbagai tingkatan; mulai dari level paling bawah hingga makelar kasus kelas kakap di level tertinggi dan beroperasi selama bertahun-tahun lamanya.
Ada beberapa faktor penyebab banyaknya makelar kasus. Di antaranya:
Pertama, sistem kehidupan sekuler materialistis. Di dalam sistem ini, agama dipisahkan bahkan dijauhkan dari kehidupan, Akibatnya, cara pandang masyarakat, termasuk aparat penegak hukum, bukanlah aqidah Islam. Standarnya bukan syariah Islam (halal dan haram), melainkan hanya manfaat. Penerapan sistem kehidupan yang sekuler hanya akan melahirkan masyarakat yang ketakwaannya sangat lemah. Mereka bahkan dapat menggadaikan aqidah mereka untuk mencapai kepentingan mereka.
Selain itu standar kebahagiaan masyarakat sekuler hanyalah saat kesenangan materi terpenuhi. Bukan ridha Allah SWT. Karena itu masyarakat sekuler cenderung menghalalkan berbagai cara demi meraih kesenangan pribadi dan keuntungan materi. Tak peduli halal-haram. Dari sini lahirlah kehidupan masyarakat yang materialistis bahkan oportunis. Saat demikian suap-menyuap, korupsi dll akan tumbuh subur di tengah kehidupan masyarakat.
Kedua, pejabat yang rakus dan serakah. Kehidupan masyarakat yang sekuler-materialistis juga akan melahirkan para pejabat yang serakah. Mereka hanya berorientasi menumpuk harta kekayaan. Sama sekali tidak memiliki jiwa melayani masyarakat. Para pejabat yang serakah akan memburu jabatan walaupun harus mengeluarkan sejumlah uang. Sudah menjadi rahasia umum, banyak pejabat, termasuk aparat penegak hukum, untuk sekadar menduduki “jabatan basah” di sebuah instansi, harus merogoh kocek dalam-dalam yang diberikan kepada atasan atau pihak yang memiliki kewenangan menempatkan mengatur jabatan seseorang. Jadi sangat wajar, jika saat menjabat, ia akan mencari cara agar uang yang sudah dikeluarkan harus kembali, bahkan terus berupaya memperkaya diri, walaupun dengan cara-cara licik dan haram.
Dalam hal makelar kasus, berlaku hukum ekonomi, yakni ada permintaan dan penawaran. Banyak masyarakat yang materalistis bahkan oportunis yang terlibat kasus hukum. Mereka kemudian bertemu dengan aparat penegak hukum yang rakus dan serakah. Lalu terjadilah transaksi haram, makelar kasus.
Ketiga, tidak adanya pengawasan melekat para pejabat dan aparat. Di Indonesia, untuk mengantisipasi dan melakukan pengawasan terhadap aparat hukum dibentuklah berbagai macam komisi sebagai state auxilary bodies antara lain Komisi Ombudsman Nasional, Komisi Hukum Nasional, dan KPK. Dibentuk pula lembaga pengawasan eksternal lembaga penegak hukum, yakni Komisi Yudisial. Lembaga ini memiliki kewenangan melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim di seluruh tingkat peradilan. Ada pula Komisi Kejaksaan. Komisi ini memiliki kewenangan melakukan pengawasan, pemantauan serta evaluasi terhadap kinerja dan perilaku jaksa dan pegawai Kejaksaan. Ada pula Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). Lembaga ini dibentuk untuk mendukung perwujudan Polri yang profesional, transparan dan akuntabel. Tentu guna melindungi dan melayani masyarakat secara optimal.
Pertanyaannya, apakah lembaga tersebut efektif menekan atau menghilangkan praktik makelar kasus? Ternyata tidak. Pasalnya, selain para pengawasnya pun berada di dalam sistem yang korup, permasalahan mendasarnya justru karena tidak adanya pengawasan yang melekat yang berdimensi ruhiyah. Akibat dari penerapan sistem hukum dan peradilan sekuler yang menafikan syariah Islam dan keberadaan Allah SWT, para pejabat termasuk aparat penegak hukum tidak merasa diawasi oleh Allah SWT. Akhirnya, mereka banyak melakukan sesuatu tanpa memperhatikan benar-salah, baik-buruk apalagi halal-haram.
Keempat, peradilan berjenjang dan prosedur yang berbelit-belit. Di Indonesia, struktur peradilan didesain berjenjang; mulai dari Pengadilan Negeri (PN), Pengadilan Tinggi (PT) hingga Mahkamah Agung (MA). Dengan adanya struktur ini, diharapkan terdapat mekanisme pengawasan dan koreksi pada putusan pengadilan yang dianggap kurang tepat atau tidak adil, melalui upaya banding dan kasasi. Mekanisme tersebut diharapkan bisa menghasilkan kepastian hukum dan keadilan.
Faktanya, yang terjadi justru sebaliknya. Tidak ada yang namanya ketidakpastian hukum. Pasalnya, keputusan hukum dapat berubah-ubah sesuai dengan jenjang peradilan. Mekanisme ini juga akan berujung pada simpang-siurnya keputusan hukum. Kepastian hukum yang didambakan masyarakat pun semakin lama diwujudkan karena harus melalui jenjang peradilan yang berbelit dan panjang. Fenomena inilah yang dengan cepat disergap oleh mafia peradilan. Di antaranya dengan menawarkan rekayasa kasus kepada pihak yang terlibat kasus hukum.
Kelima, kontrol masyarakat yang lemah dan apatis. Di Indonesia, kontrol masyarakat terhadap Pemerintah dan aparat penegak hukum dinilai sangat lemah. Masyarakat bahkan cenderung apatis. Apalagi ada pandangan sebagian pejabat yang menilai orang yang melakukan kritik dan koreksi sebagai musuh negara. Mereka “harus ditertibkan”. Masyarakat juga apatis karena melihat bahwa pelaku suap menyuap dan korupsi sering tidak dihukum dengan adil atau bisa “lepas” dari jerat hukum. Fakta tersebut menjadikan mereka merasa bahwa usaha melaporkan atau mengawasi para pejabat dan aparat menjadi sia-sia.
Meringkus Makelar Kasus
Bagaimana solusi Islam mengatasi maraknya makelar kasus? Pertama: Penerapan syariah Islam secara kâffah dalam semua aspek kehidupan. Ini akan mewujudkan masyarakat yang memiliki ketakwaan individu, juga para pejabat serta aparat penegak hukum yang berintegritas. Di dalam sistem Islam, aparat penegak hukum dipastikan memahami bahwa integritas mereka dalam bertugas menjadi penentu status mereka kelak di akhirat, apakah di surga atau neraka. Integritas seorang pejabat dan aparat penegak hukum tentu lahir dari keimanan dan ketakwaan.
Dengan demikian asas paling kokoh bagi aparat penegak hukum dalam menjalankan tugasnya dengan amanah dan adil adalah iman dan takwa, bukan gaji atau fasilitas. Penghasilan yang besar atau fasilitas yang mewah bisa kalah oleh suap dan gratifikasi yang nilainya jauh lebih besar. Tanpa iman dan takwa, hakim juga bisa ditundukkan oleh kekuasaan atau ancaman.
Kedua: Para pejabat dan aparat penegak hukum di dalam Islam diangkat hanya untuk menerapkan hukum Allah SWT. Bukan hukum yang lain. Penerapan hukum Allah SWT akan menghadirkan kesadaran akan hubungan seorang hamba dengan Allah SWT (idrak shillah bilLâh). Dengan itu akan hadir pengawasan melekat, yakni merasa senantiasa diawasi oleh Allah SWT.
Ketiga: di dalam Negara Khilafah, para pejabat dan aparat penegak hukum, seperti hakim, akan diberi gaji yang layak untuk memenuhi kehidupan mereka. Mereka berhak atas gaji, rumah, kendaraan bahkan pembantu jika dibutuhkan. Dengan demikian peluang untuk menerima suap dan gratifikasi dapat dielakkan. Hal ini sebagaimana sabda Nabi saw:
مَنْ وَلِيَ لَنَا عَمَلًا وَلَيْسَ لَهُ مَنْزِلٌ, فَلْيَتَّخِذْ مَنْزِلًا, أَوْ لَيْسَتْ لَهُ زَوْجَةٌ فَلْيَتَزَوَّجْ, أَوْ لَيْسَ لَهُ خَادِمٌ فَلْيَتَّخِذْ خَادِمًا, أَوْ لَيْسَتْ لَهُ دَابَّةٌ فَلْيَتَّخِذْ دَابَّةً, وَمَنْ أَصَابَ شَيْئًا سِوَى ذَلِكَ فَهُوَ غَالٌّ
Siapa saja yang diserahi tugas untuk mengurus suatu pekerjaan untuk kami, sementara ia tidak memiliki rumah, hendaklah ia mengambil rumah; atau ia belum beristri, hendaklah ia menikah; atau ia tidak memiliki pembantu, hendaklah ia mengambil pembantu; atau ia tidak memiliki kendaraan, hendaklah ia mengambil kendaraan. Siapa saja yang mendapatkan sesuatu selain hal itu maka itu adalah kecurangan (HR Ahmad).
Keempat: Di dalam sistem hukum Islam, peradilan tidak dibuat berjenjang. Vonis hakim dalam pengadilan mengikat semua pihak yang terlibat di dalamnya secara mutlak. Tidak ada proses naik banding, kasasi atau Peninjauan Kasus (PK). Keputusan seorang qadliy (hakim) pada suatu perkara bersifat tetap. Keputusannya tidak dapat diganggu gugat, juga tidak dapat dibatalkan meski oleh khalifah (kepala negara) sekalipun, kecuali jika bertentangan dengan nas yang qath’i. Mekanisme peradilan Islam yang cepat dan sederhana inilah yang akan meminimalisasi kemunculan mafia peradilan.
Kelima: Khalifah akan menjatuhkan sanksi yang tegas kepada aparat penegak hukum seperti hakim, polisi dan yang lainnya yang menerima suap atau gratifikasi untuk merekayasa kasus hukum atau keputusan pengadilan. Para pelaku diancam dengan laknat Allah SWT. Sabda Nabi saw.:
لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي
Laknat Allah atas pemberi suap dan penerimanya (HR Ahmad).
Sebagai contoh, Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. dengan tegas melakukan audit terhadap harta para pejabatnya. Beliau juga menyita harta para pejabatnya yang dinilai berlebih dari seharusnya. Demikian seperti yang beliau lakukan atas kelebihan harta Abu Hurairah ra. Beliau juga menyita hadiah yang didapat Abu Sufyan dari pemberian Muawiyah, anaknya yang menjadi gubernur di Syam.
Keenam: Kuatnya pengawasan masyarakat. Salah satu ciri khas masyarakat Islam adalah kepeduliannya terhadap berjalannya pemerintahan yang bersih dari berbagai penyelewengan dan penyalahgunaan jabatan. Kepedulian ini lahir dari dorongan akidah Islam. Tentu agar penerapan syariah tidak dikotori oleh oknum pejabat yang merusak kehidupan masyarakat. Juga agar masyarakat dan pejabat selamat dunia akhirat. Salah satu cara agar para pejabat bertindak lurus, jujur dan amanah adalah dengan dakwah dan amar makruf nahi mungkar. Amar makruf nahi mungkar dilakukan agar para pejabat dan aparat penegak hukum senantiasa ada dalam jalan ketakwaan. Dengan begitu, ketika ada pejabat dan aparat penegak hukum yang menyalahgunakan jabatan, termasuk melakukan praktik suap-menyuap, menjadi makelar kasus, maka masyarakat secara otomatis akan melakukan koreksi serta amar makruf nahi mungkar. Ketika masyarakat melakukan pengawasan dan kontrol sosial dengan baik, hal itu akan mencegah atau mengurangi praktik curang yang dilakukan oleh aparat penegak hukum.
Khatimah
Alhasil, penyebab banyaknya aparat penegak hukum yang terlibat makelar kasus adalah karena kegagalan sistem hukum dan peradilan sekuler yang diberlakukan hari ini. Di dalam sistem hukum sekuler, aturan dibuat oleh manusia dengan kepentingan dan hawa nafsunya. Dada para aparat penegak hukum di dalam sistem sekuler dipastikan akan hampa dari keimanan dan ketakwaan. Akibatnya, tidak muncul rasa takut dalam diri mereka untuk melakukan perbuatan khianat dan curang.
Karena itu solusi yang akan dapat mengatasi aparat penegak hukum yang berlaku curang dan masyarakat yang oportunis adalah dengan menerapkan syariah Islam secara kaffah. Selain itu, jika kita merindukan pengadilan yang bersih dan mampu menciptakan keadilan hakiki, maka itu hanya ada pada sistem peradilan Islam yang menerapkan hukum-hukum Allah SWT di bawah naungan sistem pemerintahan Islam, yakni Khilafah.
WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. [Luthfi Afandi; Indonesia Justice Monitor]