Fokus

Makelar Kasus di Indonesia

Diduga “makelar kasus” berinisial ZR terbongkar. Dia dulu pernah menjabat sebagai Kepala Balitbang Diklat Kumdil di Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia. Ini tentu sangat mengejutkan. Pasalnya, MA merupakan garda terakkhir dari para pencari keadilan. Hal ini tidak dipandang remeh. Nilai uang yang ditemukan di rumahnya mencapai Rp 920 miliar. Nyaris Rp 1 Triliun! Kasus ini terbongkar dari hasil pengembangan operasi tangkap tangan oknum 3 (tiga) hakim di Pengadilan Negeri Surabaya yang memvonis bebas kasus Ronald Tanur, yang dilakukan oleh pihak Kejaksaan Agung.

Berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kasus suap maupun gratifikasi yang melibatkan Aparat Penegak Hukum yang ditangani KPK dari 2004-2024 yaitu: hakim sebanyak 31 orang, Jaksa 13 orang, Polisi 6 orang, Advokad/Pengacara 18 orang. Jadi semua tubuh institusi penegak hukum terkontaminasi korupsi suap ataupun gratifikasi. Secara keseluruhan data kasus suap/gratifikasi yang ditangani KPK selama 20 (dua puluh) tahun terakhir sebanyak 1.035 kasus dan pemerasan sebanyak 38 kasus1. Belum kasus yang ditangani oleh pihak Kepolisian dan Kejaksaan.

Mafia kasus atau mafia peradilan ini melibatkan semua komponen dalam sistem peradilan pidana. Inisiasinya dapat dimulai dari mereka yang berperkara dengan oknum aparat penegak hukum. Ini bisa terjadi pada setiap tahapan dalam sistem peradilan pidana. Dari tahap penyelidikan dan penyidikan oleh lembaga penegak hukum Kepolisian terjadi permainan. Mereka kasak-kusuk mencari celah. Mereka mencari oknum yang bisa mengurus agar kasusnya tidak dilanjutkan. Kalaupun dilanjutkan, dikenakan pasal ringan saja. Hal ini bisa dia lakukan sendiri atau melibatkan advokat (pengacara)-nya.

Begitu pula pada tingkat penuntutan di Kejaksaan. Inisiasi dapat terjadi dari pihak yang berperkara ataupun dari pihak oknum jaksa penuntut umum. Tujuannya agar mereka dilepaskan dari tuntutan atau dipasang pasal yang ringan dan tuntutan yang ringan. Sampai pada tahapan persidangan di Pengadilan, permainan terjadi agar terdakwa di putus bebas atau minimal di vonis ringan.

Terakhir pada saat di Lembaga Pemasyarakatan (LP). Di sini juga terjadi permainan, misalnya dalam penempatan sel atau ruangan. Ada sel mewah di LP. Ada juga yang bisa bebas di luar tanpa menjalani pidana. Lalu ketika ada sidak, baru mereka kembali ke LP. Begitu pula dalam hal mendapat hak remisi, asimilasi, cuti menjelang bebas, bebas bersyarat, dll. Semua dapat dinegosiasi.

Korupsi lainnya juga terjadi di eksekutif dan legislatif. Kita masih ingat kasus korupsi anggaran E-KTP sebesar Rp 5,9 triliun. Kasus ini diduga melibatkan beberapa anggota DPR-RI dan pejabat di Kementerian Dalam Negeri2.

Terkini ada kasus korupsi BTS 4G di Kementerian Komunikasi dan Informatika. Dugaan kerugian negaranya sebesar Rp 8,03T.

Mengenai korupsi yang dilakukan kepala daerah, KPK sepanjang 2004-2024 telah menangani korupsi di pemerintah kabupaten/kota sebanyak 618 Kasus3.

Adapun Kemenpan-RB memaparkan keterlibatan gubernur sebanyak 21 orang, wakil gubernur tujuh orang, bupati 156 orang, wakil bupati 46 orang, wali kota 41 orang, dan wakil wali kota 20 orang4.

Jumlah kasus dan tersangka yang kasus korupsi berdasarkan data dari Indonesia Corruption Wacht (ICW) selama 5 (lima) tahun terakhir: tahun 2018 sebanyak 454 kasus dengan tersangka 1.087 orang; tahun 2019 sebanyak 271 kasus dengan jumlah tersangka 580; tahun 2020 jumlah kasus sebanyak 444 dengan tersangka 875; tahun 2021 jumlah kasus 533 dengan jumlah tersangka 1.173 orang; dan tahun 2022 sebanyak 579 kasus dengan jumlah tersangka1.396 orang.

Jelas, problem mafia kasus atau mafia peradilan itu adalah problem sistemik. Tidak hanya dapat dilihat dari sisi adanya mafia ataupun makelar kasus.

 

Korupsi Terjadi Secara Sistemik

Korupsi merupakan kejahatan yang terstruktur, sangat utuh, mengakar kuat dan permanen sifatnya. Korupsi sudah merupakan bagian dari “sistem” yang ada. Karena itu suatu usaha yang maksimal bagi penegakan hukum, khususnya pemberantasan tindak pidana korupsi, harus dilakukan dengan pendekatan sistem, atau dikenal dengan istilah “Systemic Approach”.5

Problem korupsi merupakan permasalahan yang sangat sulit untuk diberantas oleh karena sangat kompleks. Menurut Barda Nawawi Arif, hal tersebut disebabkan karena korupsi berkaitan erat dengan kompleksitas masalah lain seperti: masalah sikap mental/moral, masalah pola/sikap hidup dan budaya sosial, masalah kebutuhan, tuntutan ekonomi dan struktur/sistem ekonomi, masalah struktur/budaya politik, masalah peluang dalam mekanisme pembangunan atau kelemahan birokrasi/prosedur administrasi (termasuk sistem pengawasan) di bidang keuangan dan pelayanan umum6.

Berdasarkan teori sistem hukum menurut Lawrence M. Fridman, hukum dalam masyarakat bekerja tidak terlepas dari tiga komponen yang saling berkaitan yaitu: (1) komponen substansi (substance); (2) komponen struktur (structure); (3) komponen kultur (culture)7.

 

  1. Problem pada Substansi Hukum.

Ini merupakan materi hukum yang mempengaruhi penegakan hukum tindak pidana korupsi, seperti hukum pidana materiil, yaitu UUPTPK, yang masih memiliki kekurangan dan terjadi upaya pelemahan, baik melalui Judisial Reviewe ke Mahkamah Konstitusi yang melakukan perubahan secara cepat tanpa melalui DPR RI, maupun melalui penyusunan peraturan perundang-undangan.

Pertama: Mafia kasus atau mafia hukum/mafia peradilan dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang dilakukan perubahan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK), pasal yang dikenakan kepada mereka adalah berkaitan dengan tindak pidana suap, pemerasan, gratifikasi/pemberian hadiah.

Dalam UU PTPK ada beberapa bentuk korupsi, yaitu: (1) Korupsi yang merugikan keuangan/perekonomian negara, yang disebut dalam rumusan delik Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3; (2) Korupsi yang merugikan keuangan negara, namun tidak disebutkan dalam rumusan delik, yaitu Korupsi Perbuatan Curang dalam Proyek Pemborongan Pasal 7; (3) Korupsi Penggelapan dalam jabatan Pasal 8; (4) Korupsi Pemalsuan Buku-buku, daftar-daftar khusus dalam pemeriksaan administrasi Pasal 9; (5) Korupsi menggelapkan, menghancurkan, merusakkan atau membuat tidak dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang diyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatan Pasal 10; (6) Korupsi berkaitan dengan kekuasaan/delik dalam jabatan yaitu korupsi suap-menyuap Pasal 5, Pasal 6, Pasal 11, Pasal 12 huruf a sampai dengan huruf d, Pasal 13, korupsi pemerasan Pasal 12 huruf e; (7) Korupsi menerima, meminta atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara Pasal 12 huruf f; (8) Korupsi meminta atau menerima pekerjaan atau penyerahan barang seoalah merupakan utang kepada dirinya; (9) Korupsi penyerobotan tanah Pasal 12 huruf h; (10) Korupsi gratifikasi Pasal 12B; (11) Korupsi Pasal 15 percobaan, pembantuan dan permupakatan; (12) Korupsi Pasal 21-24 tindak pidana lain yang berkaitan dengan korupsi8.

Mafia hukum bermain melalui perbuatan yang mirip atau sama, namun diatur pada pasal-pasal berbeda dengan sanksi berbeda. Karena itu mafia hukum, kalau tidak dapat melepaskan/membebaskan, maka mereka bermain di sanksi yang paling ringan, dengan memberikan imbalan kepada penegak hukum.

Kedua: Ada upaya pelemahan substansi pengaturan UU PTPK melalui pembuatan perundang-undangan maupun dengan cara cepat melalui Judicial Review terhadap UU PTPK. Contoh Mahkamah Konstitusi tanggal 25 Juli 2006 mengeluarkan putusan Nomor 003/PUU-IV/2006, kemudian JR ke MK tahun 2016. Putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016 mengubah delik korupsi: dari delik formil menjadi delik materiil. Kemudian pengaturan korupsi di dalam KUHP Nasional yang justru menimbulkan problem pengaturan dan sanksinya relatif ringan.

 

  1. Problem pada Sistem Struktural (Kelembagaan).

Ada 3 (tiga) lembaga yang berwenang menangani tindak pidana korupsi yiatu Kepolisian, Kejaksaan dan KPK. Ini tentu sangat berpotensi menimbulkan konflik. Konflik antar kelembagaan dalam pemberantasan korupsi ini pernah terjadi seperti pada kasus antara Kepolisian dengan KPK yang dikenal dengan konflik “cicak melawan buaya”. Terkini, ketika KPK menetapkan tersangka dari Oknum Militer kasus korupsi Kepala Badan Nasional Pencarian Orang (Basarnas) yang merupakan anggota TNI Aktif, kasus ini sempat terjadi tarik ulur lembaga mana yang berwenang menganani dan mengadili. Kemudian ada upaya memperlemah KPK melalui revisi UU KPK.

KPK berada di rumpun eksekutif. Secara normatif hal ini berpotensi menjadikan KPK alat politik untuk menggebuk lawan politik yang tidak sejalan dengan rezim yang berkuasa. Dalam sub sistem struktural hukum, yaitu kelembagaan, problem di substansi hukum mempengaruhi struktur atau kelembagaan. Misalnya dengan revisi UU KPK. Terlihat sekali sistem perekrutan Komisioner KPK dan pegawai KPK dengan tidak meloloskan orang-orang yang punya kemampuan dan integritas di KPK. Mereka gugur dalam Tes Wawasan Kebangsaan. Terkesan, baik secara langsung atau tidak langsung, ada “intervensi” di dalam tubuh KPK.

Dalam perjalanannya ada oknum Komisioner KPK yang melanggar etik dan hukum pidana. Namun, oleh Dewas hanya diberi sanksi etik, dan kasus pidana tidak jalan. Hari ini kita melihat kinerja KPK dalam beberapa kasus yang seolah terlihat “tebang pilih”. KPK terkesan ikut dalam arus politik praktis.

Praktik mafia peradilan terjadi secara sistematis atau tersistem yang melibatkan semua oknum di dalam struktur/kelembagaan penegak hukum. Ini bisa terjadi secara searah dari tersangka atau sebaliknya dari penegak hukum yang sering disebut dengan mafia peradilan. Mafia peradilan melakukan aksinya dengan cara bergerilya melakukan negosiasi kasus ke lembaga Kepolisian, Kejaksaan, Peradilan dan bahkan pada Lembaga Pemasyarakatan. Semuanya telah terkontaminasi dengan praktik suap-menyuap, sogok-menyogok. Akibatnya, praktik mafia peradilan seperti lingkaran setan tersistematis9.

 

  1. Problem pada Legal Culture.

Budaya hukum, yaitu pengetahuan atau pemahaman yang membentuk pola pikir dan pola sikap masyarakat, dipengaruhi oleh pendidikan yang ditanamkan sejak dini. Gaya kehidupan materialistik mempengaruhi masyarakat kita. Sistem pendidikan hukum yang kapitalistik dan Ilmu Hukum Pidana yang pragmatis dan liberal ternyata menciptakan masyarakat yang korup. Paradigma kehidupan yang hedonistik melahirkan orang yang memahami kebahagiaan adalah materi10. Meminjam istilah Satjipto Rahardjo bahwa UU yang dilahirkan lebih ke arah hukum kapitalis (UU Migas, UU Penanaman Modal, UU Kelistrikan, UU Kesehatan, UU Minerba, UU Sumber Daya Air, terbaru UU Cipta Kerja dan lain-lain)11.

Paradigma kebahagiaan itu diukur dengan materi. Para koruptor yang melakukan korupsi semuanya adalah mereka yang mengenyam pendidikan tinggi. Bukan masyarakat yang tidak berpendidikan. Lalu mengapa mereka dalam membentuk peraturan perundang-undangan (legislatif) melakukan korupsi? Begitu pula kalangan eksekutif. Saat menduduki suatu jabatan, mereka melakukan korupsi. Pihak penegak hukum (yudikatif) pun sama. Banyak yang korup juga. Hal itu karena kurangnya nilai integritas karena tergerus oleh arus kehidupan materialistik. Pendidikan Moral Pancasila/Pendidikan Kewarganegaraan/Pendidikan berkarakter di Indonesia seolah tidak membekas. Hal ini karena mereka memisahkan kehidupan dari agama. Inilah yang disebut (sekularisme).

 

Khatimah

Dengan demikian praktik mafia kasus/mafia hukum/mafia peradilan merupakan salah satu bentuk korupsi di Indoneisa. Hal ini merupakan problem atau kerusakan sistemik. Ia muncul dari legal subtance/materi muatan hukum dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang memperlemah pemberantasan korupsi di Indonesia. Pada legal structure, yaitu terjadinya mafia peradilan, terjadi konflik antar lembaga penegak hukum. Pada legal culture, yaitu budaya kehidupan materialistik, telah mengakibatkan gaya hidup yang menghalalkan segala cara, seperti suap-menyuap, korupsi, dll. Tujuannya semata-mata guna meraih kebahagiaan yang bersifat materialistik dan hedonistik.

Karena itu siapapun rezim yang berkuasa, selama tidak melakukan perbaikan sistem hukum secara menyeluruh, tidak akan mampu memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya. Alhasil, solusinya tidak lain dengan melakukan perubahan sistem hukum secara menyeluruh.

WalLâhu a’lam. [Mispansyah; (Pakar Hukum Pidana Korupsi)]

 

Catatan kaki:

  1. Komisi Pemberantasan Korupsi. https://www.kpk.go.id/id/publikasi-data/statistik/penindakan-2 diakses 2 November 2024.
  2. Mispansyah,2018. “A Comparison Approach in Corruption Eradication: An Empirical Examination”. Hasanuddin Law Journal.Vol.4.Issue 2.Agustus 2018.DOI: http://dx.doi.org/10.20956/halrev.v4i2.1077. Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.Makassar.hlm-219-220.
  3. Apriliansyah, Editor Bima Agustian.2024. KPK RI, 167Kepala Daerah terjerat korupsi sepanjang 2004-2024. https://babel.antaranews.com/berita/425503/kpk-ri-167-kepala-daerah-terjerat-korupsi-sepanjang-2004-2024.
  4. 2024. 70% Kepala Daerah Korupsi. https://www.menpan.go.id/site/liputan-media/bidang-pan/70-persen-kepala-daerah-korupsi. Diakses 2 November 2024.
  5. Indriyanto Seno Adji. (2006). Korupsi dan Pembalikan Beban Pembuktian. Jakarta: Penerbit Kantor Pengacara dan Konsultas Hukum Prof.Oemar Seno Adji,S.H. dan Rekan.Jakarta. hlm.1-2.
  6. Barda Nawawi Arief. S.H.(2005).”Sistem Peradilan Pidana Terpadu (Integrated Criminal Justice System)”. Makalah. 3 September 2005. Fakultas Hukum Universitas Diponegoro,Semarang.
  7. (2012). Teori Hukum. Bahan Kuliah. Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Hasanuddin,Makassar. hlm.10
  8. Mispansyah, 2021.Modul Kuliah Pengantar Tindak Pidana Korupsi. Samudera Biru, Yogyakarta.hlm.66-166
  9. ibid.
  10. Baharuddin Lopa. (1997). Masalah Korupsi dan Pemecahannya. Penerbit Kipas Putih Aksara.Jakarta. hlm.45-47
  11. Satjipto Rahardjo.(2006). Membedah Hukum Progresif. Kumpulan tulisan di Kompas. Penerbit Buku Kompas.Jakarta. hlm.75

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

13 − three =

Back to top button