
Setan Berlepas Diri dari Orang Kafir (1)
(QS Qaf [50]: 27-29)
Yang menyertai dia berkata (pula), “Tuhan kami, aku tidak menyesatkan dia, tetapi dialah yang berada dalam kesesatan yang jauh.” Allah berfirman, “Janganlah kalian bertengkar di hadapan-Ku. Padahal sesungguhnya Aku dulu telah memberikan ancaman kepada kalian. Keputusan di sisi-Ku tidak dapat diubah dan Aku sekali-kali tidak menganiaya hamba-hamba-Ku. (QS Qaf [50]: 27-29).
Dalam ayat-ayat sebelumnya, diberitakan tentang sebuah peristiwa yang akan terjadi pada Hari Kiamat, yakni ketika ada orang yang dilemparkan ke dalam neraka. Orang yang dilemparkan itu memiliki sifat sangat ingkar, keras kepala, yang sangat menghalangi kebajikan, melanggar batas dan ragu-ragu. Orang tersebut menyembah sesembahan yang lain beserta Allah SWT.
Ayat ini masih memberitakan tentang perdebatan orang-orang kafir dengan setan dari bangsa jin.
Tafsir Ayat
Allah SWT berfirman:
Yang menyertai dia berkata (pula), “Tuhan kami, aku tidak menyesatkan dia, tetapi dialah yang berada dalam kesesatan yang jauh.”
Kalimat « قالَ قَرِينُهُ » merupakan kalimat isti’nâfiyah (kalimat baru yang terpisah dari sebelumnya1). Yang dimaksud dengan qarîn (pendamping) dalam ayat ini adalah setan. Demikian penjelasan Ibnu Abbas, Mujahid, Qatadah, Ibnu Zaid, dan lain-lainnya. Mujahid berkata, “Qarîn di sini adalah setan yang ditetapkan untuk dirinya2.”
Demikian juga penjelasan Ibnu Jarir ath-Thabari, al-Qurthubi, al-Syaukani, al-Khazin, al-Jazairi, dan lain-lain3. Bahkan menurut al-Mahdawi, para ulama tidak berbeda pendapat bahwa qarîn yang dimaksud ayat ini adalah setan4.
Pendapat berbeda diriwayatkan oleh ats-Tsa’labi yang mengatakan bahwa Ibnu Abbas dan Muqatil berkata: « قَرِينُهُ » adalah malaikat. Hal itu karena al-Walid bin al-Mughirah berkata kepada malaikat yang mencatat keburukannya, “Tuhanku, dia telah mempercepat aku.” Malaikat pun menjawab, “Tuhan kami, aku tidak membuat dia melampaui batas.” Artinya, “Aku tidak mempercepatnya5.”
Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Ibnu ‘Asyur: Al-Qarîn di sini adalah yang juga disebutkan dalam firman Allah SWT sebelumnya: « وَقالَ قَرِينُهُ هذا ما لَدَيَّ عَتِيدٌ »6.
Dhamîr al-hâ‘ (kata ganti pihak ketiga) pada kata « قَرِينُهُ » adalah orang kafir. Menurut Ibnu Jarir, orang kafir yang selalu menolak kebenaran7. Imam al-Qurthubi berkata, “Maksudnya, setan yang selalu menyertai orang kafir yang keras kepala itu berlepas diri dari dia dan mendustakan dirinya8.”
Diberitakan dalam ayat ini, setan yang selalu menemani orang kafir ketika di dunia itu berlepas diri dari dia dan tidak mau bertanggung terhadap orang kafir itu dengan mengatakan: « رَبَّنا ما أَطْغَيْتُهُ ». Kata « أَطْغَيْتُهُ » berasal dari kata « الطُّغْيَانُ ». Kata tersebut berarti: « تَجَاوُزُ الْحَدِّ فِي التَّعَاظُمِ وَالظُّلْمِ وَالْكُفْرِ » (melewati batas dalam kesombongan, kezaliman dan kekufuran). Dengan demikian makna « أَطْغَيْتُهُ » adalah « مَا جَعَلْتُهُ طَاغِيًا » (aku tidak menjadikan dia sebagai orang yang melampaui batas), yakni: « مَا أَمَرْتُهُ بِالطُّغْيَانِ وَلَا زَيَّنْتُهُ لَهُ » (aku tidak memerintahkan dia untuk melampaui batas dan tidak pula menghiasinya untuknya9).
Menurut Ibnu Katsir, setan yang menjadi qarîn itu berkata tentang manusia yang datang pada Hari Kiamat dalam keadaan kafir, setannya berlepas diri dari dirinya, lalu berkata, “Tuhan kami, kami tidak membuat dia melampaui batas.” Maknanya: « مَا أَضْلَلْتُهُ » (kami tidak menyesatkan dia10).
Ibnu Jarir ath-Thabari menafsirkan perkataan qarîn itu, “Bukan aku yang membuat dia tersesat dan melakukan kemungkaran. Begitulah dia kafir kepada Allah11.”
Lebih dari itu, qarîn justru menyalahkan orang kafir sebagaimana diberitakan dalam firman-Nya:
…tetapi dialah yang berada dalam kesesatan yang jauh.
Huruf al-wâwu merupakan ‘âthifah (kata hubung). Adapun « لَكِنْ » berguna sebagai li al-istidrâk, yakni mengoreksi kalimat yang disebutkan sebelumnya12. Sedangkan kata « كانَ » merujuk kepada al-insân (manusia)13. Disebutkan bahwa manusia itu sendirilah yang berada dalam « فِي ضَلالٍ بَعِيدٍ » (dalam kesesatan yang jauh).
Makna « الضَّلَالُ » (kesesatan) adalah « العدولُ عن الطّريق المستقيم » (berpaling dari jalan yang lurus). Lawannya adalah al-hidâyah (petunjuk). Allah SWT berfirman:
Siapa yang mendapat petunjuk, sesungguhnya ia mendapat petunjuk itu hanya untuk dirinya. Siapa yang tersesat, sesungguhnya (akibat) kesesatannya itu hanya akan menimpa dirinya (QS al-Isra‘ [17]: 15)14.
Adapun « بَعِيدٌ » merupakan shifah (sifat) yang menunjukkan keadaan tetap dari kata « بعُدَ » (jauh), lawannya adalah « قريب » (dekat)15. Kata tersebut berkedudukan sebagai sifat bagi kata « ضَلالٍ » (kesesatan).
Menurut Ibnu ‘Asyur, kata al-ba’îd (jauh) digunakan sebagai isti’ârah (kiasan) untuk sesuatu yang mencapai tingkat kekuatan suatu sifat hingga batas yang tidak dapat dijangkau oleh akal dengan mudah. Ini sebagaimana perjalanan seseorang ke tempat yang jauh tidak dapat ditempuh kecuali dengan kesulitan; atau ‘jauh’ dalam arti waktu, yaitu sesuatu yang lama dan mendalam sehingga menjadi penegasan bagi makna fi’l (kata kerja) « كانَ » yang disebutkan sebelumnya. Makna ini seperti dalam firman Allah SWT:
Siapa saja yang mempersekutukan Allah, sungguh ia telah tersesat dengan kesesatan yang jauh (QS al-Nisa’ [4]: 116).
Maknanya, kesesatan yang sudah mengakar kuat dalam dirinya menunjukkan bahwa ia tidak hanya sekadar mengikuti bisikan atau pengaruh dari pihak lain. Sebabnya, orang yang sekadar mengikuti sesuatu tidak akan memiliki keteguhan dalam hal tersebut, sebagaimana ilmu orang yang hanya al-muqallid (orang yang mengikuti tanpa dalil) berbeda dengan ilmu para an-nazhzhâr (orang yang berpikir kritis dan mendalam)16.
Tentang ayat ini, al-Qurthubi berkata, “Dia tersesat dari jalan kebenaran dan melampaui batas karena pilihannya sendiri. Sesungguhnya aku hanya sekadar mengajak dia, lalu dia mau menerimanya17.”
Menurut asy-Syaukani, “Seandainya dia termasuk para hamba-Mu yang ikhlas, tentulah aku tidak akan mampu mengajak dia18.”
Tak jauh berbeda, Ibnu Jarir al-Thabari berkata. “Akan tetapi, dia sendiri yang berada di jalan yang menyimpang jauh dari jalan petunjuk19.”
Abu Bakar al-Jazairi juga berkata, “Akan tetapi, dia sendiri yang berada dalam kesesatan yang jauh dari petunjuk dan terbuai dalam kesyirikan dan kejahatan20.”
Menurut Ibnu Jarir, Allah SWT menceritakan perkataan qarîn pada Hari Kiamat itu untuk memberitahu hamba-hamba-Nya, bahwa pada Hari Kiamat kelak mereka akan saling melepaskan tanggung satu sama lain21.
Tidak ada yang mau dipersalahkan akibat perbuatan orang lain. Semuanya berupaya melemparkan tanggung jawab kepada yang lain.
Realitas ini juga dikabarkan Allah SWT dalam firman-Nya:
Berkatalah setan tatkala perkara (hisab) telah diselesaikan, “Sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepada kalian janji yang benar. Aku pun telah menjanjikan kepada kalian, tetapi aku menyalahi (janji itu). Sekali-kali tidak ada kekuasaan bagi aku atas diri kalian, melainkan (sekadar) aku menyeru kalian. Lalu kalian mematuhi seruanku. Oleh sebab itu, janganlah kalian mencerca aku, tetapi cercalah diri kalian sendiri. Aku sekali-kali tidak dapat menolong kalian. Kalian pun sekali-kali tidak dapat menolong aku. Sesungguhnya aku tidak membenarkan perbuatan kalian mempersekutukan aku (dengan Allah) sejak dulu.” Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu mendapat siksaan yang pedih (QS Ibrahim [14]: 22)22.
Juga dalam firman Allah SWT:
(Perumpamaan bujukan orang-orang munafik kepada kaum Yahudi) seperti setan ketika berkata kepada manusia, “Kufurlah kamu!” Ketika orang itu kufur, ia berkata, “Sesungguhnya aku berlepas diri dari dirimu karena sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan semesta alam.” Lalu kesudahan bagi keduanya (setan dan manusia yang mengikutinya) bahwa keduanya berada dalam neraka, kekal di dalamnya. Itulah balasan bagi orang-orang zalim (QS al-Hasyr [59]: 16-17).
Menurut banyak mufassir, perkataan qarîn ini merupakan jawaban atas pertanyaan yang diperkirakan diajukan orang kafir, “Tuhan kami, setanku ini yang menyesatkan aku.” Perkataan tersebut dimaksudkan agar dia dimaafkan dan tidak dimasukkan ke dalam neraka karena tersesat karena disesatkan oleh setan. Seolah dia ingin mengatakan bahwa itu bukan salah dia, namun salah setan yang menggoda, menyesatkan, dan menjerumuskan. Setan pun tidak mau dipersalahkan. Dia menjawab, “Tuhan kami, aku tidak menyesatkan dan menggelincirkan dia. Namun, dia sendirilah yang berada dalam kesesatan yang jauh dari kebenaran23.”
Demikianlah. Setan-setan yang menggoda, menggelincirkan dan menyesatkan manusia itu pada Hari Kiamat berlepas diri orang-orang kafir yang dia sesatkan. Sebaliknya, mereka justru menyalahkan orang-orang kafir itu, bahwa mereka sendiri yang berada dalam kesesatan yang sangat jauh. Maka dari itu, betapa menyesalnya mereka. Mereka bukan hanya tidak mendapatkan pertolongan dari setan yang dia ikuti, namun justru mereka disalahkan. Mereka sesat bukan karena disesatkan oleh setan, tetapi mereka sendiri yang sudah sesat sejak awal.
WalLâh a’lam bi al-shawâb. [Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I.]
Catatan kaki:
- Abu Bilal, al-Mujtabâ min Musykil I’râb al-Qur‘ân, 4 (Madinah: Majma’ al-Malik Fahd, tt), 1226
- al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, 22 (tt: Muassasah al-Risalah, 2000), 357.. Lihat juga Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, vol. 7 (tt: Dar Thayyibah, 1999), 403
- al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, 22, 357; al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 17 (Kairo: Dar al-Maktabh al-Mishriyyah, 1964), 17; al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5 (Beirut: Dar Ibnu Katsir, 1994), 91; al-Khazin. Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 188; al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 5 (Madinah: Maktabah al-‘Ulum wa al-Hikam, 2003), 146
- al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, 17, 17
- al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, 17, 17
- Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr , 26 (Tunisia: Dar al-Tunisiyah, 1984), 314
- al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, 22, 357
- al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, 17, 17
- Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr , 26, 314
- Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, 7, 403
- al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, 22, 358
- Mahmud Shafi, al-Jadwal fî I’râb al-Qur‘ân, 26 (Damaskus: Dar al-Rasyid, 1998), 312
- al-Harari, Hadâiq al-Rûh wa al-Rayhân, 27 (Beirut: Dar Thawq al-Najah, 2001), 442
- al-Asfahani, al-Mufradât fî Gharîb al-Qur‘ân (Damaskus: Dar al-Qalam, 1992), 509
- Ahmad Mukhtar, Mu’jam al-Lughah al-‘Arabiyyah al-Mu’âshirah, 1 (tt: ‘Alam al-Kitab, 2008), 226
- Lihat Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr , 26, 314
- al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, 17, 17
- al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, 5, 91
- al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, 22, 358
- al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, 5, 146
- al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, 22, 358
- Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, 7, 403. Lihat juga al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, vol. 4, 387; al-Baidhawi, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta‘wîl, vol. 5 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1998), 14 2; al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Muniîr, vol. 26 (Damaskus: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1998), 300; al-Sa’di, Taysîr al-Karîm al-Rahmân, 806
- Al-Alusi, Rûh al-Ma’ân, 13 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 336; al-Khazin. Lubâb al-Ta`wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4, 189. Lihat juga al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, vol. 4, 387; al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 127 (Bierut: Dar Ihya` al-Turats al-‘Arabi, 1420 H), 137


