Telaah Kitab

Wajib Terikat Dengan Syariah Islam

Konsekuensi iman seseorang kepada Allah SWT, sekaligus wujud kecintaannya kepada Allah dan Rasul-Nya, adalah tunduk dan terikat dengan hukum-hukum syariah, bukan sekadar mengikuti apa yang dia kira baik.

 

Tidak Ada Hukum Sebelum Rasul Diutus

Seluruh amal perbuatan manusia tidak memiliki status hukum sebelum datang pernyataan dari syariah apakah wajib, sunnah, haram, makruh ataupun mubah. Manusia boleh melakukan amal itu sesuai dengan pengetahuannya dan berdasarkan pandangan atas kemaslahatan manusia. Sebabnya, tidak ada ‘taklif’ (beban hukum) sebelum sampai perbuatan syariah. Allah SWT berfirman:

وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّىٰ نَبۡعَثَ رَسُولٗا  ١٥

Kami tidak akan mengadzab suatu kaum sebelum Kami mengutus seorang rasul (QS al-Isra’ [17]: 15).

 

Terkait ayat ini, Imam Ibnu Katsir menyatakan:

إِخْبَارٌ عَنْ عَدْلِهِ تَعَالَى، وَأَنَّهُ لَا يُعَذِّبُ أَحَدًا إِلَّا بَعْدَ قِيَامِ الْحُجَّةِ عَلَيْهِ بِإِرْسَالِ الرَّسُولِ إِلَيْهِ

Ini adalah berita tentang keadilan-Nya, bahwa Dia tidak menyiksa seorang pun kecuali setelah ada bukti yang kuat di hadapannya, yaitu dengan mengutus seorang rasul kepada dirinya.1

 

Melalui ayat tersebut Allah SWT menyatakan bahwa sebelum seorang rasul diutus kepada mereka, mereka tidak akan diazab atas perbuatan yang mereka lakukan. Perbuatan yang mereka lakukan belum memiliki status hukum. Mereka belum terbebani oleh satu hukum pun. Inilah sebagaimana diungkapkan oleh Imam al-Juwaini: “Kemudian, di antara hukum syariah adalah penetapan sesuatu tercela dan terpuji. Keduanya kembali pada perintah dan larangan (Allah). Maka dari itu, sesuatu tidak jelek dalam hukum Allah SWT karena zatnya, sebagaimana tidak terpuji karena zatnya.”2

 

Wajib Terikat dengan Syariah

Setelah Allah SWT mengutus seorang rasul, atau telah sampai penjelasan syariah kepada suatu kaum, maka terikatlah mereka dengan risalah yang dibawa oleh rasul tersebut. Allah SWT berfirman:

رُّسُلٗا مُّبَشِّرِينَ وَمُنذِرِينَ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى ٱللَّهِ حُجَّةُۢ بَعۡدَ ٱلرُّسُلِۚ ١٦٥

(Kami mengutus) para rasul sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah setelah rasul-rasul itu (diutus) (QS an-Nisa’ [4]: 165).

 

Dengan demikian siapa pun yang tidak beriman kepada rasul tersebut, kelak ia akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah tentang ketidakimanannya dan ketidakterikatannya pada hukum-hukum yang dibawa oleh rasul tersebut. Begitu pula bagi yang beriman kepada rasul serta mengikatkan diri pada hukum yang dia bawa. Ia pun akan dimintai pertanggungjawaban terhadap penyelewengan sebagian hukum-hukum yang dibawa rasul tersebut.

Untuk itu seluruh kaum Muslim diperintahkan melakukan amal perbuatannya sesuai dengan hukum Islam. Ini karena wajib atas mereka untuk menyesuaikan amal perbuatannya dengan segala perintah dan larangan Allah SWT. Allah SWT berfirman:

وَمَآ ءَاتَىٰكُمُ ٱلرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَىٰكُمۡ عَنۡهُ فَٱنتَهُواْۚ ٧

…Apa saja yang Rasul bawa kepada kalian, terimalah dia. Apa saja yang dia larang atas kalian, tinggalkanlah(QS al-Hasyr [59]: 7).

 

Ayat tersebut, meskipun terkait dengan pembagian fa’i, berlaku umum untuk segala sesuatu. Karena itu al-Mawardi berkata:

وَقِيلَ إِنَّهُ مَحْمُولٌ عَلَى الْعُمُومِ فِي جَمِيعِ أَوَامِرِهِ وَنَوَاهِيهِ

Dikatakan bahwa ayat ini dipahami secara umum dalam seluruh perintah dan larangannya.3

 

Terikat dengan Syriah dalam Semua Aspek Kehidupan

Beban hukum syariah bersifat umum, mencakup seluruh mukallaf, baik mukallaf pada masa Rasul maupun setelahnya, sebagaimana umumnya risalah untuk seluruh manusia. Allah SWT berfirman:

قُلۡ يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنِّي رَسُولُ ٱللَّهِ إِلَيۡكُمۡ جَمِيعًا ١٥٨

Katakanlah, “Hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kalian semua…” (QS al-A’raf [7]: 158).

 

Oleh karena itu hukum apapun yang dibawa oleh Rasul saw. mencakup setiap perbuatan dan apa pun yang dilarang oleh beliau juga mencakup setiap perbuatan. Dengan demikian setiap Muslim yang hendak melakukan suatu perbuatan wajib secara syar’i mengetahui hukum Allah tentang perbuatan tersebut sebelum ia lakukan. Dengan begitu ia dapat berbuat sesuai dengan hukum syariah. Imam al-Qarafi menyatakan:

«أَنَّ الْغَزَالِيَّ حَكَى الْإِجْمَاعَ فِي إحْيَاءِ عُلُومِ الدِّينِ وَالشَّافِعِيَّ فِي رِسَالَتِهِ حَكَاهُ أَيْضًا فِي أَنَّ الْمُكَلَّفَ لَا يَجُوزُ لَهُ أَنْ يُقْدِمَ عَلَى فِعْلٍ حَتَّى يَعْلَمَ حُكْمَ اللهِ فِيهِ، ِ … فَمَنْ تَعَلَّمَ وَعَمِلَ بِمُقْتَضَى مَا عَلِمَ أَطَاعَ اللهَ تَعَالَى طَاعَتَيْنِ، وَمَنْ لَمْ يَعْلَمْ وَلَمْ يَعْمَلْ فَقَدْ عَصَى اللهَ مَعْصِيَتَيْنِ، وَمَنْ عَلِمَ وَلَمْ يَعْمَلْ بِمُقْتَضَى عِلْمِهِ فَقَدْ أَطَاعَ اللهَ تَعَالَى طَاعَةً وَعَصَاهُ مَعْصِيَةً»

Imam al-Ghazali dalam Kitab Ihyâ’ ‘Ulûm ad-Dîn, juga Imam Syafii dalam Ar-Risâlah, menyatakan adanya ijmak bahwa seorang mukallaf (orang yang terkena taklim hukum) tidak boleh melakukan suatu perbuatan hingga ia mengetahui hukum Allah atas perbuatan tersebut…Karena itu siapa yang belajar dan beramal sesuai dengan apa yang dia pelajari, berarti ia telah menaati Allah SWT dengan dua ketaatan. Siapa saja yang tidak tahu dan tidak beramal, maka ia telah bermaksiat kepada Allah dengan dua kemaksiatan. Siapa saja yang tahu dan tidak beramalkan sesuai dengan pengetahuannya, maka ia telah menaati Allah SWT dalam satu ketaatan dan mendurhakai Diri-Nya dalam satu kemaksiatan.4

 

Selain itu, jika ada perbuatan/hal baru yang belum diketahui hukum syariahnya, maka manusia tetap tidak berhak menghukumi berdasarkan kemauannya. Jika ada anggapan bahwa terdapat perbuatan/hal yang tidak memiliki nash hukumnya, anggapan tersebut sama artinya dengan menganggap bahwa syariah Islam mempunyai kekurangan dan tidak cocok kecuali untuk masa dan keadaan tertentu. Tentu saja ini bertentangan dengan firman Allah SWT:

وَنَزَّلۡنَا عَلَيۡكَ ٱلۡكِتَٰبَ تِبۡيَٰنٗا لِّكُلِّ شَيۡءٖ ٨٩

Kami telah menurunkan kepada kamu al-Kitab (al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu (QS an-Nahl [16]: 89).

 

Memang syariah Islam tidak datang dengan hukum-hukum yang rinci sehingga manusia merasa cukup dengan hukum-hukum yang sudah rinci tersebut. Syariah Islam datang dengan makna-makna umum yang berkaitan dengan problem kehidupan dan dengan suatu titik pandang bahwa sasarannya adalah manusia, tanpa memandang waktu dan tempat. Kemudian berlaku juga di bawah makna-makna umum tersebut berbagai makna cabang yang lain. Jika muncul suatu permasalahan atau kejadian baru maka harus dikaji dan dipahami keadaannya. Kemudian, untuk memecahkan masalah tersebut dilakukan istinbâth dari makna yang bersifat umum yang terkandung dalam syariah. Jadilah hasil istinbâth dari suatu pendapat sebagai satu hukum Allah dalam peristiwa tersebut.

Dalam Tafsir AlWasith, Syaikh Wahbah az-Zuhaili menjelaskan bagaimana al-Quran menjelaskan segala sesuatu:

Penjelasan segala sesuatu dalam al-Quran adakalanya dengan menyebutkan hukumnya secara tegas; adakalanya dengan merujuk pada Sunnah Nabi saw., yang memang Allah perintahkan kepada kita agar beliau diikuti dan ditaati, sebagaimana firman-Nya: “Siapa saja yang menaati Rasul maka ia telah menaati Allah.” (TQS an-Nisa’ [4]: 80); atau dengan bersandar pada konsensus (Ijmak), sebagaimana firman-Nya: “Siapa saja yang menentang Rasul setelah jelas bagi dirinya petunjuk dan mengikuti selain jalan kaum Mukmin, maka Kami akan membiarkan ia berkuasa atas kesesatan yang telah dia kuasai itu.” (TQS an-Nisa’ [4]: 115); atau dengan jalan ijtihad atau qiyas (analogi); ataupun dengan jalan menjelaskan kaidah-kaidah umum, asas-asas, tujuan-tujuan (maqâshid) umum dan dasar-dasar perundang-undangan. Dengan demikian al-Quran, dengan dasar-dasar dan asas-asasnya itu, adalah penjelas segala sesuatu.5

Kaum Muslim telah melakukan istinbâth sejak Rasulullah saw. wafat hingga Daulah Khilafah Islam lenyap dari muka bumi ini. Pada masa Khalifah Abu Bakar ra. muncul permasalahan-permasalahan baru yang tidak dijumpai pada zaman Rasulullah saw. Begitu pula telah muncul persoalan-persoalan baru pada masa Khalifah Harun ar-Rasyid yang tidak ditemui pada masa Khalifah Abu Bakar ra. Di sini para mujtahid, yang jumlahnya saat itu ribuan, menggali status hukum perkara yang sebelumnya tidak pernah ditemukan sampai berhasil mereka pecahkan.

Demikianlah sikap kaum Muslim yang dilakukan terhadap setiap masalah dan kejadian baru. Sebabnya, syariah Islam mencakup seluruh aspek perbuatan manusia. Tidak ada satu pun problem hidup atau masalah yang terjadi kecuali ada pemecahan hukumnya.

Oleh karena itu setiap Muslim wajib senantiasa mengaitkan seluruh perbuatannya dengan hukum syariah Islam, serta tidak melakukan suatu perbuatan apapun, kacuali jika sesuai dengan perintah dan larangan Allah SWT.

WalLâhu a’lam. [M. Taufik NT]

 

Catatan kaki:

  1. Abu al-Fida’ Ismail bin Umar bin Katsir, Tafsîr Al-Qur’ân al-Adzîm (Dâr Thaibah lin Nasyr wat Tauzi’, 1999), Juz 5, h. 52.
  2. Imâm al-Haramain Abu al-Ma’âli Abdul Malik bin Abdullah Al-Juwaini, Al-Burhân Fî Ushûl al-Fiqh, Pentahkik. Shalah bin Muhammad bin Uwaidhah, Cet. I. (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997), Juz 1, h. 8.
  3. Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakr Al-Qurthuby, Al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, Pentahkik. Ahmad Barduni dan Ibrahim Athfisy (Kairo: Dâr al-Kutub al-Mishriyah, 1964), Juz 18, h. 17.
  4. Syihabuddin Ahmad bin Idris Al-Qarafi, Anwâr Al- Burûq Fî Anwâ’ al-Furûq (’Alam al-Kutub, t.th), Juz 2, h. 148.
  5. Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir Al-Wasîth, Cet. I. (Damaskus: Dâr al-Fikr, 1422), Juz 2, h. 1293–1294.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

20 − twenty =

Back to top button