
Perubahan dan Perjuangan
Bayangkan dua ekor gajah besar sedang bertarung di padang rumput. Suara dentuman langkahnya mengguncang tanah, dedaunan berjatuhan dan rumput tercabut. Di tengah perkelahian itu, seekor pelanduk kecil hanya bisa berlari mencari selamat. Begitulah posisi Indonesia hari ini di tengah perang dagang Amerika Serikat dan Cina.
Perang tarif antara dua kekuatan ekonomi terbesar dunia ini bukan hanya urusan mereka saja. Getarannya terasa sampai ke negara-negara seperti Indonesia yang perekonomiannya sangat bergantung pada ekspor dan investasi asing. Bukan hanya masalah tarif. Persaingan politik pun terjadi di antara keduanya. Jangan sampai negeri Muslim terbesar ini seperti peribahasa lama yang menyatakan, “Gajah bertarung, pelanduk mati di tengah-tengah.” Yang bersaing kedua negara adikuasa itu, sementara yang mati adalah negara lain karena tidak jelas dalam bersikap. “Tak jelas menentukan titik koordinat,” begitu istilah Prof. Suteki.
Namun, pertarungan itu bisa saja berakhir damai. Buktinya? Pada pertengahan Mei 2025, AS dan Cina melakukan pembicaraan terkait perang dagang keduanya. AFP memberitakan adanya pertemuan tertutup antara Menteri Keuangan AS Scott Bessent, Perwakilan Perdagangan Jamieson Greer dan Wakil Perdana Menteri (PM) Cina He Lifeng. “Pembicaraan berlangsung di Jenewa, Swiss, di kediaman duta besar Swiss untuk PBB,” tulisnya.
“Kami telah membuat kemajuan substansial antara Amerika Serikat dan Tiongkok dalam pembicaraan dagang yang sangat penting,” kata Bessent.
“Pembicaraan itu produktif,” tambahnya.
Sementara itu, Wakil Perdana Menteri Cina He Lifeng menggambarkan diskusi kedua negara sebagai “terus terang, mendalam dan konstruktif”. “Ini adalah langkah pertama yang penting,” ujarnya.
Seperti pelanduk dalam peribahasa tadi, agar selamat harus tahu kapan bergerak, ke mana berlindung dan bagaimana memanfaatkan momen. Pasalnya, jika tidak hati-hati, bisa-bisa bukan hanya mati di tengah, tetapi juga dilupakan di pinggir. Tidak dilirik sebelah mata. “Persoalannya, jika ngikut AS akan diseruduk Cina. Jika ngikut Cina akan diseruduk oleh AS,” kata Pak Eko. “Netral? Diseruduk keduanya!” tambahnya. “Ngekor pada keduanya? Dînjak bersama-sama!” ucapnya ngegas. “Makanya kita tidak bisa hanya menjadi penonton. Harus menjadi negara besar,” pungkasnya.
Saya sampaikan kepada Pak Eko, umat Islam itu besar. Sangat bisa menjadi negara besar dan sejahtera. Ada lebih dari 2 miliar jiwa di dunia ini. Negeri-negeri Muslim pun terbentang dari Maroko hingga Merauke. Kekayaan alam sungguh sangat melimpah, kurnia Allah SWT. Sayang, tidak bersatu. Tetap menjadi negara kecil-kecil. Tetap menjadi pelanduk.
Indonesia layak menjadi pemersatunya. Muslim Arby mengingatkan pada pembukaan Muktamar Muhammadiyah Desember 2024 lalu, Presiden Prabowo menyampaikan kekagumannya pada Turki Utsmani. “Satu peradaban Muslim yang cukup lama hampir 600 tahun lebih, mungkin mendekati 700 tahun, yaitu peradaban Utsmaniah yang berpusat di Istambul. Ini peradaban yang sangat berhasil, dia memimpin suatu kekaisaran imperium yang sangat multi etnis yang toleran kepada semua suku dengan ratusan suku yang berbeda-beda,” begitu ungkapan Presiden. Beliau kala itu menambahkan, “Di situ ada yang menarik bagi saya, untuk memimpin ratusan tahun dan memimpin yang begitu luas dengan memiliki akademi gubernur. Akademi gubernur itu intinya satu pelajaran yang sangat menarik. Para bupati dididik di situ dengan banyak pelajaran. Akan tetapi, ada satu pelajaran menarik dan sederhana yaitu tidak ada negara kuat tanpa tentara yang kuat, tidak ada tentara yang kuat tanpa uang, tidak ada uang tanpa kemakmuran, dan tidak ada kemakmuran tanpa rakyat yang bahagia dan sejahtera, dan tidak ada rakyat yang bahagia dan sejahtera tanpa pemerintah yang bersih dan adil.”
Hanya saja, saya sampaikan bahwa tidak cukup berhenti pada kekaguman. Harus dilanjutkan dengan tindakan atau action. “Kita mestinya bisa,” kata Bang Arby lagi. Umat Islam itu umat pejuang. Ketua Gerakan Perubahan Indonesia itu menambahkan, “Dulu, pemenang Perang Dunia II dikalahkan oleh arek-arek Surabaya kok. Mereka umat Islam. Jadi, kekuatan Islam sudah terbukti, dalam perang agresi itu.”
“Namun, ada orang yang berpandangan bahwa sejahtera itu tidak perlu Islam. Contohnya adalah negara Skandinavia. Juga, Jepang. Bahkan AS dan Cina. Tanpa Islam, mereka dapat sejahtera. Itu pandangan sebagian orang,” ujar lawyer muda Bang Aziz Yanuar. Saya sampaikan bahwa ada dua jenis kesejahteraan, yakni pertama sejahtera di dunia saja dan kedua sejahtera di dunia dan di akhirat. Itulah yang digambarkan dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 200 dan 201. “Untuk mencapai sejahtera di dunia saja, memang tidak selalu perlu Islam. Kapitalisme dan sosialisme/komunisme bisa saja meraihnya,” ungkap saya. “Namun, untuk sejahtera di dunia dan sejahtera di akhirat, mutlak hanya ada satu jalan. Untuk meraih keberkahan di dunia dan akhirat hanya dapat diraih melalui penerapan hukum/aturan/syariat Islam,” tegas saya.
Hal ini dijelaskan dalam QS Thaha ayat 124. Juga dalam sabda Rasulullah saw., “Pada akhir zaman akan muncul seorang khalifah yang berasal dari umatku, yang akan melimpahkan harta kekayaan selimpah-limpahnya. Ia sama sekali tidak akan menghitung-hitungnya.” (HR Muslim dan Ahmad).
“Penerapan syariah Islam kaffah itu clear. Khilafah itu ajaran Islam tidak diragukan sejak dulu. Namun, era saat ini sistem perundangan dan hukum betul-betul telah dirusak. Bagaimana perjuangan ini dianggap ancaman oleh oligarki, negara besar dan para pengkhianat,” ujar Buya Fikri.
“Itu kondisi yang wajar. Setiap perubahan akan dianggap ancaman oleh statusquo,” jawab saya.
“Iya, wong Rasulullah saw.saja, dianggap ancaman. Padahal beliau itu utusan Allah dan manusia pilihan Allah,” ujar Pak Eko.
Alhasil, agar tidak seperti peribahasa “Gajah bertarung, pelanduk mati di tengah-tengah” perlu ada perubahan, dan itu perlu perjuangan.
WalLâhu a’lam. [Muhammad Rahmat Kurnia].