Hiwar

Budi Mulyana, S.I.P, M.Si.: Mereka Makin Tak Berdaya di Hadapan Amerika

Pengantar:

Kunjungan Presiden AS, Donald Trump, ke sejumlah negeri Arab bulan Mei lalu menunjukkan dua hal yang kontradiktif: AS yang makin superior dan Dunia Arab yang makin inferior.

Mengapa demikian? Apa saja indikasinya? Apa pula penyebabnya? Apakah karena AS makin kuat di bawah kepemimpinan Trump?

Ataukah karena para pemimpin Arab (Dunia Islam) yang makin lemah? Secara garis besar, itulah yang ditanyakan kepada Pengamat Politik Internasional, Budi Mulyana, S.I.P., M.Si, dalam wawancara dengan Redaksi kali ini. Berikut hasil wawancaranya.

 

Presiden AS, Trump Bulan Mei lalu melakukan kunjungan ke Timur Tengah. Apa agenda utama dari lawatan Trump tersebut? Semata ekonomi ataukah justru dominan politik?

Agenda utama dari lawatan Trump ke Timur Tengah pada pertengahan Mei 2025 lalu tidak lepas dari kepentingan Amerika Serikat di kawasan. Walau berganti kepemimpinan, kepentingan Amerika Serikat di Timur Tengah tidak berubah. Dari sisi ekonomi, Trump ingin memastikan sumber energi dapat dikuasai Amerika Serikat. Juga keuntungan ekonomi lainnya, yakni menguras kekayaan Dunia Arab untuk kepentingan Amerika Serikat dengan mekanisme perdagangan dan investasi. Dari sisi politik, yaitu menjaga eksistensi Israel dan mencegah instabilitas kawasan yang dapat memunculkan potensi kebangkitan Islam.

 

Dalam konteks politik, apakah kunjungan Trump sesuai target Amerika Serikat?

Sejauh ini kunjungan Trump dianggap sesuai dengan target politik Amerika Serikat di kawasan.

Dalam kunjungannya ke Arab Saudi, Trump bertemu dengan Ahmed al-Sharaa, presiden terpilih dari Suriah pasca tumbangnya Bashar Assad. Ini merupakan bagian dari upaya untuk menguatkan eksistensi Israel. Dalam pertemuan tersebut, Suriah didorong masuk ke dalam skema Abraham Accord, dengan dijanjikan pencabutan sanksi ekonomi yang selama ini diberlakukan oleh Amerika Serikat terhadap Suriah selama 25 tahun. Di belakang itu ada Turki dan Arab Saudi.

Tujuan politik lainnya adalah penguatan aliansi strategis dengan negara-negara Teluk yang sudah menjadi sekutu Amerika Serikat. Arab Saudi, Qatar dan Uni Emirat Arab.

 

Apa yang bisa dibaca dalam aspek geopolitik Dunia Islam di Timteng pasca lawatan Trump?

Pasca lawatan Presiden Trump ke Timur Tengah pada Mei 2025, dari aspek geopolitik Dunia Islam di Timur Tengah, dapat dibaca beberapa dinamika penting.

Pertama: Penguatan posisi Amerika Serikat sebagai kekuatan dominan. Amerika Serikat terus memperkuat hubungan strategis dengan negara-negara Teluk yang kaya energi dan berperan kunci dalam geopolitik regional. Amerika Serikat terus berusaha membatasi pengaruh rivalnya, seperti Rusia.

Kedua: Memastikan kepentingan Amerika Serikat di Kawasan aman. Kemunculan rezim baru di Suriah memunculkan kesempatan untuk menguatkan kepentingan Amerika Serikat, menormalisasi hubungan dengan Israel.

Ketiga: Walaupun demikian, fragmentasi politik dan perbedaan kepentingan ideologis dalam Dunia Islam tetaplah nyata. Tidak semua pihak sejalan dengan apa yang dilakukan Amerika Serikat dengan negara mitra strategisnya di Teluk. Konflik internal di masing-masing negara masih ada. Persaingan kekuasaan, perbedaan sektarian juga menjadi tantangan untuk menyatukan umat Islam secara geopolitik. Salah satunya adalah terkait respon terhadap Palestina.

Keempat: Investasi besar yang masuk dari negara-negara Timur Tengah ke Amerika Serikat mempertontonkan relasi yang sangat kompleks. Ada peluang sekaligus ancaman baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Ini dapat memicu reaksi internal umat Islam di kawasan untuk menentukan sikap baik terhadap rezim yang berkuasa, maupun terhadap Amerika Serikat itu sendiri.

 

Siapa yang diuntungkan atas kunjungan Trump ke Timteng?

Kunjungan Donald Trump ke Timur Tengah pada Mei 2025 memberikan keuntungan bagi beberapa pihak secara strategis, baik dari segi politik, ekonomi, maupun citra internasional.

Pertama: Donald Trump secara pribadi dan politik domestik Amerika Serikat. Dengan kunjungan ini citra kepemimpinan diperkuat. Trump tampil sebagai negosiator global yang mampu menghasilkan investasi raksasa dan memperkuat hubungan dengan mitra strategis. Terjadi distraksi dari isu domestik. Kunjungan ini mengalihkan perhatian dari isu kontroversial dalam negeri seperti pembatasan visa, kebijakan anti-imigran dan investigasi terhadap lawan politik. Walaupun masih jauh, kunjungan ini dapat menghasilkan point electoral. Keberhasilan diplomatik dan ekonomi ini dapat digunakan sebagai amunisi politik untuk kampanye atau konsolidasi dukungan, terutama dari kalangan konservatif dan pelobi industri.

Kedua: Arab Saudi, UAE dan Qatar. Ketiga negara ini mendapatkan keuntungan strategis dan ekonomi, terutama penguatan aliansi keamanan. Investasi mereka ke Amerika Serikat juga menguatkan hubungan perdagangan di antara mereka.

Ketiga: Perusahaan-perusahaan besar AS, utamanya industri militer dan energi. Kesepakatan senjata dan teknologi pertahanan senilai ratusan miliar dolar memperkaya kontraktor besar seperti Lockheed Martin, Boeing dan ExxonMobil.

Keempat: Israel. Walaupun dalam kunjungan ini Trump tidak mengunjungi Israel secara langsung, Trump kembali menegaskan dukungan terhadap normalisasi hubungan Arab-Israel. Negara-negara Teluk diberi sinyal untuk melanjutkan kerjasama dengan Israel meski isu Palestina tetap belum terselesaikan. Suriah didorong untuk turut dalam Abraham Accord, menormalisasi hubungan dengan Israel. Tentunya ini memperkuat posisi Israel secara geopolitik, meski bukan tujuan utama dari kunjungan Trump saat ini.

Adapun Dunia Islam semakin terabaikan. Isu Palestina hanya disinggung dalam perspektif kepentingan eksistensi Israel. Para penguasa Muslim yang hadir membawa kepentingannya masing-masing. Ini menunjukkan posisi mereka yang tidak berdaya di hadapan negara adidaya Amerika Serikat.

 

Dari sisi negeri-negeri Islam di Timteng, kunjungan Trump ini menunjukkan apa?

Ia menjadi indikator kuat dari pergeseran orientasi, keterikatan strategis dan keterbelahan Dunia Islam di Timur Tengah.

Pertama: Konsolidasi poros “Islam Moderat Pro-Barat”. Negara-negara seperti Arab Saudi, UEA, Qatar bahkan Bahrain, Mesir, Yordania, Turki dan Suriah semakin menunjukkan diri mereka sebagai bagian dari poros “Islam moderat” yang bersekutu dengan Barat, terutama Amerika Serikat. Kunjungan Trump mempertegas bahwa poros ini siap menukar dukungan politik dan ekonomi dengan aliansi strategis dan militer.

Kedua: Solidaritas Dunia Islam secara kolektif tergeser oleh kepentingan nasional, sektarian dan geopolitik. Ini membuat Timur Tengah semakin terfragmentasi oleh kepentingan-kepentingan pragmatis local daripada isu-isu Dunia Islam, seperti Palestina.

Ketiga: Penurunan sentralitas isu Palestina. Dalam seluruh rangkaian kunjungan, isu Palestina tidak lagi menjadi agenda utama. Beberapa negeri Islam yang dulunya vokal mendukung Palestina kini lebih fokus pada kerjasama ekonomi dan keamanan dengan Amerika Serikat dan Israel. Ini menunjukkan bahwa banyak pemerintah negeri Islam di kawasan mulai memprioritaskan stabilitas dalam negeri dan keuntungan ekonomi dibandingkan dengan isu pan-Islamisme atau perjuangan keumatan.

Keempat: Kebergantungan pada Amerika Serikat dan Barat makin dalam. Negara-negara Teluk bersedia menanamkan ratusan miliar dolar sebagai bentuk loyalitas ekonomi dan jaminan keamanan dari Amerika Serikat. Ini menunjukkan tingkat kebergantungan tinggi negeri-negeri Islam terhadap dukungan militer dan politik Amerika Serikat. Kedaulatan politik kawasan terlihat dikompromikan demi stabilitas dan perlindungan eksternal.

Kelima: Absennya agenda Islam Politik kolektif. Tidak ada upaya untuk menyatukan suara Islam politik dalam menghadapi tantangan global seperti islamofobia, intervensi asing, atau penjajahan Palestina. Hal ini menunjukkan pelemahan daya tawar Dunia Islam sebagai satu entitas ideologis atau peradaban. Dunia Islam Timur Tengah lebih tampil sebagai “entitas negara-negara terpisah dengan agenda domestik masing-masing.”

 

Sambutan yang begitu meriah dan derasnya gelontoran uang dari pemimpin negeri-negeri Islam ke Amerika Serikat itu menunjukkan apa?

Pertama: Penegasan superioritas Amerika Serikat dalam hubungan asimetris dengan negara-negara Timur Tengah. Sambutan yang sangat megah dan formal mencerminkan bahwa negara-negara Islam, terutama Teluk, masih memandang Amerika Serikat sebagai patron utama dalam hal keamanan, stabilitas dan legitimasi internasional. Ini menandakan hubungan yang asimetris. Negara-negara Islam berperan sebagai pihak yang “menunjukkan loyalitas” untuk memperoleh perlindungan dan dukungan strategis dari Amerika Serikat.

Kedua: Politik uang sebagai alat diplomasi. Derasnya komitmen investasi dan pembelian senjata dari negara-negara Teluk kepada Amerika Serikat menunjukkan bahwa uang menjadi alat tawar utama, bukan nilai atau kepentingan keislaman. Ini adalah bentuk dari diplomasi transaksional. “Dukungan” atau “jaminan keamanan” dibayar dengan triliunan dolar. Dunia Islam tidak sedang memimpin percaturan internasional, tetapi justru “membayar” untuk bisa masuk dan didengarkan dalam percaturan yang ditentukan pihak luar.

Ketiga: Sambutan luar biasa kepada Trump juga ditujukan untuk penguatan citra internal para pemimpin negara Islam sendiri, bahwa mereka punya akses langsung ke kekuatan global dan mereka sedang “melindungi negara” dengan menjalin kemitraan kuat. Ini adalah bentuk dari legitimasi politik dalam negeri yang ditopang dari luar negeri.

Keempat: Lemahnya agenda kolektif Dunia Islam. Tidak adanya sikap kritis terhadap kebijakan Amerika Serikat terhadap Palestina, atau intervensi militer di kawasan, justru dikaburkan oleh sambutan meriah dan gelontoran dana. Ini menunjukkan bahwa isu-isu besar umat Islam tidak menjadi dasar sikap bersama, melainkan dikalahkan oleh kepentingan masing-masing negara dan elitenya.

Kelima: Politik balas jasa dan perlindungan. Investasi raksasa bisa dibaca sebagai “uang loyalitas” untuk mengamankan perlindungan politik dan militer dari Amerika Serikat, serta pengakuan internasional. Dalam konteks ini, negara-negara Islam tertentu berfungsi lebih sebagai klien politik (agen, perpanjangan tangan kepentingan), bukan mitra setara.

 

Apa penyebab sehingga negeri-negeri Islam tampak begitu lemah di hadapan Amerika Serikat?

Penyebabnya adalah kombinasi berbagai faktor struktural, politik, ekonomi dan sejarah yang saling berkaitan.

Pertama: Kebergantungan ekonomi dan keuangan. Banyak negara Islam, terutama di Teluk, sangat bergantung pada pendapatan minyak dan investasi asing, termasuk dari Amerika Serikat dan Barat. Kebergantungan ini menciptakan hubungan ekonomi yang asimetris. Mereka perlu menjaga hubungan baik dengan Amerika Serikat agar tetap mendapatkan dukungan investasi dan teknologi. Dalam situasi global yang berubah cepat, mereka kurang memiliki diversifikasi ekonomi yang kuat untuk mengurangi ketergantungan tersebut.

Kedua: Keterbatasan militer dan keamanan. Meskipun negara-negara Teluk memiliki anggaran militer besar, mereka masih sangat bergantung pada dukungan teknologi, intelijen dan perlindungan militer dari Amerika Serikat. Ancaman dari rival regional dan kelompok militan membuat mereka mengandalkan Amerika Serikat sebagai pelindung utama. Ini menciptakan posisi subordinat dalam hubungan strategis. Mereka harus tunduk pada kepentingan keamanan Amerika Serikat.

Ketiga: Kebergantungan pada dukungan politik dan legitimasi eksternal. Banyak rezim otoriter di Dunia Islam bergantung pada dukungan politik dan militer dari Amerika Serikat dan sekutu Barat untuk mempertahankan kekuasaan mereka. Ini membuat mereka sulit menentang kebijakan Amerika Serikat yang mungkin merugikan kepentingan rakyat atau kawasan, demi menjaga hubungan dan legitimasi rezim.

Keempat: Warisan sejarah kolonial dan intervensi asing. Sejarah panjang kolonialisme dan intervensi Barat telah meninggalkan struktur politik yang rapuh dan ketidakstabilan. Penarikan tentara Barat di sebagian tempat tidak mengakhiri pengaruh mereka. Pasalnya, mereka masih memiliki basis militer di kawasan. Amerika Serikat dan sekutu masih sangat dominan melalui berbagai aliansi dan perjanjian. Ini membuat negeri-negeri Islam masih terjebak dalam pola kebergantungan yang sulit diubah.

 

Sikap para pemimpin negeri-negeri Islam Timteng terhadap Amerika Serikat dan Palestina tampak makin kontradiktif pasca kunjungan Trump. Mengapa?

Ya. Kontradiksi sikap mereka memang semakin nyata dan mencolok pasca kunjungan Trump pada Mei 2025. Dalam kunjungan tersebut, tampak bahwa negeri-negeri Muslim yang dikunjungi (Arab Saudi, UEA, Qatar), secara terbuka memperkuat hubungan dengan Amerika Serikat, yang merupakan kekuatan global dan pelindung strategis mereka. Demi mengamankan investasi besar dan komitmen keamanan, mereka menegaskan prioritas terhadap hubungan pragmatis dengan Amerika Serikat, yang dianggap vital untuk stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, mereka cenderung menghindari kritik terbuka terhadap kebijakan Amerika Serikat, bahkan ketika kebijakan tersebut bertentangan dengan kepentingan Palestina.

Padahal Palestina secara historis menjadi simbol solidaritas Dunia Islam terhadap perjuangan kemerdekaan dan keadilan. Namun, setelah puluhan tahun konflik yang berkepanjangan dan perubahan geopolitik, banyak negeri Islam mulai melihat isu Palestina sebagai beban diplomatik dan penghalang hubungan pragmatis dengan Amerika Serikat dan Israel. Kunjungan Trump dan normalisasi hubungan beberapa negara Teluk dengan Israel semakin menegaskan bahwa isu Palestina tidak lagi menjadi prioritas utama kebijakan luar negeri mereka.

Sikap kontradiktif kentara terlihat. Secara resmi, banyak pemimpin negeri Islam masih menyatakan dukungan untuk hak-hak Palestina, tetapi tindakan politik dan ekonomi mereka sering bertolak belakang. Mereka menjalin hubungan erat dengan Amerika Serikat dan Israel, termasuk investasi besar dan kerjasama keamanan. Bahkan mereka mengurangi dukungan nyata untuk Palestina, baik secara diplomatik maupun material.

Inilah kemunafikan yang ditampakkan secara nyata oleh para pemimpin di Dunia Islam.

 

Benarkah apa yang dilakukan oleh pemimpin negeri-negeri Islam Timteng sebagai cerminan politik Islam?

Tentu apa yang dilakukan oleh para pemimpin negeri Muslim di Timur Tengah saat ini jauh dari cerminan politik Islam yang luhur sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah saw. dan generasi terbaik setelah beliau. Ini semestinya disadari oleh umat, bahwa para pemimpin mereka ternyata jauh dari idealisme kepemimpinan dalam Islam. Sekali lagi ini menunjukkan kemunafikan yang ditampakkan secara nyata oleh para pemimpin di Dunia Islam.

 

Hal-hal apa saja agar Dunia Islam sepadan bahkan lebih kuat pengaruhnya dibandingkan dengan Amerika Serikat?

Agar Dunia Islam bisa menjadi sepadan atau bahkan lebih kuat pengaruhnya dibandingkan dengan Amerika Serikat di kancah global, mereka perlu melakukan transformasi dan pembenahan di berbagai aspek penting, baik internal maupun eksternal.

Pertama: Harus dibangun kesadaran bahwa umat Islam pernah memiliki negara yang berpengaruh pada masa lalu. Kehadiran Daulah Islam di Madinah yang dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyiddin, yang dapat menghancurkan imperium Persia dan mengalahkan Romawi adalah bukti nyata dari kekuatan negara yang dibangun atas dasar prinsip tauhid. Ini terus berlangsung ke masa generasi selanjutnya, Khilafah Ummayah, Abbasiyah dan Utsmaniyah yang berperan mengatur tatanan global. Khilafah menjadi adidaya selama beberapa abad dan memberikan pengaruh internasional yang positif. Ini karena Khilafah membawa amanah menjadikan Islam sebagai rahmatan lil alamiin.

Kedua: Penguatan persatuan dan solidaritas politik. Membangun koalisi politik yang solid antarnegeri Islam untuk menghadapi isu bersama secara kolektif. Menyatukan suara Dunia Islam dalam isu-isu global yang krusial, seperti Palestina, islamofobia dan keadilan sosial. Mengurangi perpecahan dan konflik internal yang melemahkan kekuatan bersama. Tanpa persatuan, umat Islam akan sulit kembali pada posisinya sebagai negara kuat dan berpengaruh secara global.

Ketiga: Pengembangan kekuatan militer dan keamanan mandiri. Meningkatkan kemampuan pertahanan yang modern dan mandiri tanpa ketergantungan besar pada kekuatan asing. Membangun kerjasama militer antarnegeri Islam untuk mengatasi ancaman bersama dan menjaga stabilitas regional. Ini karena Negara Islam mengemban amanah menyebarkan Islam ke seluruh penjuru dunia. Menghilangkan hambatan fisik dengan mengumandangkan jihad. Karena itu kekuatan militer yang kuat dan independen menjadi prasyarat utama untuk dapat berpengaruh secara global.

Keempat: Penguasaan teknologi dan inovasi. Investasi besar dalam teknologi tinggi, riset sains dan pendidikan tinggi. Mengembangkan pusat-pusat inovasi dan start-up untuk menumbuhkan ekosistem teknologi yang kompetitif. Mengurangi ketergantungan teknologi pada Barat dan membangun kemandirian teknologi.

Kelima: Membangun kemandirian ekonomi. Diversifikasi ekonomi diperlukan agar tidak bergantung hanya pada sumber daya alam (misal: minyak dan gas). Pengembangan sektor industri (terutama industri berat dan dasar), teknologi dan inovasi untuk meningkatkan daya saing global. Mendorong investasi dalam pendidikan, riset dan pengembangan sumber daya manusia (SDM) berkualitas tinggi.

 

Apa yang harus dilakukan oleh umat Islam agar segera terwujud pemerintahan Islam yang kuat, tangguh dan berpengaruh secara global mendunia?

Umat Islam harus meneladani apa yang dicontohkan Nabi Muhammad saw. ketika awal mendirikan Daulah Islam di Madinah. Mereka harus membangun negara yang berdasarkan syariah Islam, yang kuat dan tangguh serta berpengaruh secara global dan mendunia.

Pertama: Harus dibangun atas pondasi aqidah yang kokoh. Negara yang masyarakatnya memiliki nilai spiritualitas yang tinggi. Individu-individu yang bertakwa, memiliki karakter negarawan, memahami syariah Islam secara utuh dan mereka bernegara dalam rangka pengabdian kepada Allah SWT semata.

Kedua: Negara yang dibangun harus ditopang oleh unsur-unsur yang meniscayakan kemandirian yang kokoh, tidak bergantung kepada negara lain, baik dari aspek sumber daya alam maupun sumber daya manusianya.

Ketiga: Harus ada pihak-pihak yang memperjuangkan secara konsisten untuk mewujudkan pemerintahan Islam yang kuat, tanggung dan berpengaruh secara global mendunia. Inilah dakwah yang menyasar dua pihak: (1) Umat, agar terbangun opini dan kesadarannya akan urgensi pemerintahan tersebut; (2) Pemilik Kekuasaaan (Ahlul Quwwah) yang dengan kekuasaan yang mereka miliki, setelah mereka pun sadar akan urgensi pemerintahan tersebut, mereka setuju dan menjadikan kekuasaannya penopang pembentukan pemerintahan Islam yang kuat, tangguh dan berpengaruh secara global mendunia.

WalLâhu a’lam. []

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

15 + 14 =

Back to top button