Muhasabah

Istilah Adalah Identitas

Pada tahun 1595 M, 430 tahun lalu, viral drama berjudul “Romeo and Juliet” besutan seorang dramawan dalam sejarah sastra Inggris, William Shakespeare. Dalam ‘Act II, Scene II’ dalam drama itu, Juliet bertutur “What’s in a name? That which we call a rose by any other name would smell as sweet (Apa arti sebuah nama? Bunga mawar akan tetap harum meskipun disebut dengan nama lain).”

Pernyataan “What’s in a name” ini tidak selalu benar. Dalam sebuah nama atau istilah yang telah memiliki makna dan nilai tertentu, nama dan istilah itu sangatlah penting. “Coba tengok, di negeri ateis mana ada istilah shalat. Begitu juga, mana ada di sana istilah sakinah mawaddah wa rahmah,” ujar saya saat ngobrol dengan beberapa pemuda.

Baru-baru ini, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi mengeluarkan Keputusan Gubernur nomor 445/kep.306-Dinkes/2025 tentang perubahan nama RS Al Ihsan menjadi RS Welas Asih. Dalam konteks “What’s in a name”, kalau sekadar aspek nama, Al Ihsan dengan Welas Asih tidak terlalu beda. Namun, dalam konteks lain sangat jauh berbeda. Tidak aneh, ketika Rumah Sakit Al Ihsan diubah namanya menjadi Rumah Sakit Welas Asih, gelombang reaksi masyarakat pun muncul. Protes, perdebatan dan refleksi bermunculan di ruang public. Baik di media sosial maupun forum-forum diskusi masyarakat. Ternyata, di balik pergantian istilah, tersembunyi persoalan yang jauh lebih dalam, yakni soal makna, identitas dan kuasa wacana yang ada di tengah masyarakat.

Dalam dunia bahasa, istilah bukan hanya kumpulan huruf atau suara. Istilah adalah simbol sosial. Istilah atau nama membawa sejarah, nilai bahkan memori kolektif. Sebagai contoh, nama “Al-Ihsan” berasal dari bahasa Arab yang dalam tradisi Islam memiliki makna spiritual mendalam. Ihsan berarti “melakukan sesuatu seolah-olah engkau melihat Allah SWT, dan jika tidak, ia menyadari bahwa Allah SWT melihat kita”. Ini adalah puncak keshalihan dalam ajaran Islam. Karena itu tidak mengherankan Badan Kerja sama Pondok Pesantren Indonesia (BKSPPI) mengeluarkan pernyataan sikap menolak keputusan tersebut. “Mendukung sepenuhnya tuntutan para tokoh agama dan masyarakat terkait pencabutan Keputusan Gubernur Jawa Barat tentang perubahan nama RS Al Ihsan menjadi RS Welas Asih,” tulis pernyataan yang ditandatangani oleh Ketua BKSPPI Prof. Dr. KH. Didin Hafidhuddin, MS itu (10/7/2025).

“Sebabnya, nama itu adalah hasil pemikiran para ulama dan telah sesuai dengan nilai-nilai Jawa Barat, yang diambil dari al-Quran dan al-Hadits yang salah satu maknanya adalah amal terbaik dan profesional,” tambahnya.

Adapun istilah “Welas Asih” dalam bahasa Jawa dan Sunda memiliki arti kasih sayang atau cinta yang mendalam. Welas berarti belas-kasih. Asih berarti cinta. Tidak ada yang salah jika hanya dilihat dari segi arti. Namun, pergeseran dari istilah Arab ke istilah lokal ini membawa dampak simbolik, yakni dari nuansa religius islami ke nuansa budaya lokal yang lebih sekuler. Simbol Islam menjadi hilang. Sejarah lahirnya istilah itu pun dikubur dalam-dalam.

Tak sekadar itu. Nama/istilah merupakan mencerminkan identitas. Katakan saja, ketika nama “Al-Ihsan” digunakan, masyarakat—khususnya yang mayoritas Muslim di Jawa Barat—merasa ada representasi nilai keislaman dalam pelayanan kesehatan publik. Sebuah rumah sakit dengan nama yang memiliki konotasi spiritual memberi kesan bahwa layanan di dalamnya berorientasi pada nilai kebaikan dan tanggung jawab moral yang tinggi. Ini tidak dapat dilepaskan dari suasana keislaman para pendiri dan kondisi keislaman saat mendirikan rumah sakit tersebut. Perubahan nama menjadi “Welas Asih” dapat dimaknai sebagai penghapusan simbol keagamaan (Islam) dari ruang publik. “Di dalamnya ada sensitivitas masalah SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan),” ungkap Wahyudi Almaroky. “Mengapa yang diganti hanya nama RS Al Ihsan dengan alasan mendekatkan pada budaya lokal? Mengapa RS lain seperti RS Santo Yusuf, RS Santo Bormeus, RS Advent tidak?” tambah Direktur Pamong Institut tersebut. “Kalau hanya nama berbau Islam saja yang diganti, sulit dipungkiri sangkaan bahwa perubahan itu mengandung unsur anti Islam,” pungkasnya.

“Oh, jadi di sinilah letak persoalannya. Bukan semata-mata soal nama, tapi soal siapa yang merasa diwakili,” ujar Pak Khoiruddin.

Kasus perubahan nama RS Al Ihsan menjadi RS Welas Asih menjadi momen penting bagi kita untuk merefleksikan betapa pentingnya bahasa dalam membangun kehidupan bersama. Ini bukan soal membela istilah Arab atau istilah lokal, tetapi bagaimana publik dilibatkan dalam menentukan simbol bersama. Dalam masyarakat plural seperti Indonesia, istilah harus dipilih bukan sekadar karena “terdengar baik”, tetapi karena memiliki resonansi sosial yang adil dan tidak arogan. Persoalannya, ketika nama/istilah dikuasai oleh penguasa maka yang akan terjadi adalah ketidakadilan dan diskriminasi. Yang sedang berlangsung adalah ‘kuasa wacana’. Tengok saja, istilah ‘good looking’ itu sangat positif. Namun, ketika dulu pernah ada pejabat melekatkan salah satu ciri radikal itu adalah ‘good looking’ maka persoalan menjadi lain. Ketika zaman Bung Karno istilah radikal dilekatkan Belanda bagi para pejuang, saat ini radikal itu dilekatkan oleh penguasa bagi kaum Muslim yang ingin menerapkan ajaran Islam seutuhnya. Akibatnya, sesuatu hal buruk menjadi baik dan hal baik menjadi buruk. Terbalik-balik. Dunia pun terbalik.

Jadi, isu ini bukan hanya soal nama rumah sakit, tetapi lebih cerminan dari bagaimana penguasa memperlakukan simbol, makna dan identitas. Kita belajar bahwa istilah adalah bagian dari narasi yang membentuk hidup bersama. Maka dari itu, saat sebuah istilah diganti, yang sebenarnya diganti bukan hanya huruf-hurufnya, bukanlah bunyi-bunyinya, melainkan makna sosial, sejarah dan nilai Islam yang terkandung di dalamnya.

WalLâhu a’lam. [Muhammad Rahmat Kurnia].

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

two × 5 =

Back to top button