Hadis Pilihan

Riba Fadhl Dalam Jual-Beli

Ubadah bin ash-Shamit ra. menuturkan bahwa Rasul saw. bersabda:

«الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ، وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ، وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ، وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ، وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ، وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ، مِثْلًا بِمِثْلٍ، سَوَاءً بِسَوَاءٍ، يَدًا بِيَدٍ، فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ، فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ، إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ»

Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jelay dengan jelay, kurma dengan kurma dan garam dengan garam (harus) semisal, sama dan kontan. Jika berbeda jenis-jenis ini maka juallah sesuka kalian jika kontan. (HR Muslim no. 1587, Ahmad no. 22727, Ibnu Hibban no. 5018 dan ad-Daraquthni no. 2876).

 

bu Hurairah ra. menuturkan bahwa Rasul saw. bersabda:

«التَّمْرُ بِالتَّمْرِ، وَالْحِنْطَةُ بِالْحِنْطَةِ، وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ، وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ، مِثْلًا بِمِثْلٍ، يَدًا بِيَدٍ، فَمَنْ زَادَ، أَوِ اسْتَزَادَ، فَقَدْ أَرْبَى، إِلَّا مَا اخْتَلَفَتْ أَلْوَانُهُ»

Kurma dengan kurma, gandum dengan gandum, jelay dengan jelay dan garam dengan garam (harus) semisal dan kontan. Siapa yang menambah atau meminta tambahan maka dia telah melakukan riba, kecuali yang berbeda warna (jenis)-nya (HR Muslim no. 1588, Ahmad no. 7171, an-Nasai no. 4559).

 

Abu Said al-Khudzri ra. juga menuturkan bahwa Rasul saw. bersabda:

«الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ، وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ، وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ، وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ، وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ، وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ، مِثْلًا بِمِثْلٍ، يَدًا بِيَدٍ، فَمَنْ زَادَ، أَوِ اسْتَزَادَ، فَقَدْ أَرْبَى، الْآخِذُ وَالْمُعْطِي فِيهِ سَوَاءٌ»

Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jelay dengan jelay, kurma dengan kurma dan garam dengan garam (harus) semisal dan kontan. Siapa yang menambah atau meminta tambahan maka dia sudah melakukan riba; yang mengambil dan yang memberi di situ sama saja (HR Muslim no. 1584, Ahmad no. 11466, 11635, 11928).

 

Dalam hadis di atas, dengan jelas Rasul saw. menyatakan bahwa riba terjadi pada pertukaran keenam jenis barang yang disebutkan yaitu: emas, perak, kurma, gandum, jelay dan garam. Ini ketika terjadi pertukaran antar barang yang sejenis dengan saling berlebih satu sama lain. Misalnya, kurma kualitas baik dipertukarkan (diperjualbelikan) dengan kurma kualitas lebih jelek dengan jumlah yang lebih banyak.

Redaksi hadis di atas memberikan makna pembatasan (al-hashru). Hal itu karena disebutkan pertukaran masing-masing barang tersebut satu sama lain dengan disebutkan isim (nama)-nya masing-masing. Setelah itu disebutkan: “Fa-idzâ ikhtalafat hadzihi al-ashnâf fabî’û kayfa syi‘tum idzâ kâna yad[an] bi yad[in] (Jika berbeda jenis-jenis ini maka juallah sesuka kalian jika kontan).”

Ini bermakna pembatasan pada jenis barang-barang ini saja (emas, perak, kurma, gandum, jelay dan garam). Artinya, hukum yang dijelaskan dalam hadis ini pun dibatasi pada keenam jenis itu saja dan tidak berlaku pada selain itu.

Selain itu, riba dalam pertukaran (jual-beli) hanya terjadi pada keenam jenis tersebut. Hal itu, menurut Al-Qadhi Taqiyuddin an-Nabhani di dalam An-Nizhâm al-Iqtishâdî, karena telah terakadkan Ijmak Sahabat atas hal demikian; juga karena sabda Rasul saw. riwayat Ubadah bin ash-Shamit di atas. Ijmak Sahabat dan Hadis Nabi saw. menyatakan atas sesuatu tertentu yang di dalamnya ada riba, yang tidak ditetapkan kecuali pada sesuatu tersebut. Pada selain enam jenis ini tidak dinyatakan dalil atas pengharaman sehingga tidak ada riba pada selain itu. Masuk di dalamnya semua yang termasuk ke dalam jenisnya dan sifat-sifat yang berlaku padanya. Adapun selain itu maka tidak masuk.”

Memang ada pendapat Sebagian ulama bahwa riba dalam pertukaran saling berlebih itu juga berlaku pada selain keenam jenis itu. Hal itu karena mereka menilai riba itu karena ‘illat.

Badruddin al-‘Ayni (w. 855 H) di dalam ‘Umdah al-Qârî Syarhu Shahîh al-Bukhârî menyatakan:

Kaum Muslim telah bersepakat (berijmak) atas pengharaman riba pada keenam jenis itu. Keenam jenis ini telah disepakati, tetapi mereka berbeda pendapat pada selain itu. Ahluzh-Zhahir, Masruq, Thawus, asy-Sya’bi, Qatadah dan Utsman al-Batiy dalam apa yang disebutkan oleh Imam al-Mawardi berpendapat bahwa pengharaman hanya pada keenam jenis itu. Adapun ulama lainnya mengatakan, itu merembet pada apa yang tercakup dalam maknanya. Adapun emas dan perak, ‘illat pada keduanya, menurut Abu Hanifah, adalah timbangan pada jenis yang sama, dan yang benar dengan keduanya adalah masing-masing ditimbang. Menurut asy-Syafi’i, ‘illat pada keduanya adalah jenis harga. Adapun pada empat lainnya, di situ ada sepuluh pendapat… (Lalu ia memaparkan sepuluh pendapat itu).

Semua pendapat mengenai ‘illat riba itu lemah dan tidak membuktikan ‘illat itu. Dalam hal itu, Al-Qadhi Taqiyuddin an-Nabhani di An-Nizhâm menyatakan, “Adapun penetapan ‘illat pengharaman pada barang-barang ini tidak dinyatakan di dalam nas sehingga tidak ada ‘illat. Sebabnya, ‘illat itu adalah ‘illat syar’iyyah, bukan ‘illat ‘aqliyah. Maka dari itu, selama tidak dipahami adanya ‘illat dari nas maka ia tidak mu’tabar. Adapun qiyas ‘illat maka tidak dinyatakan di sini. Sebabnya, disyaratkan pada qiyas ‘illat itu sesuatu yang dinilai sebagai ‘illat itu merupakan sifat yang memberikan konotasi (washf[un] mufhim[un]) sehingga sah dilakukan qiyas pada sesuatu tersebut. Jika bukan merupakan washf[un] mufhim[un] (sifat yang mengandung konotasi/makna lain), misalnya berupa isim jâmid atau sifat yang tidak memberikan konotasi (ghayru mufhim[in]), maka tidak layak menjadi ‘illat dan tidak dapat di-qiyas-kan pada sesuatu tersebut.”

Keenam jenis itu dinyatakan di dalam hadis di atas dengan isim jâmid. Isim jâmid tidak memiliki mafhûm (konotasi/makna lain) dan tidak memberikan konotasi (makna lain).

Semua yang dinyatakan sebagai ‘illat—seperti keberadaannya ditimbang (al-mawzûn), ditakar (al-makîl), berupa makanan pokok (al-qût), makanan (ath-tha’âm) atau dimakan (al-math’ûm), disimpan (al-iddikhâr), dizakati, dsb—tidak layak untuk menetapkan ‘illat. Sebabnya, semua itu tidak dinyatakan oleh nas. Adapun timbangan (al-waznu) dan takaran (al-kaylu), yang dinyatakan dalam sebagian redaksi hadis tersebut seperti, Ubadah bin ash-Shamit, menuturkan bahwa Rasul saw. bersabda:

«الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ، تِبْرُهُ وَعَيْنُهُ، وَزْنًا بِوَزْنٍ، وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ، تِبْرُهُ وَعَيْنُهُ، وَزْنًا بِوَزْنٍ، وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ، وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ، وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ، وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ كَيْلًا بِكَيْلٍ، فَمَنْ زَادَ أَوِ ازْدَادَ فَقَدْ أَرْبَى، وَلَا بَأْسَ بِبَيْعِ الشَّعِيرِ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ أَكْثَرُهُمَا يَدًا بِيَدٍ»

Emas dengan emas, bijihnya dan cetakan uangnya, harus sama timbangannya; perak dengan perak, bijihnya dan cetakan uangnya, harus sama timbangannya; garam dengan garam; kurma dengan kurma; gandum dengan gandum dan jelay dengan jelay (harus) sama takarannya. Siapa saja yang menambah atau meminta tambahan maka dia telah melakukan riba. Tidak apa-apa menjual jelay dengan gandum dan jelay lebih banyak selama kontan (HR an-Nasai di dalam Sunan al-Kubrâ no. 6111, al-Baihaqi di dalam Sunan al-Kubrâ no. 10541, ath-Thahawi di dalam Syarhu Ma’âni al-Atsâr no. 5759).

 

Hadis ini dan semisalnya hanya menyatakan keadaan yang padanya berlaku pengharaman, yaitu timbangan dengan emas dan perak; juga takaran dengan gandum, jelay, kurma dan garam, secara saling berlebih. Jadi itu merupakan penjelasan atas apa yang di dalamnya terjadi pertukaran dan bukan ‘illat untuk perkara tersebut.

Ada juga hadis yang menyebutkan makanan secara umum. Abu Said al-Khudzri menuturkan:

أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ «قَسَمَ بَيْنَهُمْ طَعَامًا مُخْتَلِفًا، بَعْضُهُ أَفْضَلُ مِنْ بَعْضٍ» قَالَ: فَذَهَبْنَا نَتَزَايَدُ بَيْنَنَا، «فَمَنَعَنَا رَسُولُ اللهِ ﷺ أَنْ نَتَبَايَعَهُ إِلَّا كَيْلًا بِكَيْلٍ لَا زِيَادَةَ فِيهِ»

Rasulullah saw. membagi di antara mereka makanan yang berbeda. Sebagiannya lebih dari sebagian lainnya. Ia (Abu Sa’id) berkata, “Kami pergi mempertukarkan saling berlebih di antara kami.” Lalu Rasulullah saw. melarang kami menjualnya kecuali sama takarannya tidak ada tambahan padanya (HR an-Nasai no. 11771).

 

Hanya saja, dalam riwayat Abu Ya’la no. 999, Abu Sa’id menyebutkan, “tha’âm[an] mukhtalif[an] min at-tamri (makanan yang berbeda berupa kurma)”. Jadi penyebutan tha’âm[an] ini adalah kata umum, sementara yang diinginkan adalah makna khusus (al-‘umûm murâdu bihi al-khushûsh), yakni kurma.

Ma’mar bin Abdullah menuturkan, Rasul saw. bersabda:

«الطَّعَامُ بِالطَّعَامِ مِثْلًا بِمِثْلٍ»

Makanan dengan makanan (harus) semisal (HR Muslim no. 1592, Ahmad no. 27250, ad-Daraquthni no. 2878, Ibnu Hibban no. 5011).

 

Ma’mar berkata, “tha’amunâ yawma-idz[in] asy-sya’îru (makanan kami ketika itu jelay)”. Ma’mar juga menerapkan ketentuan ini pada gandum.

Jabir bin Abdullah menuturkan, Rasul saw. bersabda:

لا تباعُ الصُّبرةُ منَ الطَّعامِ بالصُّبرةِ منَ الطَّعامِ ولا الصُّبرةُ منَ الطَّعامِ بالكيلِ المسمَّى منَ الطَّعامِ

Jangan dijual seonggok makanan dengan seonggok makanan, tidak pula seonggok makanan dengan takaran yang jelas berupa makanan (HR an-Nasai no. 4548).

 

Lafal ath-tha’âm itu merupakan redaksi yang bersifat umum sehingga berlaku pada makanan secara umum. Lalu datang hadis penuturan Ubadah bin ash-Shamit, Abu Said al-Khudzri, Abu Hurairah, Ibnu Umar di atas yang membatasi lafal ath-tha’âm itu pada keempat jenis makanan yaitu: kurma, gandum, jelay dan garam. Dengan demikian lafal ath-tha’âm dalam hadis-hadis ini termasuk al-‘âm al-murâdu bihi al-khushûsh (kata umum yang diinginkan darinya adalah makna khusus), yakni keempat jenis makanan: kurma, gandum, jelay dan garam.

Berdasarkan semua itu maka riba fadhl dalam pertukaran hanya terjadi pada keenam jenis itu, termasuk uang, yaitu ketika dipertukarkan sesama jenis dengan saling berlebih. Riba tidak berlaku pada selain keenam jenis itu.

WalLâh a’lam wa ahkam. [Yahya Abdurrahman]

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

nine − nine =

Back to top button