Fikih

Apakah Hadis yang Tertolak Secara Dirâyah Berarti Cacat Secara Riwâyah?

Apakah hadis yang tertolak secara dirâyah terpengaruh secara riwâyah. Dengan redaksi lain, jika terbukti bahwa suatu hadis tertentu tertolak secara dirâyah, apakah hal itu menyebabkan tajrîh (pencacatan) pada salah seorang perawinya, baik apakah perawi terakhir yang menukilkan khabar atau perawi pertama yang menyampaikan apa yang dia saksikan atau yang dia dengar?

 

Jawab:

Sesungguhnya penerimaan khabar ahad tidak terjadi kecuali setelah syarat-syarat kesahihannya secara riwâyah dan dirâyah terpenuhi:

Pertama, terpenuhi syarat-syarat riwâyah. Artinya, keberadaan sanad hadis tersebut shahih. Dengan kata lain, hadis tersebut dari awal hingga akhir sanad-nya terpenuhi syarat-syarat keshahihan para perawinya. Tegasnya: para perawi hadis itu adalah: Muslim, balig, berakal, adil, shâdiq (jujur) dan dhâbith (akurat) atas apa yang dia dengar, hapal atas hadis itu sejak waktu dia terima sampai dia riwayatkan… dsb. Ini yang disebut bahwa hadis itu shahih secara riwâyah.

Kedua, terpenuhi syarat-syarat keshahihannya secara dirâyah, yaitu matan (isi) hadis itu tidak bertentangan dengan apa yang lebih kuat berupa ayat atau hadis mutawâtir atau masyhûr.

Ini berarti, jika di dalam sanad-nya ada kelemahan pada salah seorang perawinya atau karena ke-majhûl-annya, dsb, maka hadis itu ditolak secara riwâyah.

Adapun jika para perawi sanad itu tidak bermasalah, melainkan hanya matan-nya saja yang bertentangan dengan apa yang lebih kuat, maka hadis itu ditolak secara dirâyah.

Oleh karena itu, penolakan secara dirâyah tidak menunjukkan bahwa salah seorang perawinya itu dha’îf atau cacat, dsb. Seandainya di dalam salah satu sanad-nya ada semisal hal itu, niscaya hadis tersebut ditolak secara riwâyah. Jika demikian, penolakannya secara dirâyah bermakna bahwa perawi sanad tersebut tidak bermasalah, tetapi matan-nya bertentangan dengan yang lebih kuat.

Di dalam Kitab Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyah (1/188) dinyatakan:

Jika datang hadis yang bertentangan dengan apa yang ada di dalam al-Quran yang qath’i maknanya, maka hadis terebut tertolak secara dirâyah, yakni dari sisi matan-nya, karena maknanya bertentangan dengan al-Quran. Hal itu semisal apa yang diriwayatkan dari Fathimah binti Qais bahwa dia berkata:

«طَلَّقَنِي زَوْجِي ثَلَاثاً عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ ﷺ فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ ﷺ فَلَمْ يَجْعَلْ لِي سَكَناً وَلَا نَفَقَةً»

Suamiku mentalak aku dengan talak tiga pada masa Rasulullah saw. Lalu aku datang kepada Nabi saw. dan beliau tidak menjadikan untuk aku tempat tinggal dan tidak pula nafkah.

 

Hadis ini tertolak karena bertentangan dengan al-Quran, yaitu bertentangan dengan firman Allah SWT:

أَسۡكِنُوهُنَّ مِنۡ حَيۡثُ سَكَنتُم مِّن وُجۡدِكُمۡ ٦

Tempatkanlah mereka (para istri) di mana saka kalian bertempat tinggal menurut kemampuan kalian (QS ath-Thalaq [65]: 6).

 

Hadis tersebut ditolak karena bertentangan dengan al-Quran yang qath’i ats-tsubût qath’i ad-dalâlah.

Adapun jika hadis tersebut tidak bertentangan dengan al-Quran, artinya hadis itu mengandung sesuatu yang tidak dinyatakan oleh al-Quran atau merupakan tambahan dari apa yang ada di dalam al-Quran, maka hadis tersebut diambil dan al-Quran juga diambil. Tidak dikatakan, kita mencukupkan dengan al-Quran dan apa yang dinyatakan di dalam al-Quran saja. Sebabnya, Allah SWT memerintahkan untuk mengambil keduanya sekaligus dan i’tiqâd (keyakinan) atas keduanya sekaligus wajib ada.

Dinyatakan pula di dalam Asy-Syakhshiyah al-Islâmiyah (3/90-91):

Syarat-syarat penerimaan khabar ahad: khabar ahad diterima jika memenuhi syarat-syaratnya secara riwâyah dan dirâyah. Adapun syarat-syarat penerimaan hadis secara riwâyah adalah keberadaan perawi hadis itu harus: Muslim, balig, berakal, adil, jujur (shâdiq), akurat (dhâbith) terhadap apa yang dia dengar, ingat (hapal) dari waktu dia mendapatkan hadis sampai waktu dia menyampaikan hadis itu. Para ‘ulamâ`u al-ushûl dan ulama mushthalah al-hadîts telah menjelaskan secara rinci syarat-syarat riwâyat, dan menjelaskan sejarah para rijâl hadis dan perawi mereka, tiap-tiap perawi dan sifat-sifat apa saja yang terpenuhi padanya. Adapun syarat-syarat penerimaan khabar ahad secara dirâyah adalah keberadaan hadis itu tidak bertentangan dengan apa yang lebih kuat dari hadis tersebut berupa ayat, hadis mutawatir atau hadis masyhûr. Misalnya, apa yang diriwâyatkan dari Fathimah binti Qais bahwa dia berkata:

«طَلَّقَنِي زَوْجِي ثلاَثاً فَلَمْ يَجْعَلْ لِي رَسُولُ اللَّهِ ﷺ سُكْنَى وَلاَ نَفَقَةً»

Suamiku mentalak aku dengan talak tiga (pada masa Rasulullah saw.). (Lalu aku datang kepada beliau) dan beliau tidak menjadikan untuk aku tempat tinggal dan tidak pula nafkah (HR Muslim).

 

Hadis ini tertolak karena bertentangan dengan al-Quran yaitu bertentangan dengan firman Allah SWT:

أَسۡكِنُوهُنَّ مِنۡ حَيۡثُ سَكَنتُم مِّن وُجۡدِكُمۡ ٦

Tempatkanlah mereka (para istri) di tempat mana saja kalian bertempat tinggal menurut kemampuan kalian (QS ath-Thalaq [65]: 6).

 

Oleh karena itu hadis ini wajib ditolak dan tidak boleh diamalkan.

Semoga di dalam jawaban ini ada kecukupan. WalLâh a’lam wa ahkam.

[Dikutip dari Jawab Soal Syaikh Atha‘ bin Khalil Abu ar-Rasytah tanggal 30 Syawal 1443 H/30 Mei 2022 M]

 

Sumber:

https://www.hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer-hizb/ameer-cmo-site/82339.html

https://www.facebook.com/photo/ %D8%9Ffbid=560762815611092&set= a.469598088060899

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

7 + five =

Back to top button