Jaringan Ulama Nusantara Sepanjang Era Khilafah
Keberadaan jaringan ulama Nusantara tidak bisa dilepaskan dari sejarah peradaban Islam yang sangat panjang. Terutama pada masa kekhalifahan Turki Utsmani. Para ulama Nusantara ini cukup diperhitungkan dan kerap dilibatkan dalam berbagai dinamika di Timur Tengah. Hal tersebut dapat dipahami karena sejak dulu, negeri kepulauan ini cukup diperhitungkan oleh peradaban-peradaban besar di Timur Tengah, sejak masa bani Israil hingga masa Pra Islam.
Para bahariawan dari Nusantara sudah berkelana ke berbagai penjuru dunia. Mereka dikenal sebagai para pelaut ulung penakluk samudera. Nusantara juga dikenal sebagai muara berlimpahnya rempah-rempah yang sangat dibutuhkan masyarakat dunia. Negeri kepulauan ini pun terkemuka di seantero jagat dengan keberadaan kapur barusnya. Satu-satunya tempat di permukaan bumi ini yang mampu menghasilkan kamper terbaik.
Islamisasi Awal Nusantara
Momentum awal Islamisasi dunia, termasuk Nusantara di dalamnya, mulai berlangsung sejak Nabi Muhammad saw. menyepakati Perjanjian Hudaibiyah dengan musyrik Quraisy pada 628 M. Sejak itu, Rasul dan para Sahabatnya segera mengamankan jazirah Arabia dengan membebaskan Khaibar dari kekuasaan Yahudi.
Berikutnya, dakwah Islam pun dapat berlangsung dengan aman dan damai, para shahabat terbaik diutus oleh Baginda Nabi ke berbagai penjuru bumi. Di antaranya, Abdullah bin Mas’ud menyertai Suku Ta’shih mengarungi samudera menuju negeri al-Fansur (Barus) di Kepulauan Syamatirah (Sumatera). Fakta historis inilah yang diungkap oleh N.A. Baloch dalam Buku The Adventure of Islam in Indonesia. Termasuk dalam Kitab Qishash Da’wah al-Islam fi al-Araghbiliyah, yang berasal dari keluarga Azmatkhan. Kitab klasik ini merinci para Sahabat Nabi saw. yang hilir-mudik menyemarakan dakwah Islam hingga ke Nusantara.
Berikutnya, dakwah Islam pun semakin mengemuka. Bahkan masuk ke dalam kedatuan dan keraton para penguasa. Tema rahmatan lil ‘alamin yang dipahami Bumiputra sebagai “juru selamat bagi manusia dan dunia” menjadi bahasan menarik bagi para penguasa. Bahkan disebutkan penguasa dari Po’o Ling Pang (Palembang) mengirim dutanya untuk menemui Rasul saw. di Arabia.
Delegasi dari Palembang itu baru tiba di Madinah pada 634 saat peralihan kekuasaan dari Khalifah Abu Bakar kepada Umar bin al-Khaththab. Niat mereka untuk menemui Rasul saw. tidak terlaksana karena perjalanan yang ditempuh berlangsung sangat lama dan lambat. Hal ini diungkap Prof. Agus Sunyoto dalam Buku Atlas Walisongo Indonesia. Kepulangan mereka kembali ke Swarnabhumi turut menyemarakan jejaring awal ulama di Nusantara.
Jejaring Ulama Nusantara
Dalam Kitab Al-Hayawan, Imam al-Jahiz mengutip surat permohonan belajar Islam dari penguasa Hindia Timur (Nusantara) kepada Khalifah pertama Bani Umaiyah, Muawiyah bin Abi Sufyan. Berikutnya, Imam Ibnu Jarir at-Thabari mengisahkan bahwa duta-duta dakwah utusan Mu’awiyah sudah tiba di Kalingga sekira 674-675 M. Mereka dikisahkan berhasil mengislamkan Ratu Sima dan putra mahkotanya, Pangeran Jaysima. Para duta itu ada yang memilih bermukim di Japara demi mengajarkan Islam kepada kalangan pribumi Jawadwipa. Fakta inilah yang dikutip KH Agus Salim dalam bukunya Sejarah Islam di Indonesia yang terbit pada tahun 60-an.
Tidak lama kemudian ada berita pula dari kerajaan Srivijay Jambi. Penguasanya, Sri Indravarma, menulis surat kepada khalifah Umar bin Abdul Aziz agar mengirim duta untuk mengajarkan Islam dan al-Quran kepada keluarga Kerajaan. Khalifah kedelapan Bani Umawiyah itu lalu mengirimkan para muqri untuk mengajarkan Islam kepada Sri Indravarma dan keluarganya hingga mereka menjadi Muslim. Srivijay Jambi pun bersulih nama menjadi Sribuza Islam. Berita ini ditulis oleh Imam Abdur Rabbih dalam kitab Al-Iqdul Farid; juga dikutip oleh Buya Hamka dalam bukunya, Dari Perbendaharaan Lama.
Saat terjadi kegaduhan politik di tubuh kekhalifahan Umawiyah di Damaskus, banyak di antara keluarga besar Baginda Nabi dari bani Hasyimiyah dan Alawiyah berdiaspora ke berbagai penjuru Dunia Islam. Para Sayyid, Syarif dan Habaib ini datang bergelombang ke Nusantara. Mereka bermukim sekaligus mensyiarkan Islam ke berbagai pelosok kepulauan Nusantara dan menjalin relasi dan jejaring dakwah dengan Muslim pribumi.
Saat kekuasaan Khilafah Abbasiyah, peradaban umat Islam di Baghdad telah menjadi mercusuar dunia. Berbagai universitas terbaik tumbuh di dunia Islam. Perpustakaan terbaik dan laboratorium penelitian tersebar di banyak kota. Madrasah-madrasah ilmu banyak dikunjungi para darwisy dari berbagai penjuru negeri Islam. Termasuk dari Nusantara. Dakwah Islam ke negeri-negeri Asia Selatan dan Timur pun semakin massif dan semarak. Relasi para ulama dan juru dakwah dari Asia Tengah dan murid-muridnya di Nusantara pun semakin intens. Demikian pula hubungan antara khalifah Abbasiyah dengan para penguasa Nusantara; terjalin dengan harmonis.
Keharmonisan ini dapat terlacak saat Khilafah Abbasiyah runtuh digempur pasukan Hulegu Khan dari Mongol pada 1258. Ada di antara keluarga khalifah yang menyelamatkan diri hingga ke Nusantara. Mereka adalah keluarga al-Mustanshir Billah yang dipimpin Abdul Qadir bin Yusuf. Mereka mendapat suaka dari Kerajaan Samudera Pasai. Keluarga khalifah ini bermukim di Aceh hingga generasi terakhirnya, Abdullah bin Muhammad bin Abdul Qadir bin Yusuf bin al-Mustanshir Billah al-Abbasi wafat pada 1413. Pembaringan terakhir keluarga Khalifah Abbasiyah ini masih dapat kita ziarahi di Passe, Aceh.
Selama mengasingkan diri di Aceh, keluarga Khalifah Abbasiyah ini mendapat penghormatan dari masyarakat Nusantara. Apalagi mereka masih keluarga Nabi saw. dari Bani Abdul Mutthalib bin Hasyim. Bahkan, sebelumnya keluarga Nabi saw. dari kalangan Hasyimiyah, Alawiyah, Ba’alawi hingga Azmatkhan sudah bermukim sekian lama di Nusantara. Jejaring para ulama Nusantara pun semakin terlihat bentuk dan soliditasnya.
Sebelumnya, sepanjang 1400-1404 terjadi berbagai teror dari Samarkand hingga Anatolia akibat ekspansi penguasa Mongol, Amir Tamerlane. Penguasa cicit Genghis Khan itu ingin mengembalikan supremasi Imperium Mongol Raya. Sepak terjangnya membumi-hanguskan negeri-negeri Islam itu mengakibatkan para ulama di Samarkand mengungsi. Di antara para ulama itu ada yang mendapat perlindungan dari Mehmed Han Celebi, putra Sultan Ruum, Beyazid Yildirim, dari Utsmaniyah.
Saat itu, Sultan Mehmed Celebi mendapat hadiah berupa kitab Kanzul ‘Ulum karya Muhammad bin Bathuthah dari penguasa negeri Maghribil Aqsha, Maroko. Dalam kitab itu terungkap harapan dari Ibnu Bathuthah kepada siapapun penguasa Muslim yang memiliki kemampuan untuk segera mengislamkan negeri Timur di seberang samudera, yakni Nusantara, khususnya satu kepulauan yang dihuni penduduk mayoritas yang dia sebut sebagai al-Jawiy.
Sultan Mehmed Celebi segera merespons harapan penyusun kitab itu dengan mengutus keempat ulama dari Samarkand tadi ke Jawadwipa sebagai duta pelopor. Mereka adalah Maulana Ahmad Jamaluddin Husain al-Akbar (Syaikh Jumadil Kubro), Maulana Muhammad al-Baqir (Syaikh Subakir), Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik) dan Maulana Ishaq as-Samarkand (Syaikh Isak Asmarkondi). Namun, yang tiba di Jawadwipa saat itu, hanya dua orang duta saja. Pasalnya, Malik Ibrahim singgah dulu di Campa, sedangkan Syekh Isak singgah dulu ke Passe. Mereka yang tiba di Jawadwipa itu dikenal sebagai walisepuh.
Dakwah walisepuh itu mendapat sambutan positif dari masyarakat Jawadwipa, baik dari para bhayangkari Majapahit maupun rakyat jelata. Akhirnya, berita ini direspons baik oleh Sultan Mehmed Celebi. Penguasa kelima Utsmani ini memerintahkan dua orang dutanya yang singgah di Campa dan Passe untuk segera menyusul ke Pulau Jawa, termasuk dengan mengirim lima ulama terbaik berikutnya menjadi duta Sultan Ruum mengislamkan Jawadwipa. Mereka adalah Maulana Malik Israil dari Turki, Maulana Ali al-Akbar dari Persia, Maulana Muhammad al-Maghribi dari Maroko, Maulana Hasanudin dan Maulana Aliyuddin dari Palestina. Kelima ulama itu melengkapi jumlah para duta dakwah Utsmani sebanyak sembilan orang. Mereka inilah yang dikenal sebagai generasi awal walisongo.
Walisongo generasi pertama yang dipimpin oleh Maulana Malik Ibrahim ini memiliiki tugas utama islamisasi Jawadwipa dengan misi ideologis (mengislamkan rakyat Jawa), misi politis (membangun institusi politik Islam di Jawadwipa) dan misi global strategis (kampanye dukungan terhadap Sultan Ruum sebagai pemimpin Islam).
Strategi dakwah dalam tiga misi perjuangan Walisongo ini berhasil pada 1478 saat berdiri Kerajaan Islam pertama, Demak Bintoro di Glagahwangi. Bahkan embrionya sudah bermula sejak berdirinya Giri Kedaton beberapa waktu sebelumnya. Penguasa Utsmani saat itu, Fatih Sultan Mehmed II berkenan untuk menganugerahi gelar Raden Patah bin Prabu Brawijaya sebagai khalifatullah ing tanah jawa, sekaligus mempusakainya dengan bendera hitam dari kain kiswah Ka’bah dan bendera hijau bertuliskan kalimah tauhid yang menjadi bukti pengangkatannya sebagai perwakilan Utsmani di Jawadwipa.
Setahun kemudian, pada 1479 berdiri pula Kerajaan Islam Cirebon di keraton Pakungwati, dengan Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) sebagai sultan pertamanya. Para penguasa Islam Jawadwipa itu pun menyatakan baiatnya kepada penguasa Utsmani yang mereka sebut sebagai Sultan Ruum. Apalagi sejak Utsmani menguasai Romawi Timur pada 1453.
Jejaring ulama Nusantara ini mencapai momentumnya saat islamisasi Jawadwipa oleh majelis Walisongo. Majelis ini berlangsung dari generasi ke generasi. Ini sebelum dibubarpaksa-kan oleh kolonial Belanda pada 1837 dengan menerbitkan ordonansi yang membekukan Majelis Walisongo, melarang dakwah Islam politis dan membatasi syiar Islam di lingkungan keraton yang ada di seluruh Jawadwipa.
Sekalipun demikian, dakwah tetap digelorakan oleh para ulama di Jawadwipa. Mereka tetap menjalin relasi dan jejaring: melalui pondok-pondok pesantren tradisional di seluruh Nusantara, melalui aktivitas abdidalem keraton yang masih bisa mengajari baca-tulis al-Quran; termasuk menjalin kemitraan strategis dengan para konsul Khilafah Utsmani di Batavia.
Melalui para konsul Utsmani inilah, para ulama dan Bumiputra mengadukan berbagai persoalan mereka. Di antara yang terkemuka adalah para ulama Nusantara mengadakan Kongres Umat Islam di Batavia pada 1903 yang diinisiasi oleh Syaikh Ahmad Shoorkati dari Jami’atul-Khayr. Keputusan Kongres yang dihadiri Konsul Utsmani, Muhammad Amin Bey, itu menghasilkan resolusi keharaman tunduk pada kekuasaan kafir di Nusantara.
Pada 1912 pula, melalui berita yang disampaikan Konsul Utsmani di Batavia, Khalifah Utsmani mengirim surat kepada Sultan Hamengkubuwono VII untuk membangun sekolah modern bagi Muslim Jawa demi menangkal pengaruh buruk pendidikan sekular di sekolah-sekolah milik kolonial. Raden Mas Murtedjo pun segera mengangkat abdi dalemnya Muhammad Darwis sebagai guru ngaji bagi masyarakat Jogjakarta. Kelak, guru ngaji yang nasabnya nyambung kepada Muhammad Ainul Yaqin (Sunan Giri) ini dikenal sebagai KH Ahmad Dahlan, mu’assis Persyarikatan Muhammadiyah.
Saat terjadi The Great War pada 1914-1919, Sultan Utsmani memproklamirkan jihad akbar melawan Allied Forces. Dalam pidato politiknya yang tersebar luas hingga Nusantara ini, Khalifah kaum Muslim itu menyeru Jam’iyah Islamiyah (pan islamisme). Salah satu poinnya adalah seruan membebaskan kaum Muslim Pamalayu dan Jawi dari penjajahan Inggris dan Belanda. Para ulama Nusantara yang tergabung dalam Central Sjarikat Islam pun menyambut seruan Khalifah ini dalam Kongres Umat Islam II pada 1915 di Bandung. Mereka berencana mengadakan kirab di seantero kota dengan membawa panji-panji Islam dan bendera Utsmani. Namun, rencana ini dibatalkan residen Bandung yang tidak mengizinkan bentuk dukungan apapun terhadap Pan Islamisme Khalifah Utsmani. Fakta historis ini diungkap oleh Mr. Sjafruddin Prawiranegara dalam bukunya, Bunga Rampai dari Sejarah.
Peran Juang Jaringan Ulama Nusantara
Dalam catatan sejarah Islam di negeri ini, para ulama Nusantara sudah dikenal luas di Dunia Islam, bahkan menjadi maraji’ di Haramayn. Di antaranya Syaikh Muhammad Nawawi al-Bantani, Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabaui, Syaikh Abdush Shamad al-Falimbani, Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjary, Syaikh Ahmad al-Ripangi. Termasuk ulama pejuang seperti Syaikh Yusuf al-Makasari dan Syaikh Tajul Khalwaty.
Saat Khilafah Utsmani runtuh pada 3 Maret 1924, para ulama Nusantara pun bereaksi akibat ketiadaan pemimpin tunggal untuk kaum Muslim sedunia tersebut, hingga HOS. Tjokroaminoto menyatakan, “Jika umat Islam tanpa Khilafah seperti tubuh tanpa kepala…”
Berikutnya, demi merespon kejatuhan Khilafah itu, para ulama Nusantara diundang oleh panitia Kongres Umat Islam Sedunia di Makkah dan Kairo untuk ikut membincangkan penegakan kembali Khilafah Islam. Sayang, dari kongres ke kongres sepanjang 1924-1927, perjuangan pembentukan kembali Khilafah dan pengangkatan kembali seorang khalifah mengalami kegagalan. Namun, embrio untuk mewujudkan kembali Khilafah tetap diperjuangkan terus oleh generasi Muslim berikutnya, termasuk para ulama mukhlisin di dalamnya.
Ya Allah, saksikanlah. [Salman Iskandar]