
Agenda Jahat di Balik Isu Intoleransi
Isu “intoleransi” kembali dilempar ke ruang publik. Kali ini, sejumlah tokoh agama berkumpul di Kantor Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Jakarta, Selasa (5/8/2025). Mereka mendesak Pemerintah agar bertindak tegas atas peristiwa-peristiwa yang dianggap sebagai bentuk kekerasan terhadap kegiatan keagamaan.
Namun, lagi-lagi umat Islam yang dijadikan sorotan utama. Seolah-olah, setiap bentuk keberatan dari umat terhadap aktivitas keagamaan pihak lain selalu distempel sebagai bentuk intoleransi. Bahkan secara sistematis narasi ini diangkat berulang-ulang untuk menggiring opini bahwa umat Islam adalah sumber masalah, radikal dan anti-kerukunan. Padahal, faktanya justru sebaliknya. Sudah saatnya opini sesat ini diluruskan dan disingkap hakikatnya.
Pertama: Isu intoleransi jangan selalu dilekatkan kepada umat Islam. Pertanyaannya: Mengapa intoleransi hanya dirujuk pada reaksi umat Islam di wilayah mayoritas Muslim? Mengapa tidak ada perhatian terhadap intoleransi yang dialami umat Islam di Papua, Bali dan wilayah lain di mana mereka adalah minoritas? Pembangunan masjid ditolak. Kegiatan dakwah dihambat. Pengajian dilarang. Bahkan azan pun pernah dipermasalahkan. Ini semua adalah fakta. Namun, mengapa tak pernah menjadi headline media atau menjadi perhatian kelompok yang mengaku pejuang toleransi?
Kedua: Narasi intoleransi adalah proyek sistematis global. Tuduhan “intoleransi”, “radikalisme” hingga “terorisme” kepada umat Islam bukan narasi netral; melainkan proyek politik sistemik. Ini bagian dari skenario global yang diimpor ke negeri-negeri Muslim untuk membungkam gerakan Islam dan mengkriminalisasi ekspresi keimanan umat. Ketika umat menolak aktivitas keagamaan yang dipandang tidak sesuai dengan ketentuan syariah atau prosedur hukum, mereka langsung dicap intoleran. Padahal penolakan itu sering merupakan reaksi sah dan konstitusional, bahkan lahir dari kepekaan menjaga aqidah wilayah Muslim dari serbuan misi pemurtadan atau provokasi.
Ketiga: Banyak pelanggaran justru dilakukan oleh Gereja dan Lembaga Non-Muslim. Publik harus tahu, bahwa banyak aktivitas keagamaan non-Muslim dijalankan tanpa izin resmi, atau bahkan berdasarkan izin yang dipalsukan. Contoh paling nyata adalah kasus Gereja Yasmin di Bogor, yang telah terbukti melanggar aturan perizinan dan diputuskan secara hukum oleh Mahkamah Agung. Sayangnya, pelanggaran seperti ini malah dibungkus sebagai narasi korban. Umat Islam yang menuntut penegakan hukum justru dicap intoleran.
Keempat: Hormatilah perasaan umat Islam sebagai mayoritas. Indonesia bukan sekadar negara berpenduduk mayoritas Muslim, tetapi juga bersejarah dan berbudaya Islam. Maka dari itu, setiap aktivitas di ruang publik yang berpotensi menimbulkan gejolak harus mempertimbangkan sensitivitas umat Islam. Apalagi jika dilakukan tanpa izin atau dengan cara provokatif. Namun, saat umat Islam menunjukkan keberatan—bahkan secara damai—media dan elit langsung menyebut hal itu intoleran. Jelas, ini sebuah standar ganda yang menyakitkan.
Kelima: Isu intoleransi dipakai untuk melegalkan liberalisasi agama. Isu intoleransi hari ini telah digunakan sebagai alat legitimasi proyek “moderasi beragama”. Ini adalah program yang sejatinya bertujuan melumpuhkan ajaran Islam secara sistemik, dengan melabeli syariah sebagai intoleran dan menjadikan relativisme agama sebagai paham negara. Inilah agenda yang diusung oleh lembaga-lembaga global, didanai oleh kekuatan Barat, dan dilaksanakan oleh elit-elit lokal serta LSM sekuler. Tujuannya jelas: menjauhkan umat dari Islam kâffah, serta membentuk Islam baru yang tunduk pada standar Barat.
Keenam: Umat Islam wajib menolak generalisasi dan standar ganda. Umat Islam harus bersikap tegas dan cerdas. Jangan terjebak dalam skenario yang menjadikan mereka objek tuduhan kolektif. Menjaga kemurnian aqidah bukan intoleransi. Ini adalah kewajiban keimanan. Sikap diam terhadap agenda pembusukan aqidah dan hukum Allah adalah bentuk pengkhianatan. Maka dari itu, pembelaan terhadap Islam harus terus digelorakan.
Ketujuh: Umat Islam telah terbukti toleran. Selama ini, umat Islam Indonesia menunjukkan toleransi luar biasa: gereja berdiri megah di pusat-pusat kota Muslim; perayaan Natal, Paskah dan kebaktian berlangsung damai tanpa gangguan. Yang sering dipermasalahkan hanyalah rumah ibadah ilegal. Bukan agama pemeluknya. Maka dari itu, jangan jadikan pelanggaran hukum sebagai dalih untuk menyerang Islam.
Walhasil, yang harus ditegakkan adalah keadilan, bukan mencari kambing hitam. Jika benar ingin membangun kerukunan dan keadilan, maka tegakkan hukum tanpa tebang pilih, hormati aspirasi umat Islam dan berhentilah menjadikan mereka kambing hitam dari problem yang justru bersumber dari pelanggaran pihak lain.
Umat Islam telah bersabar, telah bertoleransi. Namun, toleransi bukan berarti tunduk pada proyek pengaburan aqidah dan liberalisasi hukum Allah. Sudah waktunya umat Islam bangkit menyuarakan kebenaran, menolak propaganda dan menyatukan langkah menuju tegaknya Islam secara kâffah.
Allâhumma, hal balaghnâ? AlLâhumma fasyhad. AlLâhu Akbar! [Farid Wadjdi]



