Dari Redaksi

Ilusi BRICS dan Peluang Khilafah

Presiden Prabowo hadir dalam KTT BRICS ke-17 di Rio de Janeiro, Brasil, pada awal Juli 2025 lalu. Kehadirannya menegaskan harapan Indonesia bahwa keikutsertaan dalam organisasi lintas negara ini akan berdampak pada perwujudan tatanan global yang lebih adil. Saat menyampaikan poin-poin penting dalam Deklarasi Rio, Presiden Prabowo menyampaikan, “Kami meyakini bahwa negara-negara anggota BRICS akan berperan penting dalam menyuarakan kepentingan Selatan-Selatan, sekaligus mendorong penciptaan tata kelola global yang lebih adil, berkelanjutan, inklusif dan stabil sesuai dengan prinsip hukum internasional.” Demikian sebagaimana dikutip @presidenrepublikindonesia, Selasa (8/7/2025).

BRICS (Brasil, Rusia, India, Cina dan Afrika Selatan) sering disebut sebagai kelompok negara-negara berkembang yang mencoba menjadi penyeimbang dominasi Barat, khususnya Amerika Serikat. Namun, tidak sedikit yang meragukan kemampuan BRICS untuk benar-benar menjadi mitra seimbang bagi tatanan global yang dikendalikan Amerika, apalagi menyaingi Amerika dalam membentuk tatanan dunia baru yang lebih adil.

Beberapa kelemahan mendasar dari BRICS antara lain: Pertama, tidak memiliki ideologi alternatif yang kuat. Sangat jelas bahwa untuk bisa memimpin dunia, sebuah entitas harus memiliki ideologi global yang menyeluruh, yang digunakan secara langsung dalam kepemimpinannya. Inilah perkara pokok yang tidak dimiliki oleh BRICS. Hampir semua anggotanya menganut sistem Kapitalisme global yang justru dipimpin oleh Amerika Serikat. Cina memang secara formal menganut Sosialisme, namun bukan Sosialisme murni yang mengglobal. Lebih dari itu, Cina masih tunduk dan terikat dengan tatanan global yang dikuasai oleh Amerika. Dalam bidang ekonomi, Cina justru menjadi bagian dari keluarga besar Kapitalisme global. Akibatnya, anggota BRICS tetap bermain dalam panggung yang diatur oleh standar Amerika, seperti neoliberalisme, demokrasi sekuler dan globalisasi liberal. Hasilnya: BRICS tidak mampu menawarkan visi peradaban baru. Ini hanya sekadar pergeseran kekuatan ekonomi belaka. Lantas, bagaimana mungkin mereka dapat menandingi Amerika?

Kedua, sistem global saat ini masih dalam kendali penuh Amerika Serikat. Ideologi Kapitalisme masih menjadi standar global, termasuk bagi negara-negara anggota BRICS. Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya masih mengendalikan lembaga-lembaga internasional seperti PBB (dalam bidang politik), IMF dan Bank Dunia (dalam ekonomi), serta WTO (dalam perdagangan internasional). Kendali yang paling kuat adalah dominasi dolar sebagai mata uang global. Meskipun BRICS menciptakan New Development Bank (NDB), skala dan pengaruhnya masih jauh di bawah lembaga-lembaga Barat. Akibatnya, dunia—termasuk anggota BRICS—tetap bergantung pada struktur ekonomi-politik ciptaan Amerika.

Ketiga, BRICS terjebak dalam paradigma negara-bangsa (nation-state) dan kepentingan nasional. Semua anggotanya, meskipun berkoar-koar ingin menciptakan tatanan dunia yang adil dan mengimbangi hegemoni Amerika, pada akhirnya tunduk pada satu kepentingan utama: kepentingan nasional masing-masing. Jika suatu kebijakan dalam BRICS dirasa merugikan kepentingan nasional, mereka dapat dengan mudah meninggalkan atau mengabaikannya. BRICS tidak memiliki visi integrasi politik global seperti Khilafah Islam.

Tidak aneh, sesama anggota BRICS tidak jarang bertikai karena perbedaan kepentingan nasional. Seperti konflik Cina dan India, atau ketegangan Brasil dan Rusia soal orientasi ekonomi. Tahun 2020, pasukan India dan Cina bentrok di Lembah Galwan (Ladakh). Kedua negara saling menuduh melanggar perbatasan (Line of Actual Control/LAC). Ketegangan terus berlanjut hingga hari ini meski sudah dilakukan perundingan militer. India juga merasa dikepung oleh proyek Belt and Road Initiative (BRI) milik Cina yang melewati Pakistan—musuh bebuyutan India. Cina sendiri berinvestasi besar di pelabuhan Gwadar, Pakistan, yang berada dekat wilayah India. Tidak ada semangat ummat[an] wâhidah sebagai visi global yang menyelamatkan dunia. Akibatnya, BRICS sulit diharapkan menjadi kekuatan geopolitik global yang solid.

Keempat, BRICS tampil sebagai oposisi palsu terhadap Amerika. Di satu sisi ingin bersaing dengan AS. Namun, di sisi lain tetap berharap dalam perlindungan ekonomi dan pengaruh AS. Banyak anggota BRICS tetap menjalin hubungan erat dengan Amerika dan Eropa. Misalnya, India tergabung dalam QUAD—aliansi militer bersama AS, Jepang, dan Australia—yang jelas ditujukan untuk membendung pengaruh Cina. India juga rutin melakukan latihan militer gabungan dengan AS di kawasan Indo-Pasifik. Rusia dan Cina sendiri masih terlibat dalam sistem internasional buatan Barat dengan dalih kerja sama global seperti memerangi “terorisme internasional”. Dengan demikian, BRICS lebih tampak sebagai oposisi palsu, bukan tantangan nyata bagi hegemoni Amerika Serikat.

BRICS bukanlah kekuatan ideologis atau sistemik yang mampu menghapus dominasi AS. Mereka hanyalah variasi dari Kapitalisme yang tetap bermain dalam aturan sistem buatan Amerika. Hegemoni Amerika hanya dapat dihadapi oleh kekuatan ideologis yang benar-benar independen, yaitu Islam, melalui sistem Khilafah ‘alâ Minhâj an-Nubuwwah.

Hanya Khilafah Islam dengan sistem Islamnya yang mampu menandingi kekuatan Kapitalisme global. Alasannya: Pertama, Khilafah memiliki ideologi independen yang bebas dari cengkeraman kapitalisme global. Kedua, Islam menyediakan sistem alternatif yang menyeluruh: dalam ekonomi, politik, sosial dan moneter. Ketiga, Khilafah mampu berhadap-hadapan secara nyata—bukan sekadar omong-kosong—dengan dominasi AS dan sekutunya. Khilafah akan menjadi ujung tombak dalam proyek globalisasi Islam untuk menantang dominasi Kapitalisme dan membebaskan umat manusia dari penjajahan.

Dengan kekuatan ideologi Islam yang bersumber dari wahyu Allah, Islam menjadi rahmat bagi seluruh alam (rahmat[an] lil-‘âlamîn). Dengan Khilafah, umat Islam mampu bangkit dan menantang tatanan politik global yang dibangun oleh negara-negara penjajah. Inilah satu-satunya kekuatan dan pilihan nyata untuk membebaskan umat Islam—dan seluruh umat manusia—dari hegemoni penjajahan. Perjuangan menegakkan Khilafah harus kita lakukan bersama-sama karena ini adalah kewajiban syar’i yang diperintahkan Allah SWT.

AlLâhu Akbar! [Farid Wadjdi]

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

twenty + 7 =

Back to top button