
Makna Kemenangan Kembali Trump Bagi Dunia Islam
Donald Trump resmi terpilih sebagai presiden ke-47 Amerika Serikat usai memenangkan Pilpres AS 2024, Rabu (6/11/2024). Trump yang berpasangan dengan JD Vence meraih 277 suara elektoral atau 51 persen. Pesaingnya dari Partai Demokrat, Kamala Harris, hanya mendapat 224 suara elektoral. Kemenangan ini mengantarkan Trump kembali ke kursi Presiden AS untuk kedua kalinya.
Kemenangan Trump atas Kamala Haris, menurut beberapa pihak, bukanlah kerena kehebatan Trump, namun karena kelemahan Kamala Harris. Trump dianggap mewakili ‘sentimen umum’ rakyat Amerika, bahwa Amerika adalah negara besar, dominasi kulit putih dan maskulin (jantan/cowboy). Faktor-faktor ini tidak dimiliki Haris. Trump hadir dalam kampanye narsis yang mengusung kebesaran dan kesombongan Amerika.
Hal itu tampak dalam slogan kampanye Donald Trump untuk Pemilihan Presiden Amerika 2024 adalah: “Save America”. “Save America” menekankan pesan bahwa negara sedang dalam bahaya. Hanya dengan mengembalikan Trump ke Gedung Putih, Amerika dapat diselamatkan dari penurunan yang menurut dia disebabkan oleh pemerintahan saat ini. Trump juga masih menggunakan varian dari slogan sebelumnya, “Make America Great Again” (MAGA), yang telah menjadi merek politiknya sejak 2016.
Menarik Hati Muslim?
Berbeda dengan kampamye 2020 saat berhadapan dengan Joe Biden. Dalam kampanye 2024, Trump berusaha menarik hati komunitas Muslim. Dalam kampanyenya Trump mengklaim kampanyenya tengah membangun koalisi “pemecah rekor” dari para pemilih Arab dan Muslim di Michigan yang tertarik dengan janji perdamaiannya. Menjelang Pemilu, tim kampanye Trump dan Harris telah meningkatkan upaya mereka menjangkau warga Amerika Arab dan Muslim, terutama di Negara Bagian Michigan yang menjadi medan pertempuran. Di sana suara komunitas tersebut dapat menjadi penentu.
Saat berkampanye, Trump mengunjungi sebuah kafe halal di Dearborn, tempat tinggal bagi banyak Arab dan Muslim Amerika yang lebih dikenal dengan Ibu kota Arab Amerika. Kunjungan tersebut dilakukan setelah sepekan sebelumnya sekelompok pemimpin Muslim bergabung dengan Trump di panggung dalam kampanye di Michigan dan mengumumkan dukungan mereka dalam Pemilu 5 November. Para pemimpin itu mengutip komitmennya untuk mengakhiri perang. Sebagai balasan, Trump menekankan bahwa pemilih Muslim dan Arab di Michigan serta di seluruh negeri ingin “menghentikan perang tak berujung dan mengembalikan perdamaian di Timur Tengah.”
Berharap kepada Trump, Ilusi!
Setiap empat tahun, saat Pemilu semakin dekat, gelombang antusiasme untuk memberikan suara membanjiri media arus utama, influencer media sosial, dan berbagai organisasi. Umat Muslim juga didorong untuk berpartisipasi, sering melalui organisasi Muslim setempat. Selama lebih dari dua dekade, mereka telah didesak untuk memilih partai atau individu tertentu, dengan harapan memperoleh manfaat atau mencegah bahaya. Pada tahun 2000, umat Muslim didorong untuk memilih George W. Bush, yang kemudian meluncurkan Perang Melawan Terorisme, menghancurkan wilayah Muslim dan mengakibatkan kematian hampir 1 juta Muslim.
Pada tahun 2008, umat Muslim mendukung Barack Obama, dengan harapan perubahan positif. Sebaliknya, Obama memperluas program pengawasan dan penjebakan FBI yang menargetkan Muslim di Amerika dan mendukung diktator seperti Sisi di Mesir, yang selanjutnya memicu konflik di Timur Tengah. Pada tahun 2020, umat Muslim memilih Joe Biden, yang telah mendukung dan mendanai genosida di Gaza sambil memajukan agenda LGBTQ di dalam negeri. Bahkan protes damai terhadap genosida oleh mahasiswa dari semua latar belakang dihancurkan dengan dukungan dari Partai Demokrat, sementara Partai Republik mendesak lebih banyak tindakan represif.
Peristiwa di Gaza mengungkap realitas tatanan dunia saat ini. Genosida di sana, yang didukung oleh negara-negara kuat, menunjukkan bagaimana sistem “demokratis” dapat mendukung penindasan. Kebebasan berpendapat hanya dirayakan jika mendukung sistem yang ada. Pola sejarah menunjukkan bahwa, terlepas dari pilihan rakyat, keputusan sering sejalan dengan kepentingan elit penguasa, dan janji-janji Pemilu yang mengancam kepentingan tersebut dengan cepat dibuang. Rakyat dibiarkan dengan sistem terkendali yang menguntungkan pihak yang berkuasa sambil mengesampingkan perubahan sejati.
Namun, suara-suara Muslim memang penting bagi para pengambil keputusan sekuler. Terutama untuk mengasimilasi Muslim ke dalam sekularisme dan mendesak mereka untuk meninggalkan nilai-nilai Islam demi integrasi. Taktik ini bertujuan untuk melarutkan identitas khas komunitas Muslim, serta mendesak Muslim untuk berpartisipasi dalam kerangka politik sekuler yang pada akhirnya merusak prinsip-prinsip Islam.
Suatu bangsa yang tidak memiliki kekuatan, persatuan dan pemerintahan yang kuat dan bersatu pada akhirnya akan melihat nasibnya dibentuk oleh keputusan orang lain. Saat ini dunia Muslim dengan penuh harap menunggu untuk melihat calon presiden AS mana yang akan menang dan strategi apa yang mungkin akan diambilnya terhadap negeri-negeri Islam. Sebagian berharap bahwa keberhasilan seorang calon tertentu dapat menguntungkan umat Islam atau mungkin mengarah pada berakhirnya konflik Gaza.
Mereka yang memiliki pengetahuan tentang struktur kekuasaan di Amerika Serikat akan dengan mudah menyadari bahwa perubahan dalam pemerintahan AS atau partai yang berkuasa tidak mungkin membawa perubahan mendasar atau mendalam dalam kebijakan inti Amerika, terutama pada isu-isu strategis. Ini karena “Deep State” di AS bertanggung jawab untuk merumuskan dan mengarahkan kebijakan fundamental, luas dan strategis negara tersebut.
Deep State terdiri dari jaringan lembaga dan kekuatan berpengaruh yang menetapkan prinsip-prinsip fundamental dan arah kebijakan luar negeri AS, terlepas dari perubahan administratif jangka pendek. Oleh karena itu, perubahan dalam pemerintahan dan/atau partai mungkin hanya memiliki efek terbatas pada kebijakan AS dalam berbagai hal, khususnya yang berkaitan dengan Afghanistan.
Sekadar Berbeda Pendekatan
Meskipun ada perbedaan dalam cara Partai Republik dan Demokrat menjalankan kebijakan luar negeri AS, kedua partai tersebut menunjukkan sedikit perbedaan dalam permusuhan dan kebijakan agresif mereka terhadap Islam dan Muslim. Misalnya, George W. Bush, seorang Republikan, memicu perang brutal di Irak dan Afghanistan. Adapun Barack Obama, seorang Demokrat, memperluas agenda ‘Perang Melawan Teror’ ke wilayah lain dengan menggunakan serangan udara, pesawat tanpa awak, serta menekan Musim Semi Arab dan revolusi Suriah.
Donald Trump tidak hanya mengakui Yerusalem (Bait-ul-Muqadas) sebagai ibukota entitas Yahudi, tetapi juga menyebarkan ‘Induk Segala Bom’ di Afghanistan. Adapun Joe Biden, seorang Demokrat, memberikan dukungan finansial, militer dan politik kepada entitas Yahudi yang bertujuan untuk membantai anak-anak Palestina di Gaza.
Dengan demikian kebijakan mereka terhadap Muslim menunjukkan sedikit perbedaan; satu pihak mungkin memenggal kepala kita dengan kejam, sementara yang lain mungkin melakukan itu dengan lebih halus.
Berpegang pada Prinsip Islam
Beberapa orang menyarankan untuk memilih kandidat pihak ketiga guna mengganggu sistem dua partai, dengan berpikir bahwa hal itu dapat memberikan pengaruh bagi umat Islam. Namun, realitas tentang siapa yang mengendalikan sistem tersebut tetap ada. Memilih pihak ketiga hanya menawarkan ilusi pengaruh dalam suatu struktur yang dirancang untuk mempertahankan kekuasaan kedua partai utama. Misalnya, terlepas dari sistem multipartai di Eropa, umat Islam di sana menghadapi undang-undang anti-Islam yang semakin agresif. Dinamika kekuasaan yang sama tetap ada, terlepas dari jumlah partai. Ini menegaskan Hadis Nabi saw., “Tidak sepantasnya seorang Mukmin tersengat sampai dua kali dari lubang yang sama.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Umat Islam sering bertanya, “Jika kita tidak memilih, apakah kita harus tetap tidak aktif dalam politik?” Tidak demikian, Islam mengamanatkan umat Islam untuk terlibat secara aktif dan menegakkan keadilan dalam masyarakat. Namun, aktivisme politik Islam tidak mengharuskan partisipasi dalam pemungutan suara sekuler, melainkan keterlibatan aktif melalui amar makruf nahi munkar. Keterlibatan harus berdasarkan aqidah dan sejalan dengan hukum Islam.
Memilih dalam sistem yang membuat undang-undang yang bertentangan dengan petunjuk Allah adalah haram. Itu berarti mendukung hukum buatan manusia di atas hukum Allah SWT. Pemilihan Presiden dan anggota Kongres menjadikan mereka mengesahkan undang-undang yang bertentangan dengan Islam, mengkompromikan prinsip-prinsip Islam dan mendukung sistem pemerintahan yang tidak islami.
Jalan terbaik ke depan mencerminkan jalan yang ditempuh Nabi Muhammad saw. dan para Sahabatnya, yang tidak mengorbankan nilai-nilai Islam demi keuntungan sesaat. Allah SWT memerintahkan (yang artinya): Sungguh telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan Hari Akhir (QS al-Ahzab [33]: 21). Tuntutan ini menuntut umat Islam untuk membangun identitas politik Islam yang sejalan dengan prinsip-prinsip ilahi.
Membangun Kekuatan Umat Secara Mandiri
Sangat disayangkan, saat ini negeri-negeri Islam sangat dipengaruhi oleh tatanan sekuler global dan kebijakan-kebijakan kekuatan-kekuatan non-Islam. Umat Islam menyaksikan Pemilu AS dengan rendah diri dan penuh penghinaan, sambil bertanya-tanya kandidat mana yang akan menang: Harris yang tidak berpengalaman dan tidak kompeten atau Trump yang tidak menentu dan narsis.
Sebaliknya, Khilafah pernah diakui sebagai kekuatan global yang independen dan berpengaruh. Umat Islam pun pernah dipandang sebagai bangsa yang kuat dan disegani, yang memengaruhi bangsa-bangsa lain. Sayangnya, saat ini, para pemimpin negeri-negeri Islam mendapati diri mereka dalam posisi tunduk, mengikuti dan menjalankan kebijakan-kebijakan kekuatan-kekuatan global utama.
Komunitas Muslim memiliki tanggung jawab penting, baik secara lokal maupun global. Secara lokal, umat Muslim harus menciptakan platform politik mereka sendiri, bukan untuk tujuan pemungutan suara, tetapi untuk memperkuat identitas Islam, membangun ikatan komunal dan terlibat dalam dakwah. Dengan mengatasi masalah sosial seperti tuna wisma, kesenjangan ekonomi, dan nilai-nilai keluarga, umat Muslim dapat menunjukkan solusi Islam terhadap masalah masyarakat, menyajikannya sebagai jawaban atas tantangan modern. Kehadiran Muslim yang kuat, baik di masyarakat maupun di media sosial, dapat mendorong refleksi atas kebijaksanaan ajaran Islam.
Secara global, umat Islam harus bekerja sama untuk memulihkan persatuan dan kedaulatan, memberantas rezim korup dan mengusir pengaruh kolonial. Visi ini, yang didasarkan pada ideologi Islam, bertujuan untuk menyingkirkan rezim yang menindas dan menegakkan pemerintahan Islam yang adil dan penuh belas kasih melalui Khilafah. Nabi saw. telah menjanjikan kembalinya hal ini, dengan bersabda, “…Kemudian akan ada Khilafah berdasarkan manhaj kenabian.” (HR Ahmad). [Abu Fatih Sholahuddin]