
Warga Palestina Dibunuh Oleh Penjajah Zionis di Pusat Bantuan Gaza
Warga Palestina tetap berdatangan
ke pusat bantuan Gaza Humanitarian
Foundation, meskipun ratusan telah
dibunuh oleh pasukan Israel.
*****
Khan Younis – Gaza. Ketika melihat jasad anaknya, Ahmed, yang penuh luka tembak terbaring di halaman Rumah Sakit Nasser di Gaza selatan, Asmahan Shaat jatuh tersungkur ke tanah karena duka. Teriakannya menggema di udara. Suaranya tercekat oleh syok dan kesedihan.
Ia menciumi wajah, tangan dan kaki Ahmed yang berusia 23 tahun sambil menangis. Enam anaknya yang lain dan kerabatnya mencoba menahan. Namun, ia menepis mereka.
“Biarkan aku bersama dia. Ahmed akan bicara lagi. Ia bilang padaku, ‘Ibu, aku tidak akan mati. Aku akan bawakan sesuatu dari pusat bantuan di Rafah.’”
Ahmed meninggalkan tempat pengungsian keluarganya di al-Mawasi sebelum fajar hari Kamis untuk mencari makanan. Ia tak pernah kembali.
Sepupunya, Mazen Shaat, yang bersama dia saat itu, mengatakan bahwa Ahmed ditembak di bagian perut. Ketika itu pasukan Penjajah Zionis melepaskan tembakan ke kerumunan warga dekat pusat distribusi bantuan milik Gaza Humanitarian Foundation (GHF) di Rafah, yang didukung oleh Amerika Serikat. Banyak warga lain yang juga terbunuh dan terluka.
Menurut Kantor Media Pemerintah Gaza, 600 warga Palestina telah dibunuh dan lebih dari 4.200 lainnya terluka dalam sebulan terakhir akibat tembakan Penjajah Zionis di sekitar pusat distribusi GHF. Angka korban terus bertambah setiap hari. Yang seharusnya menjadi jalur kehidupan—difasilitasi AS dengan mengesampingkan badan-badan PBB—telah berubah menjadi jebakan maut.
Organisasi HAM dan pejabat PBB mengkritik model GHF sebagai bentuk bantuan yang militeristik, berbahaya dan ilegal. Surat kabar Penjajah Zionis Haaretz bahkan mengutip tentara Penjajah Zionis yang mengaku diperintahkan untuk menembaki kerumunan tak bersenjata, bahkan saat tak ada ancaman.
Kesedihan Berubah Menjadi Amarah
“Apakah masuk akal anakku harus mati hanya karena ingin membawa makanan? Di mana dunia yang katanya bebas? Sampai kapan penyiksaan ini berlangsung?”
Populasi Gaza yang berjumlah 2 juta jiwa, telah 21 bulan dibombardir dan dipindahkan. Mereka kini berada di ambang kelaparan akibat pembatasan Israel. Sejak 2 Maret, hanya segelintir bantuan kemanusiaan yang diizinkan masuk lewat perlintasan yang dikendalikan Israel.
“Kami Ingin Kamu, Bukan Makanan”
Di dalam kamar jenazah Rumah Sakit Nasser, tak jauh dari jenazah Ahmed, seorang wanita muda bernama Shireen (25) melemparkan dirinya ke tubuh suaminya, Khalil al-Khatib (29). Ia nyaris tak bisa berdiri sambil menangis.
“Khalil, bangunlah. Putramu, Ubaida, menunggumu,” serunya.
“Tadi pagi aku bilang ke dia, ‘Ayah akan segera pulang.’ Kami tak butuh makanan – kami butuh kamu.”
Khalil juga pergi dari al-Mawasi untuk mencari bantuan. Mertuanya, Youssef al-Rumailat, mengatakan Khalil berhati-hati agar tak mendekati tank Penjajah Zionis dan tak menyangka akan jadi target.
“Ia pria yang lembut. Ia takut berada di tempat yang mematikan. Anak sulungnya yang baru berumur lima tahun sering minta roti atau nasi, dan ia menangis karena tak bisa memberikannya, apalagi susu untuk bayi yang baru lahir beberapa hari setelah perang dimulai.”
“Mereka menggunakan keputusasaan kita,” kata Youssef getir.
“Tak ada yang lebih menyakitkan bagi pria selain tak bisa memberi makan keluarganya. Tempat-tempat ini adalah jebakan maut. Ini bukan bantuan. Ini pemusnahan.”
Youssef mengatakan keluarganya, seperti banyak lainnya, kehilangan kepercayaan terhadap mekanisme kemanusiaan baru itu.
“Kami tak ingin bantuan berlumur darah ini. Kembalikan kami ke sistem PBB. Setidaknya dulu kami tak dibunuh saat mencari makan.”
Kelaparan, Keputusasaan dan Kematian
GHF, yang diluncurkan pada Mei dengan koordinasi Israel, bertujuan menyalurkan makanan langsung ke Gaza selatan. Namun, distribusinya tidak melalui badan-badan tradisional seperti UNRWA, yang dituduh Penjajah Zionis memiliki kaitan dengan Hamas tanpa bukti kuat. Kritikus mengatakan pengecualian ini menyebabkan runtuhnya koordinasi dan pengawasan.
Penjajah Zionis mengklaim hanya menargetkan ancaman. Namun, kesaksian para korban menunjukkan gambaran sebaliknya.
Mustafa Nabil Abu Eid (31), pengungsi dari Rafah ke al-Mawasi, sedang pulang dari pusat distribusi Rafah bersama temannya, Abdullah Abu Ghali (39). Mereka membawa beberapa tas berisi pasta, nasi, dan lentil.
“Kami berjalan 2 km hanya untuk mencapai pinggiran zona. Lalu menunggu berjam-jam sampai tank-tank mundur. Setelah itu, kami harus berlari di area terbuka. Tak ada jaminan kami akan kembali hidup.”
“Sering orang bertanya: Mengapa masih nekat? Karena tak ada pilihan. Kalau kami tetap di tenda, kami mati karena lapar, penyakit, atau bom. Kalau kami pergi, bisa mati, tetapi bisa juga membawa pulang makanan untuk anak-anak.”
Mustafa punya lima anak. Yang tertua, Saba, berusia 10 tahun. Yang termuda kembar, Hoor dan Noor, baru berusia tiga tahun.
“Mereka menangis kelaparan. Aku tak sanggup melihat mereka. Kami mencari kehidupan lewat kematian.”
Distribusi Bantuan: Perangkap Maut
Lembaga bantuan memperingatkan bahwa kelaparan telah hadir di sebagian Gaza. Laporan IPC (Klasifikasi Fase Ketahanan Pangan) pada Juni menyatakan seluruh penduduk mengalami kekurangan pangan akut. Lebih dari satu juta orang terancam kelaparan. Anak-anak pun mulai wafat karena malnutrisi dan dehidrasi.
Dengan UNRWA dibatasi dan GHF tak aman serta tak konsisten, warga sipil yang putus asa tak punya pilihan selain mempertaruhkan nyawa demi sesuap makanan.
Sejak inisiatif bantuan AS-Penjajah Zionis dimulai pada 27 Mei, 39 orang masih hilang—diduga terbunuh atau terkubur tanpa tanda di reruntuhan atau lokasi tak terjangkau.
Seruan Pertanggungjawaban
Serangan sistematis terhadap warga sipil di lokasi bantuan bisa termasuk kejahatan perang, menurut pakar hukum internasional dan lembaga HAM.
“Serangan sengaja terhadap warga sipil, pekerja bantuan, dan pusat distribusi sangat dilarang,” bunyi pernyataan Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB (OCHA) pada Juni.
Namun, bagi keluarga seperti Shaat dan Khatib, klasifikasi hukum tak membawa kenyamanan.
Hanya Menggenggam Satu Harapan
“Aku hanya ingin anakku dikenang. Dia hanya ingin memberi makan keluarganya. Dia tak melakukan kesalahan apa pun. Mereka membunuh dia seolah nyawanya tak berharga. Katakan pada dunia: Kami bukan angka. Kami manusia. Kami sedang sekarat kelaparan.”
[Sumber: Al-Jazeera, diterbitkan 2 Juli 2025 – Ditulis oleh Mohamed Solaimane, bekerja sama dengan Egab].





