Fikih

Seputar Doa Untuk Kehancuran Yahudi

Soal:

Allah SWT berfirman:

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌۖ أُجِيبُ دَعۡوَةَ ٱلدَّاعِ إِذَا دَعَانِۖ فَلۡيَسۡتَجِيبُواْ لِي وَلۡيُؤۡمِنُواْ بِي لَعَلَّهُمۡ يَرۡشُدُونَ  ١٨٦

Jika hamba-hamba-Ku bertanya kepada kamu tentang Aku, jawablah bahwa Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa jika ia memohon kepada-Ku. Karena itu hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka mengimani Aku agar mereka selalu berada dalam kebenaran (QS al-Baqarah [2]: 186).

 

Berkaitan dengan ayat di atas, benarkah bahwa Allah menjawab semua doa orang? Adakah doa yang tidak dijawab oleh Allah?   Sebagian orang bertanya, kita telah berdoa untuk Israel agar dihancurkan oleh Allah, tetapi mengapa mereka masih kuat dan terus menyerang Gaza?

 

Jawab:

Ada sejumlah perkara yang wajib diketahui tentang doa. Pertama: Sesungguhnya seorang Mukmin, jika berdoa kepada Allah dengan kalbu yang jujur, juga dengan doa yang di dalamnya tidak ada pemutusan hubungan kekerabatan, maka Allah SWT menjawab doanya dengan satu dari tiga hal. Demikian sebagaimana dinyatakan dalam di Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya:

Sungguh Allah SWT menjawab doa orang yang berdoa jika dia memohon kepada-Nya. Allah SWT pun menjawab doa orang yang sedang dalam kesulitan jika dia berdoa kepada-Nya. Allah SWT berfirman:

وَقَالَ رَبُّكُمُ ٱدۡعُونِيٓ أَسۡتَجِبۡ لَكُمۡۚ ٦٠

Tuhan kalian berfirman, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan dia kalian.” (QS Ghafir [40]: 60).

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌۖ أُجِيبُ دَعۡوَةَ ٱلدَّاعِ إِذَا دَعَانِۖ ١٨٦

Jika hamba-hamba-Ku bertanya kepada kamu tentang Aku, jawablah bahwa Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa jika ia memohon kepada-Ku (QS al-Baqarah [2]: 186).

أَمَّن يُجِيبُ ٱلۡمُضۡطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكۡشِفُ ٱلسُّوٓءَ ٦٢

Siapakah yang memperkenankan doa orang yang dalam kesulitan jika dia berdoa kepada-Nya, juga yang menghilangkan kesusahan (QS an-Naml [27]: 62).

 

Hanya saja, jawaban (al-ijâbah) untuk doa itu memiliki hakikat syar’iyyah yang dijelaskan oleh Rasulullah saw.:

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُو الله عَزَّ وَجَلَّ بِدَعْوَةٍ لَيْسَ فِيهَا إِثْمٌ وَلَا قَطِيعَةُ رَحِمٍ، إِلَّا أَعْطَاه اللهُ بِهَا إِحْدَى ثَلَاثِ خِصَال: إِمَّا أَنْ يُعَجِّلَ لَه دَعْوَتَهُ، وَإِمَّا أَنْ يَدَّخِرَهَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ، وَإِمَّا أَنْ يَصْرِفَ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ مِثْلَهَا. قَالُوا: إِذًا نُكْثِرُ . قَالَ : اللهُ أَكْثَرُ

“Tidak ada seorang Muslim yang memohon kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan doa yang di dalamnya tidak ada dosa dan tidak ada pemutusan hubungan kekerabatan kecuali Allah memberi dia dengan doa itu satu dari tiga hal: disegerakan untuk dia pengabulan doanya; atau Allah menyimpan pengabulannya untuk dia di akhirat; atau Allah memalingkan dari dirinya keburukan yang semisalnya.” Mereka berkata, “Kalau begitu kita perbanyak (doanya).” Beliau bersabda, “Allah lebih perbanyak lagi (pengabulannya).” (HR Ahmad, 3/18).

 

Beliau pun bersabda:

لَا يَزَالُ يُسْتَجَابُ لِلْعَبْدِ مَا لَمْ يَدْعُ بِإِثْمٍ أَوْ قَطِيعَةِ رَحِمٍ مَا لَم يَسْتَعْجِلْ . قِيلَ: يا رَسُولَ اللهِ، مَا الِاسْتِعْجَالُ؟ قَال: يَقُولُ قَدْ دَعَوْتُ وَقَدْ دَعَوْتُ فَلَمْ أَرَ يَسْتَجِيبُ لِي فَيَسْتَحْسِرُ عِنْدَ ذَلِكَ وَيَدَعُ الدُّعَاءَ

“Doa seorang hamba senantiasa dijawab selama dia tidak memohon dengan dosa atau pemutusan hubungan kekerabatan selama dia tidak terburu-buru”. Ditanyakan, “Wahai Rasulullah, apakah yang dimaksud dengan terburu-buru itu?” Beliau bersabda, “Dia berkata, ‘Aku telah berdoa. Aku telah berdoa. Namun, aku tidak melihat Allah mengabulkan doaku.’ Kemudian dia menjadi sedih karenanya dan meninggalkan doa.” (HR Muslim  no. 4918).

 

Jadi kita tetap memohon kepada Allah SWT. Jika kita jujur, mukhlis dan taat, ketika itu kita yakin do akita akan diijabah dengan makna yang telah dijelaskan oleh Rasulullah saw. tersebut.

Kedua: Doa itu, dalam semua keadaan, bukan metode syar’i untuk merealisasi tujuan. Doa itu manduub. Namun, doa bukan metode untuk meraih kemenangan di medan perang, untuk menegakkan negara, dll. Rasul saw. pun tetap menyiapkan pasukan saat Perang Badar. Beliau mengatur para tentara pada tempatnya masing-masing. Beliau pun menyiapkan berbagai persiapan untuk mereka dengan persiapan yang baik untuk berperang. Beliau lalu masuk ke kemah untuk berdoa kepada Allah dan memperbanyak doa itu hingga Abu Bakar berkata kepada beliau, “Sebagian ini telah mencukupimu ya Rasulullah.” (Sîrah Ibnu Hisyâm, 2/626).

Jadi doa tidak berarti meninggalkan untuk mengambil sebab. Doa itu melekat dengan usaha.

Karena itu siapa saja yang menginginkan Khilafah tegak Kembali, dia tak boleh mencukupkan diri dengan hanya berdoa kepada Allah SWT. Dia pun harus berjuang bersama para pejuang untuk mewujudkan tegaknya Kembali Khilafah. Dia pun berdoa memohon bantuan kepada Allah agar terwujudnya Khilafah disegerakan. Dia keras dalam berdoa dan ikhlas kepada Allah. Dia pun mengambil sebab-sebabnya.

Begitulah dalam semua kondisi. Seseorang mengikhlaskan amal karena Allah SWT. Dia  membenarkan Rasulullah saw. Dia pun berdoa dan bersikeras dalam doa itu. Allah Maha Mendengar dan menjawab doa-doa hamba-Nya.

Ketiga: Kami telah menjawab pertanyaan semisal ini pada 4 Dzul Qa’dah 1432 H – 1 Oktober 2011. Di situ dinyatakan antara lain:

 

…Doa yang disertai dengan upaya mengambil sebab-sebabnya memiliki dampak pada hasil. Ini pula yang dulu terjadi dilakukan oleh Rasul saw. dan para Sahabat beliau radhiyallâh ‘anhum.  Rasul saw. menyiapkan pasukan. Lalu masuk ke kemah untuk berdoa kepada Allah.  Kaum Muslim di dalam Perang al-Qadisiyah juga menyiapkan persiapan untuk menyeberangi sungai. Lalu Saad bin Abi Waqash ra. menghadap kepada Allah SWT sembari berdoa kepada-Nya…Begitulah kaum Mukmin yang benar. Mereka menyiapkan sejumlah persiapan dan bersegera berdoa.

Karena itu orang itu harus berupaya mencari rezeki dengan sungguh-sungguh dan kelelahan sembari berdoa kepada Allah.  Seorang pelajar harus belajar dengan bersungguh-sungguh sembari dia juga berdoa kepada Allah SWT agar berhasil.  Hal itu akan memiliki dampak dalam hasil-hasilnya, atas izin Allah.

Di dalam Kitab Mafaahim, pada akhir halaman 58, dinyatakan: Hanya saja wajib diketahui bahwa meski aktivitas yang ditunjukkan oleh thariiqah itu merupakan aktivitas fisik yang memiliki hasil-hasil yang dapat diindera, aktivitas itu harus dijalankan sesuai dengan perintah-perintah dan larangan-larangan Allah. Dari pelaksanaan yang sesuai perintah dan larangan Allah itu harus dimaksudkan untuk meraih keridhaan Allah.  Sebagaimana kesadaran hubungan dengan Allah wajib mendominasi seorang Muslim sehingga ia mendekatkan diri kepada Allah dengan melaksanakan shalat, berdoa, membaca al-Quran dan lainnya.  Seorang Muslim wajib meyakini bahwa kemenangan itu berasal dari sisi Allah.  Oleh karena itu ketakwaan harus tertanam kuat di dada untuk menerapkan hukum-hukum Allah.  Dia juga harus berdoa dan mengingat (berzikir) kepada Allah. Dia pun  harus terus-menerus menjaga hubungan dengan Allah pada saat melakukan semua aktivitas.

Dari situ jelas pentingnya mengaitkan doa dengan mengambil sebab pada semua aktivitas seorang Mukmin.  Pentingnya hal itu makin ditambah oleh pengulangan kata “lâ budda (harus)” untuk menunjukkan betapa sangat pentingnya mengaitkan seluruh aktivitas dengan doa dan kekontinuan hubungan dengan Allah.

Penggunaan doa disertai mengambil sebab adalah, seperti yang kami katakan, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasul saw. dan para Sahabat beliau radhiyallâh ‘anhum dan kaum Mukmin.  Doa dan mengambil sebab itu, jika dikaitkan satu sama lain, memiliki dampak dalam hasil-hasil yang diperoleh, atas izin Allah. Penggunaan keduanya bersama-sama tidak menyalahi thariiqah Islam.  Akan tetapi, yang menyalahi thariqah Islam itu adalah membatasi hanya dengan berdoa saja tanpa mengambil thariiqah yang dijelaskan oleh nas-nas untuk menerapkan fikrah Islamiyah…

 

Oleh karena itu, apa yang ada di dalam pertanyaan di atas, yaitu tentang doa untuk kehancuran entitas Yahudi, jelas tidak cukup hanya dengan berdoa saja, tetapi harus dikaitkan dengan adanya pasukan negara yang memerangi Yahudi bersama dengan doa. Ini sebagaimana yang dahulu dilakukan oleh Rasulullah saw. dan para Sahabat beliau ridhwanullâh ‘alayhim.

WalLâhu Musta’ân. WalLâh a’lam wa ahkam. []

[Dikutip dari Jawab Soal asy-Syaikh Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah tanggal 04 Rabiul Akhir 1446 H – 07 Oktober 2024 M]

 

Sumber:

https://hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer-hizb/ameer-cmo-site/98093.html

https://www.facebook.com/AtaabuAlrashtah.A.HT/posts/122125130186447297

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

fifteen + twenty =

Back to top button