
Al-Ghabnu Fâhisyu dan Tindakan Mencegat Barang
إِنَّ رَسُولَ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَا تَلَقَّوْا الْجَلَبَ، فَمَنْ تَلَقَّاهُ فَاشْتَرَى مِنْهُ، فَإِذَا أَتَى سَيِّدُهُ السُّوقَ، فَهُوَ بِالْخِيَارِ
Rasulullah saw. bersabda: “Janganlah kalian mencegat barang yang akan didatangkan. Siapa saja yang mencegat dan membeli barang yang akan didatangkan, lalu pemilik barang itu tiba di pasar, maka dia memiliki pilihan.” (HR Muslim no. 1519 dan an-Nasai no. 4501).
Hadis ini juga diriwayatkan dengan redaksi berbeda, juga dari Abu Hurairah ra.:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى أَنْ يُتَلَقَّى الْجَلَبُ، فَإِنْ تَلَقَّاهُ إِنْسَانٌ فَابْتَاعَهُ فَصَاحِبُ السِّلْعَةِ فِيهَا بِالخِيَارِ إِذَا وَرَدَ السُّوق
Sesungguhnya Nabi saw. telah melarang barang yang didatangkan itu dicegat. Jika orang mencegat barang tersebut lalu dia membeli barang itu maka pemilik barang punya pilihan saat dia masuk ke pasar (HR at-Tirmidzi no.1221, Ahmad no. 9236, al-Bazzar no. 10018 dan ath-Thabarani di Mu’jam al-Awsâth no. 6362).
Imam at-Tirmidzi berkata: “Hadis ini hasan ghariib dari hadis Ayyub…Kaum dari ahlul ‘ilmi tidak suka (kariha) mencegat para pedagang. Itu merupakan bentuk tipudaya (al-khadî’ah). Ini merupakan pendapat Asy-Syafi’i dan yang lainnya dari ashhaab kami.”
Sabda Rasul saw. “al-jalabu”, menurut Imam asy-Syaukani di dalam Kitab Nayl al-Awthâr, merupakan mashdar dengan makna ismu al-maf’ûl, yakni al-majlûb (yang didatangkan). Dikatakan: “Jalaba asy-syay`a” (Dia mendatangkan barang dari satu negeri ke negeri lain untuk diperdagangkan).
Imam an-Nawawi menjelaskan di dalam Kitab Syarhu Shahîh Muslim, “Sabda Nabi saw. ‘sayyiduhu’, yakni pemilik barang. Di dalam hadis-hadis ini ada pengharaman mencegat barang yang didatangkan dan itu adalah pendapat Asy-Syafi’iy, Malik dan jumhur.”
Beliau menambahkan, “Adapun terkait sabda Rasul saw “Faidzâ atâ sayyiduhu as-sûqa fahuwa bi al-khiyâr (Jika pemilik barang tiba di pasar maka dia punya pilihan)”, ashhaab kami mengatakan, tidak ada pilihan untuk penjual sebelum dia tiba di pasar dan mengetahui harga di negerinya.”
Hadis di atas menisbatkan larangan itu pada sifat, yaitu talaqqiyu al-jalab, atau dalam riwayat lain, talaqqiyu ar-rukbân. Larangan talaqqiy al-jalabi itu sama dengan talaqqiyu ar-rukbân, karena barang itu didatangkan oleh ar-rukbân (penyebutan ar-rukbân itu adalah menyebutkan kondisi galibnya orang yang mendatangkan barang itu ar-râkib [jamaknya ar-rukbân), yakni menunggang tunggangan). Orang yang mencegat itu lalu memberitahukan harga pasar barang itu (kepada pemilik barangnya, red.) dan boleh jadi secara bohong, atau dia memberitahu pemilik barang bahwa kondisi pasar sedang lesu atau biaya masuk pasar besar, atau yang lain, yang ujungnya dia dapat membeli barang itu dari pemiliknya di bawah harga semisal, yakni harga wajar atau harga pasar di situ.
Sifat talaqqiy al-jalab atau talaqqiyu ar-rukbân itu merupakan washf[un] mufhim[un], yakni penyebutan sifat itu memberikan konotasi atau pemahaman bahwa sifat itu menjadi sebab atau ‘illat larangannya, dan larangan itu adalah haram. Hal itu karena praktik talaqqiy al-jalab atau talaqqiy ar-rukbân itu di dalamnya ada al-khadî’ah (tipudaya atau kecurangan), yakni al-ghabnu (kecurangan terkait harga), dan al-khadî’ah atau al-ghabnu itu adalah haram. Kecurangan itu terjadi karena ketidaktahuan penjual/pemilik barang akan harga pasar atau harga wajar, kondisi pasar barang, atau situasi pasar dan sebagainya. Semua itu berujung pada harga pembelian yang tidak wajar. Artinya, terjadi al-ghabnu al-fâhisy (kecurangan yang zalim).
Dari semua itu dapat di-istinbaath sebab atau ‘illat larangan itu, yaitu adanya al-khadî’ah (kecurangan) pada praktik talaqqiy al-jalab (talaqqiy ar-rukbân) dalam bentuk harga yang tidak wajar untuk pembelian barang itu, yang terjadi karena ketidaktahuan al-jâlib atau ar-rukbân atas harga pasar, situasi pasar dan hal terkait lainnya. Hal ini ditunjukkan dan dikuatkan oleh sabda Rasul saw. “Fa idzâ atâ sayyiduhu as-sûqa fahuwa bi al-khiyâr atau fa shâhibu as-sil’ah fîhâ bi al-khiyâr idzâ warada as-sûqa. Sabda Rasul saw ini menetapkan adanya al-khiyâr jika pemilik barang (penjual) masuk pasar. Adanya pilihan itu tentu saja tidak hanya karena semata masuk pasar. Sebabnya, jika transaksi jual-belinya wajar, dengan harga wajar yang berlaku di pasar, tentu tidak ada alasan syar’i untuk membuat adanya al-khiyâr itu.
Maka dari itu, dapat dipahami, ungkapan masuk pasar itu bermakna dia mengetahui situasi pasar dan harga wajar yang berlaku, yang sebelumnya tidak dia ketahui, sehingga dia dapat mengetahui dengan jelas apakah dia telah dicurangi atau tidak. Di sinilah, dalam masalah bay’ al-hâdhir li bâdin atau talaqqiy ar-rukbân, Umar bin al-Khaththab ra. berkata:
أَخْبِرُوهُمْ بِالسِّعْرِ، وَدُلُّوهُمْ عَلَى السُّوقِ
Beritahu mereka harga (barang) dan tunjukkan kepada mereka pasar (HR Abdurrazaq dalam Mushannaf ‘Abdi ar-Razâq).
Jika pemilik barang (penjual) dicurangi, yakni harganya lebih rendah dari harga wajar, maka dia memiliki al-khiyâr. Ibnu Daqiq al-‘Id di dalam Ihkâm al-Ahkâm Syarhu ‘Umdah al-Ahkâm menyatakan penetapan al-khiyâr. Karena tidak ada ghurûr untuk ar-rukbân, artinya mereka mengetahui harga, maka tidak ada khiyâr untuk mereka. Jika mereka tidak demikian (yakni tidak mengetahui harga), jika orang yang mencegat itu membeli dari mereka dengan lebih murah dari harga wajar maka untuk mereka ada al-khiyâr.
Sebaliknya, jika harganya wajar (semisal harga di negerinya) atau lebih, maka tidak ada al-khiyâr. Imam an-Nawawi menjelaskan di dalam Syarhu Shahîh Muslim, “Ketika pemilik barang tiba di pasar, jika pembelian itu dengan harga yang lebih murah dari harga negeri maka ditetapkan untuk dia pilihan baik orang yang mencegat itu memberitahu harga secara bohong atau tidak memberitahu. Jika pembelian itu dengan harga yang berlaku di negerinya atau lebih banyak maka yang lebih shahih tidak ada pilihan untuk dia karena tidak ada al-ghabnu.”
Pilihan untuknya adalah sebagaimana pilihan dalam kasaus al-ghabnu al-fâhisy, yaitu: menerima harga itu dan jual-belinya tetap berlaku; atau dia membatalkan akadnya, lalu dia meminta kembali barangnya dan menyerahkan kembali harga yang telah dia terima. Adanya al-khiyâr menunjukkan jual-beli itu tidak bâthil melainkan fasad. Jika sebab fasad-nya dihilangkan, yakni dengan adanya keridhaan disertai pengetahuan harga, maka jual-belianya sah sempurna.
WalLâh a’lam wa ahkam. [Yahya Abdurrahman]