Hadis Pilihan

Penimbunan yang Haram

نَهَى رَسُولُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُحْتَكَرَ الطَّعَامُ

Rasulullah saw. telah melarang makanan untuk ditimbun. (HR Ibnu Abiy Syaibah, ar-Ruyani, ath-Thabarani, Abu Thahir al-Mukhallish, al-Hakim, al-Baihaqi, Ibnu Abdi al-Barr).

 

Hadis ini dikeluarkan dari penuturan Abu Umamah al-Bahili oleh Ibnu Abiy Syaibah (w. 235 H) di Mushannaf Ibnu Abiy Syaybah no. 20387, Abu Bakar ar-Ruyani (w. 307 H) di Musnad ar-Rûyânî no.1199, ath-Thabarani (w. 360 H) di Mu’jam al-Kabîr no. 7776, Abu Thahir al-Mukhallish (w. 393 H) di al-Mukhallishiyât no. 2240, al-Hakim (w. 405 H) di al-Mustadrak ‘alâ ash-Shahihayn no. 2163, al-Baihaqi (w. 458 H) di Sunan al-Kubra no. 11148 dan Syu’ab al-îmân no. 10699, Ibnu Abdi al-Barr (w. 463 H) di al-Istidzkâr no. 1311.

Umar bin al-Khaththab ra. menuturkan bahwa Rasul saw bersabda:

مَنِ احْتَكَرَ عَلَى الْمُسْلِمِينَ طَعَامَهُمْ، ضَرَبَهُ اللهُ بِالْجُذَامِ وَالْإِفْلَاسِ

Siapa saja yang menimbun makanan (sehingga terhalang) dari kaum Muslim, niscaya Allah menimpakan pada dirinya penyakit kusta/lepra dan kebangkrutan (HR Ibnu Majah no. 2155, al-Baihaqi di Syu’ab al-Îmân no. 10705).

 

Said bin al-Musayyab menuturkan dari Ma’mar bin Abdullah al-‘Adawi, Rasul saw. bersabda:

لَا يَحْتَكِرُ إِلَّا خَاطِئٌ

Tidaklah melakukan penimbunan kecuali orang yang bermaksiat (HR Muslim no. 1605, Ahmad no. 15758-, 15759, 16760, 16761, Ibnu Majah no.2154, Abu Dawud no. 3447, at-Tirmidzi no. 1267, Ibnu Hibban no. 4936, al-Hakim no. 2163, al-Baihaqi di Sunan al-Kubrâ no. 11148).

 

Menurut para ulama, hadis-hadis ini menjadi dalil keharaman al-ihtikâr. Al-Ihtikâr adalah mashdar dari hakara-yahkiru-hakr[an] wa hakar[an]. Di dalam Kamus Al-Munawir, secara bahasa artinya zhalama (bertindak zalim) dan istabadda (bertindak sewenang-wenang). Menurut Abul Abbas al-Fayumi di dalam Mishbâh al-Munîr dan Ibnu Manzhur di dalam Lisân al-‘Arab, al-ihtikâr secara bahasa adalah menahan makanan karena ingin harganya mahal. Bentuk isimnya al-hukrah.

Dalam hal ini, Al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani di dalam Nizhâm al-Iqtishâdî fî al-Islâm menjelaskan, al-muhtakir (orang yang menimbun), yakni orang yang mengumpulkan barang menunggu harganya mahal sehingga dia jual dengan harga mahal. Akibatnya, penduduk negeri kesulitan untuk membeli barang tersebut.

Kenyataan al-muhtakir adalah orang yang mengumpulkan barang menunggu harganya mahal hal itu karena kata hakara secara bahasa artinya istabadda (bertindak sewenang-wenang). Di antaranya kesewenang-wenangan dengan menahan barang supaya dia jual dengan harga mahal. Ihtakara asy-syay‘a secara bahasa adalah mengumpulkan dan menahannya menunggu harganya mahal sehingga bisa dijual dengan harga tinggi. Adapun keberadaan syarat berlakunya al-ihtikâr adalah mencapai batas menyulitkan penduduk negeri untuk membeli barang yang ditimbun. Hal itu karena fakta al-ihtikâr tidak terjadi keculai pada kondisi ini. Andai tidak menyulitkan orang untuk membeli barang, tentu tidak terjadi pengumpulan barang dan tidak ada kesewenang-wenangan dengan dijual dengan harga tinggi. Berdasarkan ini, bukan syarat dalam al-ihtikâr membeli barang. Namun, semata-mata mengumpulkan barang menunggu harganya mahal sehingga dapat dijual dengan harga tinggi, itulah yang dinilai sebagai ihtikâr.

Jadi semata mengumpulkan barang dan menahannya, dan mengatur volume penjualannya, tidak otomatis menjadi penimbunan yang diharamkan. Namun, hal itu harus sampai tingkat menyulitkan atau memadaratkan masyarakat. Itulah penimbunan yang diharamkan seperti yang dipahami oleh Sa’id bin al-Musayyab, perawi hadis al-ihtikâr.

Imam al-Baihaqi di Sunan ash-Shughrâ hadis no. 2023 menuturkan, dalam apa yang diriwayatkan Abu az-Zinad, ia berkata: Aku katakan kepada Sa’id bin al-Musayyab: Sampai padaku bahwa engkau mengatakan bahwa Rasulullah bersabda, “Lâ yahtakiru bi al-madînati illâ khâthi`un (Tidaklah menimbun di Madinah kecuali orang yang bermaksiat),” sementara engkau menimbun. Ia berkata, “Ini bukan yang disabdakan Rasulullah saw., melainkan dia adalah orang mendatangkan barang ketika harganya mahal dan dia mahalkan lagi. Adapun dia mendatangkan sesuatu dan harganya murah lalu dia beli dan dia simpan, lalu jika orang-orang memerlukan, dia keluarkan, maka itu adalah baik.”

As-Subki seperti dikutip oleh asy-Syaukani di dalam Nayl al-Awthâr mengatakan, “Walhasil, ‘illat-nya adalah jika itu mendatangkan dharar terhadap kaum Muslim. Al-Ihtikâr tidak diharamkan kecuali pada bentuk yang memadaratkan masyarakat. Sama saja dalam hal itu antara makanan dan yang lainnya sebab mereka menyulitkan (memadaratkan) semua orang.”

Adapun mengenai cakupan penimbunan, penyebutan makanan (ath-tha’âm) di hadis-hadis tidak memberi faedah pembatasan atau pengkhususan penimbunan pada makanan saja. Imam asy-Syaukani di dalam Nayl al-Awthâr menyatakan, “Pernyataan dengan lafal ath-tha’âm di beberapa riwayat tidak layak untuk membatasi riwayat lainnya yang mutlak, tetapi itu termasuk pernyataan atas satu item yang dicakup oleh kemutlakan. Hal itu karena penafian hukum dari selain makanan tidak lain karena mafhûm al-laqab dan itu tidak diamalkan menurut jumhur. Selama demikian maka tidak layak untuk membatasi menurut apa yang telah ditetapkan dalam ushul.”

Hadis yang menyatakan makanan (ath-tha’âm) juga tidak dapat mengkhususkan hadis-hadis al-ihtikâr. Al-‘Allamah asy-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan,  “Lafal ath-tha’âm itu tidak layak untuk mengkhususkan riwayat-riwayat yang umum. Itu adalah pernyataan atas salah satu item yang dicakup oleh keumuman. Adapun mengapa hadis-hadis ath-tha’âm tidak layak untuk mengkhususkan, hal itu karena al-mukhashshish harus berupa bagian dari lafal umum. Artinya, ath-tha’âm harus merupakan bagian dari keumuman hadis-hadis al-ihtikâr.

Namun, dengan memperhatikan hadis-hadis al-ihtikâr, jelas memberi faedah umum pada semua orang yang menimbun, yakni al-muhtakirîn. Hadis riwayat Imam Muslim “lâ yahtakiru”, adalah fi’l[un] yang dinafikan sehingga memberi faedah umum pada semua muhtakir (orang yang menimbun). Adapun kata ath-tha’âm yang merupakan obyek yang ditimbun tidak mengkhususkan keumuman al-muhtakirîn sebab ath-tha’âm bukan bagian dari al-muhtakirîn.”

Dengan demikian penimbunan apapun diharamkan selama memenuhi kriteria penimbunan di atas. Juga diharamkan monopoli apapun yang mengakibatkan mahalnya harga yang membuat masyarakat kesulitan.

WalLâh a’lam wa ahkam. [Yahya Abdurrahman]

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

nineteen + six =

Check Also
Close
Back to top button