
Al-Muthlaq dan Al-Muqayyad
Al-Muthlaq maknanya adalah mâ uthliqa. Secara bahasa, seperti disampaikan oleh Ibnu Faris di dalam Mu’jam Maqâyis al-Lughah, maknanya adalah infikâku ‘an jamî’i al-quyûd (terlepas atau bebas dari semua belenggu/batasan).
Sebaliknya, al-muqayyad maknanya adalah mâ quyyida (sesuatu yang dibatasi), atau mâ ashâbahu at-taqyîd (sesuatu yang dikenai pembatasan).
Secara istilah ushul fikih, seperti dinyatakan oleh Imam al-Amidi (w. 631 H) di dalam Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, Ibnu al-Hajib (w. 646 H) di dalam Mukhtashar Ibni al-Hâjib, juga Al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani di dalam Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah Jilid 3, al-muthlaq adalah lafal yang menunjukkan pada madlûl yang tersebar di dalam jenisnya (al-lafzhu ad-dâlu ‘alâ madlûl syâi’[in] fî jinsihi). Definisi ini dijelaskan oleh Syaikh ‘Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah di dalam Taysîr al-Wushûl ilâ al-Ushûl. Disebutkan bahwa “syâi’[un] fî jinsihi” agar keluar dari definisi ini, isim al-‘alam dan isim makrifat baik dengan alîf lâm li al-‘ahdi, li al-istighrâq dan li al-jinsi serta isim jamak makrifat. Hal itu karena makna yang tersebar dalam jenisnya (syâi’[un] fî jinsihi) bahwa itu mungkin dimutlakkan terhadap semua individu atau unit jenis tersebut tanpa penentuan. Jika dikatakan muslim[un] maka sah ditujukan pada semua individu Muslim. Dengan demikian kita katakan: Hadzâ Muslim[un] wa dzâka Muslim[un] …. (Ini Muslim dan itu Muslim…). Itu tidak mungkin dikatakan pada isim al-‘alam semisal Muhammad, Ali, dst. Sebabnya, itu tidak tersebar dalam jenis tersebut seluruhnya melainkan disebutkan atas individu tertentu. Demikian juga isim makrifat dengan alîf lâm al-‘ahdi seperti al-muslim yang dimaksudkan adalah Muslim tertentu. Demikian juga alîf lâm istighrâq al-jinsi dan jamak makrifat. Sebabnya, itu tidak tersebar dalam jenis tersebut, melainkan semua inidividu jenis tersebut terderivasi di bawahnya atau tercakup olehnya. Jika dikatakan al-Muslimu yu’minu maka semua Muslim terderivasi di bawahnya atau tercakup oleh lafal al-muslim itu.
Namun, jika dikatakan muslim[un] maka lafal ini hanya mencakup satu orang, tetapi tidak tertentu, yakni dia tersebar dalam jenisnya. Karena itu lafal al-muslimu dengan alîf lâm al-jinsi disebut lafal umum sebab semua individunya terderivasi di bawahnya. Adapun lafal muslim[un] disebut lafal al-muthlaqu. Sebabnya, itu menunjuk pada seorang Muslim yang tidak tertentu, tetapi tersebar dalam jenisnya.
Hal itu tidak hanya berlaku pada satu atau tunggal, melainkan juga berlaku atas lebih dari satu (isim mutsanna dan jamak). Misalnya, rajulâni atau rijâl[un], maka itu menunjuk pada dua pria atau sejumlah pria yang tidak tertentu, tetapi tersebar dalam jenisnya, yakni tersebar pada jenisnya yakni pria. Syaikh Wahbah az-Zuhaili menjelaskan di dalam Ushûl al-Fiqhi al-Islâmî bahwa lafal al-muthlaqu itu menunjuk pada satu individu (fard[un]) atau banyak individu (afrâd[un]) secara penyebaran (‘âlâ sabîli asy-syuyû’) dan tidak dibatasi dengan sifat. Misal, rajul[un] dan rijâl[un], kitaab[un] dan kutub[un], thâ`ir[un] dan thuyûr, thâlib dan thulâb. Itu menunjuk pada satu unit atau banyak unit yang tidak tertentu dan tersebar pada jenisnya.
Penunjukan lafal mutlak terhadap sesuatu itu adalah terhadap esensinya. Di situlah Imam Fakhru al-Islam al-Bazdawi (w. 482 H) di dalam Ushûl al-Bazdawi mendefinisikan al-muthlaqu adalah lafal yang melihat zat tanpa sifat-sifat baik dengan penafian maupun penetapan. Ini sebagaimana yang juga dinyatakan oleh Imam Fakhruddin ar-Razi (w. 606 H) di dalam Al-Mahshûl, juga oleh Badruddin az-Zarkasyi (w. 794 H) di dalam Bahru al-Muhîth fî Ushûl al-Fiqh, bahwa al-muthlaqu itu merupakan lafal yang menunjuk pada esensi sesuatu (al–mâhiyah) dari sisi dianya sendiri tanpa batasan. Dengan kata lain, dikatakan al-muthlaqu adalah lafal yang tidak disifati dengan sifat sama sekali. Imam al-Qarafi (w. 684 H) di dalam Syarhu Tanqîh al-Fushûl menjelaskan bahwa lafal al-muthlaqu itu adalah setiap hakikat yang dinilai dari sisi dianya sendiri, yakni bahwa lafal itu menunjuk pada esensi zat (al-mâhiyah) tanpa batasan. Dengan kata lain, dalam penjelasan Taqiyyuddin as-Subki (w. 756 H) di dalam Al-Ibhâj Syarhu Minhâj al-Wushûl, bahwa al-muthlaqu secara mutlak adalah yang lepas dari semua batasan, yang menunjukkan atas esensi sesuatu tanpa menunjuk pada sesuatu dari keadaan-keadaan dan sifat-sifatnya.
Syaikh Wahbah az-Zuhaili menjelaskan, bahwa itu merupakan lafal-lafal yang menunjuk pada individu atau banyak individu yang tidak tertentu tanpa memperhatikan al-‘umûm atau al-istighrâq, melainkan yang dimaksud adalah esensi atau hakikat menurut kehadirannya di benak yang terlepas dari sifat-sifat. Jadilah al-muthlaqu itu setara dengan nakirah selama tidak dimasuki oleh keumuman.
Lafal al-muthlaqu seperti yang dijelaskan itu, setara atau sama dengan isim nakirah yang bukan lafal umum. Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi (w. 620 H) di dalam Rawdhah an-Nâzhir wa Jannah al-Munâzhir menjelaskan, al-muthlaq adalah nakirah dalam konteks perintah. Adapun menurut Imam al-Amidi (w. 631 H) di dalam Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, al-muthlaqu itu adalah nakirah dalam konteks penetapan (an-nakirah fî siyâq al-itsbât). Hanya saja, yang dimaksudkan nakirah di sini adalah nakirah hakiki (nakirah haqîqiyah). Dengan demikian al-muthlaqu adalah nakirah hakiki dalam konteks penetapan (nakîrah haqîqiyah fî siyâqi al-itsbâth).
Penjelasannya, dikatakan nakirah karena al-muthlaqu itu lafal yang tidak tertentu yang tersebar dalam jenisnya. Dengan demikian, dengan penyebutan nakirah itu mengeluarkan isim makrifat dan yang penunjukkannya tertentu atau umum istighrâq. Dikatakan “dalam konteks penetapan (fî siyâqi al-itsbâth)” untuk mengeluarkan nakirah dalam konteks penafian atau mirip penafian. Sebabnya, itu termasuk redaksi umum dan bukan mutlak. Jadi dia mencakup semua unit dalam jenisnya dan bukan tersebar dalam jenisnya (laysa syâ`i’[an] fî jinsihâ). Dalam konteks penetapan mencakup pada konteks perintah (fî siyaq al-amri). Dikatakan nakirah hakiki (nakirah haqîqiyah) untuk mengeluarkan nakirah yang tidak hakiki, yakni secara lafal nakirah, tetapi secara makna makrifat. Contohnya: “Ra’aytu rajul[an] (saya melihat seorang pria).” Kata rajulan ini secara lafal adalah nakirah, tetapi sudah tertentu secara makna disebabkan pandangan itu hanya tertuju pada pria tertentu. Jadi ia bukan seorang pria yang tersebar dalam jenisnya, melainkan pria tertentu, sehingga bukan lafal al-muthlaqu.
Nakirah hakiki dalam konteks penetapan ini mungkin ada dalam tiga bentuk: Pertama: Perintah menggunakan mashdar. Contohnya dalam firman Allah SWT tentang kafarah sumpah:
…أَوۡ تَحۡرِيرُ رَقَبَةٖۖ فَمَن لَّمۡ يَجِدۡ فَصِيَامُ ثَلَٰثَةِ أَيَّامٖۚ ٨٩
…atau memerdekakan seorang budak. Siapa saja yang tidak sanggup melakukan yang demikian maka kafarah-nya ada;ah puasa selama tiga hari (QS al-Maidah [5]: 89).
Contoh lain adalah firman Allah SWT tentang kafarah bagi orang yang ihram, yang bercukur sebelum waktunya karena sebab sakit di kepala (hukum ini juga mencakup memakai pakaian atau parfum):
…فَفِدۡيَةٞ مِّن صِيَامٍ أَوۡ صَدَقَةٍ أَوۡ نُسُكٖۚ ١٩٦
Jika ada di antara kalian yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajib atas dirinya ber-fidyah, yaitu: berpuasa atau bersedekah atau berkorban (QS al-Baqarah [2]: 196).
Kedua, dalam bentuk perintah berupa fi’il. Contohnya, sabda Rasul saw. kepada Kaab bin ‘Ujrah ketika di Hudaibiyah dan sakit di kepala karena kutu:
فَاحْلِقْ رَأْسَكَ، وَأَطْعِمْ فَرَقًا بَيْنَ سِتَّةِ مَسَاكِين -وَالْفَرَقُ ثَلَاثَةُ آصُعٍ- أَوْ صُمْ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ، أَوْ انْسُكْ نَسِيكَةَ
Cukurlah kepalamu dan beri makan faraq di antara enam orang miskin (faraq adalah tiga sha’), atau berpuasalah tiga hari, atau sembelihlah seekor kambing (HR al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi – redaksi Muslim).
Ketiga, dalam bentuk informasi masa depan. Misalnya, kalau orang berkata “Sa-ashûmu yawm[an] (Aku akan berpuasa sehari).” Termasuk dalam hal ini sabda Rasul saw.:
لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ
Tidak ada pernikahan kecuali dengan wali (HR Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, at-Tirmidzi, ad-Darimi, Ibnu Hibban).
Lafal waliy[in] dalam bentuk nakirah penetapan dalam konteks berita. Ini merupakan lafal al-muthlaqu.
Al-Muqayyad
Al-Muqayyad secara bahasa adalah sesuatu yang dibatasi. Secara istilah, Ibnu al-Hajib (w. 646 H) menyatakan di dalam Mukhtashar Ibni al-Hâjib bahwa al-muqayyad adalah lafal yang menunjukkan tidak pada sesuatu yang tersebar dalam jenisnya. Dalam penjelasan Syaikh Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah di dalam Taysîr al-Wushûl ilâ al-Ushûl, al-muqayyadu adalah lafal mutlak yang dihilangkan ketersebarannya dalam jenisnya secara total atau parsial.
Imam al-Amidi (w. 631 H) di dalam Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, juga Al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani di dalam Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah Jilid 3, menjelaskan bahwa al-muqayyad itu: Pertama, lafal yang menunjukkan atas madluul tertentu semisal Zayd[un], Amru, dsb. Kedua, lafal yang menunjukkan atas sifat yang madluul-nya mutlak dengan sifat tambahan, semisal raqabat[in] mu’minat[in]. Meski ini menyebar pada hamba sahaya Mukmin dan itu mutlak sehingga mencakup setiap hamba sahaya Mukmin, ia dinisbatkan pada hamba sahaya secara mutlak. Dengan demikian raqabat[in] mu’minat[in] itu bersifat muqayyad. Jadi raqabat[in] mu’minat[in] itu bersifat muthlaq dari satu sisi dan dari sisi lain bersifat muqayyad.
Contoh lafal al-muqayyad adalah firman Allah SWT berikut:
…فَتَحۡرِيرُ رَقَبَةٖ مُّؤۡمِنَةٖ وَدِيَةٞ مُّسَلَّمَةٌ إِلَىٰٓ أَهۡلِهِۦٓ … فَدِيَةٞ مُّسَلَّمَةٌ إِلَىٰٓ أَهۡلِهِۦ وَتَحۡرِيرُ رَقَبَةٖ مُّؤۡمِنَةٖۖ فَمَن لَّمۡ يَجِدۡ فَصِيَامُ شَهۡرَيۡنِ مُتَتَابِعَيۡنِ… ٩٢
…(hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu)…maka (hendaklah si pembunuh) membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Siapa saja yang tidak memperoleh (untuk membayar diyatnya), maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut (QS an-Nisa’ [4]: 92).
Di sini raqabah dibatasi dengan iman, diyyat dengan musallamah ilâ ahlihi (diserahkan kepada keluarga korban) dan puasa dua bulan dengan berturut-turut (mutatâbi’atin).
WalLâh a’lam wa ahkam. [Yahya Abdurrahman]