Solusi Atas Penguasaan Tanah Secara Ilegal
عَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيْجٍ قَال: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ زَرَعَ فِى أَرْضِ قَوْمٍ بِغَيْرِ إِذنهم فَلَيْسَ لَهُ مِنَ الزَّرْعِ شَىْءٌ وَتُرَدُّ عَلَيْهِ نَفَقَتُه
Rafi’ bin Khadij menuturkan bahwa Rasul saw. bersabda: “Siapa saja yang menanam di tanah suatu kaum tanpa izin mereka maka tidak ada hak atas dia dari tanaman itu sedikitpun dan biayanya dikembalikan kepada dirinya. (HR Ibnu Majah dan Ahmad).
Hadis ini juga diriwayatkan dengan redaksi sedikit berbeda sebagai berikut:
مَنْ زَرَعَ فِى أَرْضِ قَوْمٍ بِغَيْرِ إِذْنهم فَلَيْسَ لَه مِنَ الزَّرْع شَىْءٌ وَلَهُ نَفَقَتُه
Siapa saja yang menanam di tanah suatu kaum tanpa izin mereka maka tidak ada ha katas dia dari tanaman itu sedikitpun dan untuk dia biayanya (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi).
Imam at-Tirmidzi berkata tentang hadis ini: Aku bertanya kepada Muhammad bin Ismail (Imam al-Bukhari) tentang hadis ini. Ia berkata: “Itu hadis hasan.”
Imam Abu Dawud tidak mengomentari hadis ini. Sesuai dengan penjelasan beliau di mukadimah Sunan Abû Dâwud, hadis ini beliau nilai hasan.
Sesuai dengan hadis ini, jika orang menanam di tanah orang atau pihak lain tanpa izin dari pemilik tanah itu maka dia tidak berhak sedikitpun atas tanaman itu dan hasilnya. Tanaman dan hasilnya itu menjadi hak pemilik tanah. Orang yang menanam itu hanya berhak atas biaya yang dia keluarkan, yakni biaya itu dikembalikan kepada dia.
Lantas bagaimana penyelesaian kasus tersebut jika terjadi. Kasus itu pernah terjadi dan diadukan kepada Rasul saw. Beliau mengeluarkan keputusan penyelesaiannya. Urwah bin az-Zubair menuturkan:
فَاخْتَصَمَ رَجُلاَن مِنْ بَيَاضَة إِلَى رَسُولِ الله – صلى الله عليه وسلم- غَرَسَ أَحَدُهُمَا نَخْلا فِى أَرْضِ الآخِرِ فَقَضَى رَسُولُ الله -صلى الله عليه وسلم- لِصَاحِبِ الأَرْضِ بِأَرْضِهِ وَأَمَرَ صَاحِبَ النَّخْلِ أَنْ يُخْرِجَ نَخْلَه مِنْهَا، قَالَ قَالَ عُرْوَةُ فَلَقَدْ أَخْبَرَنِى الَّذِى حَدَّثَنى قَال: رَأَيْتُهَا وَإِنَّهُ لَيُضْرَبُ فِى أُصُولِهاَ بِالْفُئُوسِ وَإِنَّه لَنَخْل عُمٌّ حَتَّى أُخْرِجَتْ
Pernah ada dua orang laki-laki dari Bayadhah bersengketa meminta keputusan kepada Rasul saw. Orang pertama menanam pohon kurma di tanah orang kedua. Rasul saw. lalu memutuskan, pemilik tanah berhak atas tanahnya. Beliau lalu memerintahkan pemilik kurma untuk mengeluarkan pohon kurma itu dari tanah tersebut. Urwah berkata: Orang yang memberitahuku (Said bin Zaid) berkata, “Aku melihat Kurma itu digali akarnya dengan kapak. Itu adalah pohon kurma yang sudah sempurna (sudah besar). Lalu ia dikeluarkan dari tanah itu.” (HR al-Baihaqi dan Abu Dawud).
Ketentuan di atas bukan hanya berlaku atas orang yang menanam di tanah pihak lain. Makna gharasa menurut para ulama bisa mencakup menanami tanaman pertanian, menanam pepohonan atau perkebunan, membangun bangunan, menggali sumur atau parit, atau aktivitas apapun di atas tanah milik pihak lain itu.
Ini juga berlaku pada tanah milik pihak lain baik milik individu, milik umum atau milik negara. Hadis di atas memberikan dua potret: Pertama, ardhu qawm[in], yakni tanah milik orang, kaum atau pihak lain. Ini mengisyaratkan berlakunya ketentuan tersebut atas tanah milik orang banyak, komunitas atau jamaah. Ia juga mencakup atas tanah milik umum dan milik negara. Kedua, bighayri idznih[im], yakni tanpa izin pihak pemilik tanah itu. Jika ada izin dari pihak pemilik tanah, artinya dia memang memiliki wewenang sah untuk melakukan itu.
Jadi, ketentuan di atas juga berlaku atas penguasaan tambang, hutan dan harta milik umum lainnya. Tanah tempat beradanya tambang yang depositnya besar, hutan, padang gembalan dan fasilitas publik, adalah milik umum seluruh rakyat. Siapa saja yang menguasai tanah-tanah tersebut, menambang tambangnya, menebangi hutannya, menguasai fasilitas publik semisal lapangan, taman, masjid, dan sebagainya, berarti dia menguasai tanah secara zalim. Pihak yang menguasai itu tidak berhak atas hasilnya. Ia hanya berhak atas pengembalian biaya yang dikeluarkan. Tentu jika tanaman atau yang lainnya itu sudah memberikan hasil maka hasil itu adalah hak pemilik tanah. Ini sesuai dengan mafhûm hadis di atas.
Berdasarkan hadis di atas dan nas lainnya, jika ada orang atau pihak yang menyerobot atau menguasai tanah milik pihak lain secara tidak sah, penyelesaian kasus tersebut adalah: Pertama, dia tidak berhak atas tanah itu. Sebabnya, penguasaan atasnya adalah secara ilegal.
Kedua, penyerobot tanah tidak punya hak atas tanaman, bangunan, atau apapun yang dia tanam atau buat, termasuk hasilnya. Tanaman atau bangunan dan hasilnya adalah hak pemilik tanah, sementara orang yang menguasai berhak atas biayanya.
Ketiga, tanah itu tentu harus dikembalikan kepada pemiliknya. Di sinilah peran pemilik otorits syar’i diperlukan. Hal itu seperti yang dilakukan oleh Rasul saw. sebagai pemilik otoritas syar’i.
Keempat, pemilik tanah itu bisa saja menginginkan tanaman, bangunan atau apapun yang ada di tanahnya itu; dan bisa saja dia tidak menginginkannya. Jika dia menginginkannya, maka biaya tanaman, bangunan dan lainnya itu menjadi hak pihak yang menguasai tanah yang telah menanam atau membangunnya. Artinya, pemilik tanah mengganti biaya itu kepada pihak yang menguasai secara ilegal itu. Jika tanaman atau bangunan itu sudah menghasilkan maka bisa diperhitungkan antara hasilnya dengan biaya yang harus dibayar pemilik kepada yang menanam atau membangun.
Dalam hal ini, pemilik tanah tentu tidak boleh dipaksa untuk menerima atau mengambil tanaman, bangunan, parit, sumur dan lainnya yang telah ditanam, dibangun, atau dibuat oleh pihak lain yang menguasai tanahnya itu. Sebabnya, ia sudah dizalimi dengan dikangkangi dan diserobot tanahnya. Jika ia dipaksa menerima tanaman, bangunan, parit, sumur dsb itu dan membayar biayanya kepada pihak yang menanam, membangun, atau menggalinya, maka itu artinya kezaliman di atas kezaliman padanya.
Jika pemilik tanah tidak menginginkannya maka orang yang menanam, membangun, menggali dan sebagainya itu harus mengeluarkan tanaman, bangunan, parit atau apapun yang dia buat, dia tempatkan, atau dia tanam itu. Semua biaya untuk itu juga menjadi tanggung jawab dan kewajibannya. Jadi pihak lain itu bertanggung jawab untuk mengembalikan keadaan tanah seperti semula. Semua biaya yang dibutuhkan menjadi tanggung jawabnya. Hal itu sesuai hadis Urwah bin az-Zubair di atas.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]