Hadis Pilihan

Syarikah Al-Abdan

عَنْ أَبِي عُبَيْدَةَ، عَنْ عَبْدِ الله بْنِ مَسْعُوْدٍ، قَال: اشْتَرَكْتُ أنا وَعَمَّارٌ، وَسَعْدٌ، فِيمَا نُصِيبُ يَوْمَ بَدْرٍ، فَجَاءَ سَعْدٌ بِأَسِيرَيْنِ وَلَمْ أَجِئْ أَنَا وَعَمَّارٌ بِشَيْءٍ

Dari Abu Ubaidah, dari Abdullah bin Mas’ud, berkata: “Aku pernah berserikat (bermitra) dengan Ammar dan Saad dalam apa yang kami peroleh pada Perang Badar. Lalu Saad datang membawa dua orang tawanan, sementara aku dan Ammar tidak membawa apa-apa.”

(HR Abu Dawud, No. 3388; Ibnu Majah, No. 2288; dan al-Baihaqi, No. 11428).

 

Hadis ini dikeluarkan oleh Imam Abu Dawud di dalam Sunan Abû Dâwud pada bab “Fî asy-Syarîkah ‘alâ Ghayri Ra`si al-Mâl (Tentang Syarikah [Kemitraan] pada Selain Modal)”.

Imam Ibnu Majah mengeluarkan hadis ini di dalam Sunan Ibni Mâjah pada bab “Asy-Syirkah wa al-Mudhârabah”. Imam al-Baihaqi juga mengeluarkan hadis ini di dalam Sunan al-Kubrâ pada bab asy-Syirkah fî al-Ghanîmah. Hanya saja, lafal “fa jâ`a sa’d[un] bi asîrayn (lalu Saad datang membawa dua orang tawanan)” diganti dengan lafal “fa jâ`a sa’d[un] bi rajulayn (lalu Saad datang membawa dua orang laki-laki)”.

Imam an-Nasai mengeluarkan hadis ini di dalam Sunan al-Kubrâ, hadis nomor 4654, pada bab “Dzikru al-Ikhtilâf ‘alâ al-Mufâwadhah”; no. 6250 pada bab “Asy-Syarikah bi Ghayri Ra’si Mâl[in]; dan no. 8605 pada bab “Al-Asru”. Beliau juga mengeluarkan hadis ini di dalam Sunan an-Nasa`i (Sunan ash-Shughrâ li an-Nasa`i atau al-Mujtaba min as-Sunan), hadis no. 3937, pada bab “Syarikah al-Abdân”; juga no. 4697, pada bab “Asy-Syarikah bi Ghayri Mâl[in]. Di dalamnya dinyatakan: Abdullah bin Mas’ud ra. berkata:

اشْتَرَكْتُ أَنا وَعَمَّارٌ وَسَعْدٌ يَوْمَ بَدْر فَجَاء سَعْدٌ بِأَسِيرَيْنِ، وَلَمْ أَجِئْ أنا وَلَا عَمَّارٌ بِشَيْءٍ

Aku berserikat dengan Ammar dan Saad pada Perang Badar. Lalu Saad datang membawa dua orang tawanan, sementara aku dan Ammar tidak membawa apa-apa.

 

Sejumlah ulama, di antaranya Al-Mundziri dan asy-Syaukani di dalam Nayl al-Awthâr menilai hadis ini munqathi’. Pasalnya, Abu Ubaidah bin Abdullah bin Mas’ud tidak mendengar hadis dari bapaknya, yakni Abdullah bin Mas’ud.

Syamsuddin Ahmad bin Farhun al-Isybili (w. 699 H) menyatakan di dalam Mukhtashar Khilâfiyât al-Bayhaqiy: “Hadis ini mursal. Abu Ubaidah tidak mendengar dari bapaknya. Hanya saja, hadis ini hasan. Di dalamnya tidak ada hujjah untuk orang yang membolehkan syarikah al-‘abdân. Sebabnya, ghaniimah itu syirkah untuk orang yang terlibat perang dan ahlu al-khumus tanpa akad syarikah, dan akad tersebut tidak punya pengaruh dalam keberadaan ghaniimah di antara mereka.”

Imam Abu Dawud sendiri mendiamkan dan tidak mengomentari hadis tersebut. Sesuai penjelasan beliau di dalam mukadimah Sunan Abî Dâwud, jika hadis di dalam Sunan Abu Dawud tidak beliau komentari maka menurut beliau hadis itu hasan.

Para ulama berbeda pendapat tentang keabsahan syarikah al-‘abdân. Abu Tsaur, Imam Syafii dan Syafiiyah menilai syarikah al-‘abdân adalah batil. Sebaliknya, Sufyan ats-Tsauri, Imam Malik dan Malikiyah, Imam Abu Hanifah dan Hanafiyah serta Imam Ahmad dan Hanabilah berpendapat bahwa syarikah al-‘abdan adalah boleh dan sah. Hanya saja, mereka berbeda pendapat dalam sebagian rincian hukumnya.

Al-Khaththabi (w. 388 H) di dalam Ma’âlim as-Sunan Syarhu Sunan Abî Dâwud mengatakan: Syarikah al-‘abdân sah menurut pendapat Sufyan ats-Tsauri dan ashhaabu ar-ra`yi. Hadis ini menjadi hujjah untuk mereka. Imam Ahmad bin Hanbal ber-hujjah dengan hadis ini dan menetapkan kebolehan syarikah al-‘abdân

Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi (w. 620 H) di dalam Al-Mughnî menyatakan, “Untuk kita apa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan al-Atsram dengan sanad mereka dari Abu Ubaidah, dari Abdullah, yang berkata: Aku pernah berserikat dengan Saad dan Ammar pada Perang Badar. Lalu aku dan Ammar tidak membawa sesuatu pun, sedangkan Saad membawa dua orang tawanan.” Wa mitslu hadzâ lâ yakhfâ ‘alâ Rasûlillâh saw. wa qad aqarrahum ‘alayhi. Wa qâla Ahmadu: asyraka baynahum an-Nabiyyu saw. (Yang semisal ini tidak tersembunyi bagi Rasulullah saw. dan beliau menyetujui mereka. Ahmad berkata, “Nabi saw. memperserikatkan di antara mereka.”).

Al-‘Allamah asy-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani di dalam An-Nizhâm al-Iqtishâdî fî al-Islâm, setelah menyatakan seperti yang dinyatakan oleh Ibnu Qudamah ini, kemudian beliau mengatakan, “Hadis ini gamblang dalam berserikatnya sekelompok Sahabat pada badan mereka, dalam pekerjaan yang mereka kerjakan, yaitu memerangi musuh, dan mereka berbagi ghanimah yang mereka dapatkan jika memenangkan perang. Adapun yang dikatakan bahwa hukum ghaniimah menyalahi syarikah ini maka itu tidak dinyatakan terhadap hadis ini. Sebabnya, hukum-hukum ghaniimah diturunkan setelah Perang Badar ini. Jadi ketika terjadi syarikah dengan badan mereka ini, hukum ghaniimah belum ada. Hukum ghaniimah yang diturunkan setelahnya tidak me-naskh syarikah yang terjadi itu, melainkan menjelaskan bagian pihak-pihak yang mendapat ghaniimah, sementara hukum syarikah al’-abdân tetap berlaku dengan hadis ini.”

Ibnu Qudamah menyatakan, “Syarikah al-‘abdân adalah boleh. Makna syarikah al-‘abdân, yakni dua orang atau lebih berserikat dalam apa yang mereka dapatkan dengan tangan mereka, seperti para pengrajin berserikat dengan ketentuan mereka bekerja di industri mereka dan apa yang Allah berikan maka itu dibagi di antara mereka.

Al-‘Allamah asy-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan, syarikah al-‘abdân adalah dua orang atau lebih berserikat dengan badan mereka saja tanpa harta mereka; dalam apa yang mereka peroleh dengan tangan mereka, yakni dengan tenaga mereka, berupa pekerjaan tertentu baik kerja intelektual atau fisik. Contoh: pekerja industri berserikat untuk bekerja dalam industri mereka, lalu keuntungan yang mereka peroleh dibagi di antara mereka. Contohnya para insinyur, dokter, pemburu, tukang angkut, tukang kayu, sopir dan semisal mereka. Tidak disyaratkan kesamaan keahlian atau pekerjaan di antara para mitra dan juga tidak harus pengrajin semuanya. Andai pekerja beragam keahlian berserikat maka itu boleh karena mereka berserikat dalam perolehan yang mubah. Hanya saja, disyaratkan pekerjaan yang mereka perserikatkan dengan maksud mendapat keuntungan itu harus berupa pekerjaan yang mubah. Adapun jika pekerjaan itu haram maka tidak boleh ada syarikah padanya.”

Keuntungan atau hasilnya, menurut Ibnu Qudamah dan Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani,  dibagi di antara para mitra (syarîk) sesuai dengan kesepakatan mereka, baik sama bagiannya atau berbeda. Sebabnya, kerja yang dengan itu pelakunya berhak atas keuntungan, ia boleh berbeda di antara para mitra, maka demikian juga mereka boleh berbeda dalam bagian keuntungan atua hasil yang diperoleh.

WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

two × 3 =

Back to top button