Tadlis Dalam Jual Beli (Manipulasi Barang Dagangan)
عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ الْجُهَنِيِّ، قَا ل: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُول: الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ، وَلَا يَحِلُّ المُسْلِمٍ إِنْ بَاعَ مِنْ أَخِيهِ بَيْعًا فِيهِ عَيْبٌ أَنْ لَا يُبَيِّنَهُ لَه
Dari ‘Uqbah bin ‘Amir al-Juhaniyyi, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Seorang Muslim adalah saudara Muslim lainnya. Tidak halal bagi seorang Muslim, jika dia menjual kepada saudaranya sesuatu yang di dalamnya ada aib (cacat), untuk tidak menjelaskan kecacatannya itu kepada sudaranya tersebut.” (HR al-Baihaqi dan al-Hakim).
Imam al-Baihaqi mengeluarkan hadis ini di dalam As-Sunan al-Kubrâ (hadis nomor 10734) dan di dalam As-Sunan ash-Shaghîr (hadis nomor 1939). Imam al-Hakim mengeluarkan hadis ini di dalam Al-Mustadrak ‘alâ ash-Shahîhayn (hadis nomor 2152). Al-Hakim berkata, “Hadis ini shahih menurut syarat Asy-Syaykhayn (al-Bukhari dan Muslim), tetapi keduanya tidak mengeluarkan hadis tersebut.”
Al-Hafizh adz-Dzahabi di dalam Talkhîsh mengomentari hadis ini, “Menurut syarat al-Bukhari dan Muslim.”
Imam Ibnu Majah mengeluarkn hadis ini di dalam Sunan Ibni Mâjah (hadis nomor 2246) dengan redaksi sedikit berbeda:
الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ، وَلَا يَحِلُّ لِمُسْلِم باعَ مِنْ أَخِيه بَيْعًا فِيهِ عَيْبٌ إِلَّا بَيَّنَهُ لَهُ
Seorang Muslim adalah saudara Muslim lainnya. Tidak halal bagi seorang Muslim menjual kepada saudaranya sesuatu yang di dalamnya ada aib (cacat), kecuali dia menjelaskan kecacatannya itu kepada saudaranya tersebut.
Abu Hurairah menceritakan, suatu ketika, Rasul saw melewati seorang pedagang yang menjual onggokan (bahan) makanan. Lalu Rasul saw. memasukkan tangan beliau ke dalam onggokan tersebut dan mendapati bagian dalamnya basah. Pedagang itu beralasan, itu karena terkena hujan. Rasul saw pun bersabda, “Mengapa tidak ditaruh di atas supaya orang bisa melihatnya.” Kemudian beliau bersabda:
مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّي [اخرجه مسلم] او قال: لَيْسَ مِنَّا مَنْ غَشَّ [اخرجه أحمد وإبن ماجه وأبو داود والبيهقي] او قال: مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنَّا [اخرجه الترمذي] او قال: مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ منا [اخرجه إبن حبان والبيهقي]
“Siapa saja yang melakukan penipuan/kecurangan maka bukan dari golonganku” (HR Muslim); atau “Bukan golongan kami orang yang melakukan penipuan/kecurangan” (HR Ahmad, Ibnu Majah, Abu Dawud, al-Baihaqi); atau “Siapa saja yang melakukan penipuan/kecurangan maka bukan dari golongan kami” (HR at-Tirmidzi); atau “Siapa saka yang melakukan penipuan/kecurangan maka bukan golongan kami” (HR Ibnu Hibban dan al-Baihaqi).
Imam at-Tirmidzi mengatakan, dalam bab ini ada riwayat dari Ibnu Umar, Abi al-Hamra‘, Ibnu Abbas, Buraidah, Abu Burdah bin Niyar, Khudzaifah bin al-Yaman. Hadis Abu Hurairah hadis hasan shahiih. Amal menurut hadis ini pada ahlul ‘ilmi, mereka tidak menyukai al-ghisysy. Mereka mengatakan, al-ghisysy (penipuan/kecurangan) adalah haram.
Dalam riwayat ‘Uqbah bin ‘Amir al-Juhaniyy di atas dinyatakan secara gamblang keharaman menyembunyikan aib, cacat atau kekurangan barang yang dijual, tidak menjelaskannya kepada pembeli. Secara gamblang dinyatakan “lâ yahillu (tidak halal)”, maknanya haram.
Dalam hadis Abu Hurairah, perbuatan tidak menampakkan kekurangan, aib atau cacat itu dinilai termasuk al-ghisysy (penipuan/kecurangan). Hal itu juga haram, dengan qariinah sabwa Rasul saw., “Laysa minnî atau laysa minnâ”.
Syamsul Haq al-‘Azhim di dalam ‘Awn al-Ma’bûd Syarhu Sunan Abiy Dâwud dan asy-Syawkani di dalam Nayl al-Awthâr menyatakan, hadis ini adalah dalil pengharaman al-ghisysy (penipuan/kecurangan) dan itu adalah perkara yang telah disepakati.
Sebagai perbuatan haram, maka haram dijadikan cara untuk mengembangkan kepemilikan harta. Artinya, itu merupakan cara pengembangan kepemilikan yang haram.
Perbuatan ini akan menyebabkan hilangkan keberkahan dari jual-beli yang dilakukan. Rasul saw. bersabda:
اَلْبَيِّعَانِ بالْخِيَارِ مَا لَم يَتَفَرَّقَا فَإِنْ تَفَرَّقَا وَبَيَّنَا بُوْرِكَ لَهُمَا فِيْ بَيْعِهِمَا وَاِنْ كَتَمَا وَكَذَبا مُحِقَتْ بَرَكَة بَيْعِهَا
Penjual dan pembeli memiliki pilihan selama belum berpisah. Jika keduanya berpisah dan menjelaskan (barang dan harganya apa adanya) maka mereka diberi keberkahan dalam jual-belinya. Jika keduanya menyembunyikan (cacat) dan berdusta maka dihanguskanlah keberkahan jual-beli keduanya (HR al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, Abu Dawud dan al-Baihaqi).
Perbuatan menutupi aib, tidak menampakkannya atau tidak menjelaskannya kepada pembeli itu, oleh para fukaha diistilahkan sebagai at-tadlîs dalam jual-beli. Secara bahasa tadlîs artinya penipuan atau manipulasi. Al-Jawhari di dalam Ash-Shihah fî al-Lughah menyatakan: Jika dikatakan “fulân lâ yudâlisuka” artinya “Ia tidak menipumu dan tidak menyembunyikan sesuatu kepadamu seolah-olah ia mendatangimu dalam kegelapan.”
Ini artinya, perbuatan dallasa–yudallisu–tadlîs[an] bermakna penipuan atau manipulasi dengan tidak menjelaskan sesuatu, tidak menampakkannya, dan menutupinya.
Ibnu Manzhur di dalam Lisân al-‘Arab, mengatakan bahwa dallasa di dalam jual-beli dan dalam hal apa saja adalah tidak menjelaskan aib (cacat)-nya. Menurut Muhammad Rawas Qal’ah Ji di dalam Mu’jam Lughah al-Fuqahâ’, tadlîs artinya al-khidâ’ wa al-ibhâm wa at-tamwiyah (penipuan, kecurangan, penyamaran, penutupan).
Para fukaha mengartikan tadlîs di dalam jual-beli adalah menutupi aib barang. Hal itu seperti dijelaskan oleh Fairuz al-Abadi di dalam Al-Qâmûs al-Muhîth; Muhammad bin Abi al-Fath al-Ba’li di dalam Al-Muthalli’ ‘alaa Abwaab al-Fiqhi bab khiyâr at-tadlîs; al-Jurjani di dalam At-Ta’rifât; dan al-Jawhari di dalam Ash-Shihâh fî al-Lughah.
Hanya saja, dari deskripsi nas yang ada, tadliis tidak selalu dalam bentuk aib/cacat barang yang ditutupi atau tidak dijelaskan. Tadliis juga terjadi ketika barang—baik barang yang dijual atau harganya, baik berupa uang atau barang—ternyata tidak sesuai dengan yang dideskripsikan atau yang ditampakkan, meski tidak ada cacat.
Menurut Muhammad bin Abi al-Fath al-Ba’li di dalam Al-Muthalli’ ‘alaa Abwaab al-Fiqhi baab khiyâr at-tadlîs, tadliis yang haram dan menetapkan khiyar ada dua bentuk: Pertama, tadliis yang meningkatkan harga meski tidak ada aib seperti memerahi wajah hamba sahaya perempuan, menghitamkan rambutnya dan semacamnya; juga seperti membiarkan susu tetap di ambingnya tidak diperah. Kedua, menutupi aib.
Jadi yang dijelaskan di dalam hadis di atas adalah bentuk kedua dari tadlîs yang haram itu.
WalLâh a’lam wa ahkam. [Yahya Abdurrahman]