Takrifat

Pengkhususan Al-Kitab (bagian 1)

Takhsîsh al-Quran dan as-Sunnah kadang terjadi dengan dalil yang independen (mustaqill[un]), yakni melalui kalimat sempurna yang terpisah dari kalimat sempurna, yang mencakup lafal umum yang dikhususkan. Adakalanya dengan nas yang tidak independen (ghayru mustaqill[in]), yakni dengan lafal yang masih menjadi bagian dari kalimat yang mencakup lafal umum yang dikhususkan, dan ini selalu bersambung (muttashilun). Hal ini melalui empat jenis lafal yaitu: sifat (ash-shifah), syarat (asy-syarthu), hitungan (al-‘adad) dan tujuan (al-ghâyah).

Takhsîsh dengan nas yang independen (mustaqill[un]), ini ada dalam dua bentuk: Pertama, bersifat mustaqill[un] muttashil[un], yakni kalimat sempurna yang mengkhususkan itu ada dalam dalil atau nas (ayat atau hadis) yang sama dan bahkan kadang datang langsung setelah yang dikhususkan. Kedua, dengan nas yang mustaqill[un] munfashil[un], yakni yang mengkhususkan itu ada pada dalil atau nas (ayat atau hadis) yang lain. Kedua bentuk ini dapat dinilai sebagai pengkhususan yang terpisah (munfashil[un]).

Takhsîsh dalil syariah, yakni dalam konteks hukum syariah, hanya terjadi melalui dalil syariah juga, yaitu al-Kitab, as-Sunnah, Ijmak Sahabat atau Qiyas yang ‘illat-nya ‘illat syar’iyah. Pengkhusuan itu hanya terhadap nas syariah yang memiliki dalaalah yang bersifat umum. Itu hanya nas yang berupa lafal yakni al-Quran dan as-Sunnah. Adapun terhadap Ijmak Sahabat dan Qiyas maka tidak terjadi pengkhususan.

Takhsîsh al-Quran terjadi dengan al-Quran, as-Sunnah, Ijmak Sahabat atau Qiyas syar’iy. Takhsîsh as-Sunnah terjadi dengan al-Quran, as-Sunnah, Ijmak Shahabat atau Qiyas syar’iy. Takhsîsh itu bisa terjadi melalui dalaalah secara manthûq maupun melalui mafhûm, termasuk mafhûm al-muwâfaqah maupun mafhûm al-mukhâlafah.

 

Pengkhususan al-Quran dengan al-Quran

Takhsîsh al-Quran dengan al-Quran boleh terjadi. Hal itu karena dua alasan. Pertama: Semua al-Quran, baik yang dikhususkan dan yang mengkhususkan sama-sama dibawa oleh wahyu secara makna dan lafalnya. Karena itu yang satu boleh mengkhususkan yang lain. Kedua: Takhsîsh ayat al-Quran dengan ayat al-Quran itu benar-benar terjadi di dalam al-Quran. Ini menunjukkan bahwa pengkhususan ayat al-Quran dengan ayat al-Quran adalah boleh.

Adapun firman Allah SWT:

لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيۡهِمۡ ٤٤

Agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka (QS an-Nahl [16]: 44).

 

Ayat ini tidak menghalangi penjelasan al-Quran dengan al-Quran. Ayat ini menjelaskan bahwa penjelasan itu datang melalui Rasul saw. baik al-Quran maupun  as-Sunnah. Jadi al-Quran menjelaskan al-Quran karena sama-sama dinyatakan melalui lisan Rasul saw. meski lafalnya dari Allah. Apalagi Allah SWT berfirman:

وَنَزَّلۡنَا عَلَيۡكَ ٱلۡكِتَٰبَ تِبۡيَٰنٗا لِّكُلِّ شَيۡءٖ ٨٩

Kami telah menurunkan kepadamu al-Kitab (al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu (QS an-Nahl [16]: 89).

 

Al-Quran termasuk dalam cakupan kata syay’[in]. Dengan begitu, al-Quran juga menjalaskan al-Quran. Takhshîsh itu termasuk penjelasan (al-bayân). Jadi al-Quran dapat dikhususkan oleh al-Quran.

 

Contoh Pengkhusan al-Quran dengan al-Quran

Takhsîsh al-Quran dengan al-Quran yang bersifat mustaqill[un] muttashil[un] (independen dan bersambung), yakni nas yang independent, tetapi masih dalam ayat yang sama. Contohnya selain dalam QS al-Baqarah [2]: 185, juga dalam firman Allah berikut:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا قُمۡتُمۡ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ فَٱغۡسِلُواْ وُجُوهَكُمۡ وَأَيۡدِيَكُمۡ إِلَى ٱلۡمَرَافِقِ وَٱمۡسَحُواْ بِرُءُوسِكُمۡ وَأَرۡجُلَكُمۡ إِلَى ٱلۡكَعۡبَيۡنِۚ وَإِن كُنتُمۡ جُنُبٗا فَٱطَّهَّرُواْۚ وَإِن كُنتُم مَّرۡضَىٰٓ أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوۡ جَآءَ أَحَدٞ مِّنكُم مِّنَ ٱلۡغَآئِطِ أَوۡ لَٰمَسۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَلَمۡ تَجِدُواْ مَآءٗ فَتَيَمَّمُواْ صَعِيدٗا طَيِّبٗا ٦

Hai orang-orang yang beriman, jika kalian hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah muka dan tangan kalian sampai dengan siku. Sapulah kepala kalian dan (basuh) kaki kalian sampai dengan kedua mata kaki. Jika kalian junub maka mandilah. Jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kalian tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih) (QS al-Maidah [5]: 6).

 

Firman Allah “fa[a]ghsilû wujûhakum…ilâ al-ka’bayn” bersifat mustaqill[un] karena merupakan kalimat sempurna. Firman Allah “fa in kuntum junuban fa[i]ththahharû” juga merupakan kalimat sempurna. Firman Allah berikutnya “wa in kuntum mardhâ … falam tajidû mâ`an fatayammamû sha’îdan thayyiban” juga mustaqill[un] karena berupa kalimat sempurna. Ini sekaligus mengkhususkan dua kalimat sempurna sebelumnya. Artinya, orang yang ingin bersuci dari hadas kecil atau dari junub, tetapi tidak menemukan air, maka bertayamum. Jadi ini mengkhususkan perintah untuk berwudhu atau bersuci dari junub menggunakan air, yang dinyatakan dalam dua kelimat sempurna sebelumnya di ayat yang sama.

Adapun takhsîsh al-Quran dengan ayat independen dan terpisah (mustaqill[un] munfashil[un]) maka banyak terjadi. Contohnya, Allah SWT berfirman:

وَٱلۡمُطَلَّقَٰتُ يَتَرَبَّصۡنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَٰثَةَ قُرُوٓءٖۚ ٢٢٨

Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quruu’ (QS al-Baqarah [2]: 228).

 

Ayat ini menyatakan, wanita yang ditalak masa iddahnya tiga quruu’, yakni yang raajih tiga kali haid. Ini bersifat umum untuk wanita yang ditalak apapun keadaannya. Hanya saja, ayat ini dikhususkan oleh firman Allah SWT:

وَٱلَّٰٓـِٔي يَئِسۡنَ مِنَ ٱلۡمَحِيضِ مِن نِّسَآئِكُمۡ إِنِ ٱرۡتَبۡتُمۡ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَٰثَةُ أَشۡهُرٖ وَٱلَّٰٓـِٔي لَمۡ يَحِضۡنَۚ وَأُوْلَٰتُ ٱلۡأَحۡمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعۡنَ حَمۡلَهُنَّۚ ٤

Perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuan kalian, jika kalian ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan. Begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya (QS ath-Thalaq [65]: 4).

 

Ayat ini menyatakan, wanita yang ditalak dan dia sudah menopause atau dia tidak haid, masa ‘iddah-nya tiga bulan. Wanita yang ditalak dalam keadaan hamil, masa ‘iddah-nya adalah sampai ia melahirkan.

QS al-Baqarah [2]: 228 itu juga dikhususkan oleh firman Allah SWT:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا نَكَحۡتُمُ ٱلۡمُؤۡمِنَٰتِ ثُمَّ طَلَّقۡتُمُوهُنَّ مِن قَبۡلِ أَن تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمۡ عَلَيۡهِنَّ مِنۡ عِدَّةٖ تَعۡتَدُّونَهَاۖ ٤٩

Hai orang-orang yang beriman, jika kalian menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kalian menceraikan mereka sebelum kalian campuri, maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka ‘iddah bagi kalian yang kalian minta menyempurnakan-nya (QS al-Ahzab [33]: 49).

 

Ayat ini menyatakan, wanita yang ditalak dan belum pernah dicampuri sejak dinikahi, maka tidak ada masa ‘iddah-nya.

Dengan demikian masa ‘iddah tiga kali quruu’, yakni tiga kali haid, hanya berlaku untuk wanita yang ditalak yang sudah pernah dicampuri, bukan dalam keadaan sudah menopause, atau tidak haid, atau sedang hamil.

Contoh lainnya, firman Allah SWT:

وَٱلَّذِينَ يُتَوَفَّوۡنَ مِنكُمۡ وَيَذَرُونَ أَزۡوَٰجٗا يَتَرَبَّصۡنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرۡبَعَةَ أَشۡهُرٖ وَعَشۡرٗاۖ ٢٣٤

Orang-orang yang meninggal dunia di antara kalian dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari (QS al-Baqarah [2]: 234).

 

Ayat ini dikhususkan oleh firman Allah SWT:

وَأُوْلَٰتُ ٱلۡأَحۡمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعۡنَ حَمۡلَهُنَّۚ ٤

Perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya (QS ath-Thalaq [65]: 4).

 

Jadi masa ‘iddah wanita yang ditinggal mati suaminya dalam keadaan hamil, maka masa ‘iddah-nya sampai ia melahirkan, terlepas lebih singkat atau lebih lama lama dari empat bulan sepuluh hari..

Contoh lainnya, firman Allah SWT:

وَٱلَّذِينَ يَرۡمُونَ ٱلۡمُحۡصَنَٰتِ ثُمَّ لَمۡ يَأۡتُواْ بِأَرۡبَعَةِ شُهَدَآءَ فَٱجۡلِدُوهُمۡ ثَمَٰنِينَ جَلۡدَةٗ وَلَا تَقۡبَلُواْ لَهُمۡ شَهَٰدَةً أَبَدٗاۚ ٤

Orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kalian terima kesaksian mereka buat selama-lamanya (QS an-Nur [24]: 4).

 

Ayat ini menyatakan orang yang menuduh wanita baik-baik (muhshanât) berzina, baik wanita yang sendiri (tidak punya suami), istri orang lain maupun istri sendiri. Hanya saja, ayat ini dikhususkan oleh ayat tentang li’aan:

وَٱلَّذِينَ يَرۡمُونَ أَزۡوَٰجَهُمۡ وَلَمۡ يَكُن لَّهُمۡ شُهَدَآءُ إِلَّآ أَنفُسُهُمۡ فَشَهَٰدَةُ أَحَدِهِمۡ أَرۡبَعُ شَهَٰدَٰتِۢ بِٱللَّهِ إِنَّهُۥ لَمِنَ ٱلصَّٰدِقِينَ  ٦ وَٱلۡخَٰمِسَةُ أَنَّ لَعۡنَتَ ٱللَّهِ عَلَيۡهِ إِن كَانَ مِنَ ٱلۡكَٰذِبِينَ  ٧

Orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar, dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta (QS an-Nur [24]: 6-7).

 

Jadi, ketentuan harus mendatang empat orang saksi itu bagi orang yang menuduh wanita selain istrinya berzina. Adapun orang yang menuduh istrinya berzina, maka berlaku ayat li’aan ini jika tidak ada empat orang saksi.

Inilah takhsîsh al-Quran dengan al-Quran dan beberapa contohnya.

WalLâh a’lam wa ahkam. [Yahya Abdurrahman]

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

seventeen − 13 =

Back to top button